Pakar Tegaskan Penggunaan Surat Edaran Lampaui Kewenangan Rusak Kepastian Hukum

3 hours ago 1

SHNet, Jakarta – Pakar dan Praktisi Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Valerianus Beatae Jehanu menegaskan bahwa surat edaran (SE) tidak memiliki kekuatan mengikat untuk memaksa masyarakat maupun sektor swasta. Dia menjelaskan, hal ini karena SE bukan bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan.

“SE bukan peraturan perundang-undangan. Kekuatan mengikatnya hanya berlaku ke internal pemerintahan, bukan eksternal,” kata Valerianus Beatae.

Pernyataan itu disampaikan menanggapi SE kepala daerah yang kerap kali melampaui kewenangan dengan mengatur pihak di luar pemerintahan. Valerianus mencontohkan SE Gubernur Jawa Barat (Jabar) terkait pelarangan perlintasan truk over dimension overloaded (ODOL) yang dialamatkan untuk mengatur pihak swasta.

Surat Edaran bernomor 151/PM.06/PEREK ini mengatur operasional kendaraan AMDK yang beroperasi di Jabar. SE dikeluarkan sekaligus sebagai jalan pintas untuk menertibkan truk ODOL yang dituding sebagai perusak jalan sehingga memakan anggaran APBD Jabar untuk perbaikan setiap tahun.

Dia menilai, SE tersebut salah alamat karena ditujukan kepada lembaga atau instansi di luar pemerintahan. Padahal, sambung dia, SE seharusnya ditujukan kepada perangkat daerah di bawah gubernur, seperti dinas perhubungan atau instansi teknis lain yang berwenang melakukan penegakan aturan.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan ini menjelaskan, apabila kepentingannya soal ketidakpatuhan terhadap regulasi, maka SE seharusnya memerintahkan dinas terkait untuk menindak tegas. Bukan malah membuat aturan baru yang menentukan batasan-batasan teknis muatan kendaraan.

“SE ini tidak sah sebagai regulasi kalau untuk mengatur eksternal pemerintah. Jika ingin dirumuskan untuk mengikat ke luar secara langsung, maka pilihan regulasi yang bisa dipakai adalah peraturan gubernur, bukan surat edaran,” katanya.

Lebih jauh, Valerianus mengatakan kalau fenomena pejabat daerah yang rutin menerbitkan SE untuk mengatur masyarakat dinilai sebagai persoalan serius dalam praktik birokrasi. Dia menilai bahwa kebiasaan tersebut menggerus asas kepastian hukum dan menyebabkan tergerusnya prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan yang taat hukum.

“Regulasi dalam pengertian peraturan perundang-undangan seringkali justru tidak digunakan sebagai acuan, dan bahkan dikesampingkan jika ada hal yang lebih teknis diatur di level birokrasi terdekat, seperti surat edaran,” katanya.

Selain SE pengaturan perlintasan tersebut, ada sejumlah SE lain yang juga melampaui kewenangan seperti SE Gubernur Bali nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih; SE Nomor 100.3.4.3/3411/DN-09.PSB3/2024 tentang Larangan Penyediaan Kantong Plastik Belanja; SE nomor 58/PK.03/DISDIK tentang Jam Efektif pada Satuan Pendidikan di Provinsi Jawa Barat; dan SE nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) pada 1 Oktober 2025.

Terkait rencana zero ODOL pada 2026 yang diinisiasi pemprov Jabar, Wakil Ketua Umum MTI Djoko Setijowarno menilai bahwa Gubernur Dedi Mulyadi telah melangkahi pemerintah pusat. Kebijakan zero ODOL telah disepakati untuk diterapkan pada Januari 2027 mendatang. Menerapkan langkah tersebut secara prematur hanya akan merusak rencana yang telah disusun para pemangku kepentingan.

Djoko menegaskan bahwa masalah zero ODOL tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah. Dosen teknik sipil Universitas Katolik Soegijapranata ini mengatakan, transportasi logistik merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah pusat dalam hal ini kementerian perhubungan (kemenhub).

Dia mengatakan, keputusan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah nantinya malah akan kontra produktif bagi kebijakan zero ODOL tersebut. Dia melanjutkan isu pergerakan transportasi logistik itu tidak bisa dilakukan perklaster atau daerah karena justru akan mengganggu kelancaran arus transportasi tersebut.

Djoko melanjutkan, apabila setiap kepala daerah memiliki aturan tersendiri mengenai hal tersebut maka dipastikan aurs transportasi logistik sulit bergerak dari satu daerah ke darah lainnya. Dia menegaskan, urusan transportasi logistik tidak bisa dibatasi oleh wilayah.

“Kalau tiba-tiba diterapkan pada Januari 2026 itu nggak mungkin, karena banyak persiapan yang harus dilakukan. Transportasi itu urusan nasional, nggak ada kadishub itu menyelesaikan, ngaco kalau demikian,” kata Djoko. (R**)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan