Pakar: SE Bukan Produk Hukum, Tak Bisa Beri Sanksi

1 day ago 7

SHNet, Jakarta-Surat Edaran (SE) Gubernur Bali yang melarang produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter terus mendapat kritikan para pakar hukum. Mereka menilai bahwa SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apalagi memberikan sanksi bagi pihak eksternal pemerintahan.

Setelah sebelumnya dikritik Pakar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul Profesor Juanda, Pakar Kebijakan publik Universitas Airlangga (UNAIR) Profesor Jusuf Irianto, dan Praktisi Hukum Gede Pasek Suardika, kini kritik datang dari Pakar Hukum Tata Negara Universitas Lampung (Unila) Dr Budiono.

Senada, Budiono juga menegaskan bahwa SE tidak memiliki kekuatan hukum. Dia melanjutkan, sebabnya SE tidak bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi bagi pihak eksternal atau lembaga di luar pemerintah pusat dan daerah.

“Surat Edaran bukan produk hukum, Surat Edaran sifatnya hanya untuk tertib administrasi dan untuk mengingatkan serta mengikat hanya bersifat internal dan tidak ada sanksi,” kata Budiono baru-baru ini.

Dia menjelaskan bahwa SE hanya bersifat sebagai petunjuk, atau memperjelas suatu keadaan. Kekuatan SE hanya berlaku bagi para pegawai/individu yang berada di lingkungan otoritas yang menerbitkan surat edaran tersebut. Sehingga, SE tidak mengikat pihak di luar lembaga yang menerbitkan surat edaran dimaksud.

“Artinya kalau ada pihak eksternal yang dihukum, maka sanksi tersebut tidak akan valid,” katanya.

Budiono mengatakan, sanksi yang diberikan bagi pihak yang melanggar surat edaran sah-sah saja apabila ingin digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dia menekankan, hal ini lantaran SE tidak berada dalam dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Seperti diketahui, tidak sedikit pejabat pemerintahan yang mengeluarkan SE di Indonesia yang disetarakan sanksi bagi siapapun yang melanggar. Misalnya, SE gubernur Bali yang melarang produksi dan distribusi air mineral di bawah 1 liter. SE tersebut kemudian menuai polemik karena bersifat memaksa semua pihak tunduk pada imbauan yang tidak berdasar hukum.

Pakar Kebijakan publik Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Jusuf Irianto menegaskan bahwa pada dasarnya SE tidak bisa disebut sebagai sebuah kebijakan publik. Dia menjelaskan, sebuah kebijakan harus memiliki landasan hukum yang lahir dari proses legislasi atau regulasi formal sehingga memiliki kekuatan hukum tetap.

“Sebuah surat edaran (SE) bupati/walikota dan gubernur adalah internal. Oleh karena itu SE tak dapat dijadikan sebagai dasar hukum untuk menjatuhkan sanksi,” kata Prof. Jusuf Irianto.

Jusuf menjelaskan bahwa SE hanya berlaku di lingkungan internal pemerintahan daerah dan tidak memiliki daya paksa hukum sebagaimana undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan gubernur/daerah. Dia melanjutkan, SE hanya berfungsi dalam memberi arahan dan bukan merupakan aturan mengikat yang disertai dengan adanya sanksi. 

Guru Besar Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP Unair ini memaparkan, sebuah kebijakan merupakan serangkaian aturan atau regulasi tertentu yang sengaja dibuat pemerintah bertujuan mengatasi masalah tertentu. Aturan tersebut, sambung dia, bisa berupa UU, PP dan seterusnya yang memiliki kekuatan hukum tetap sesuai hirarki hukum yang berlaku di Indonesia. 

“Dengan demikian semua pihak terkait tak perlu khawatir akan adanya ancaman sanksi akibat ketidaksesuaian dengan suatu SE,” katanya.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul, Profesor Juanda menjelaskan bahwa SE gubernur atau kepala daerah tidak bersifat mengikat. Alasanya, SE tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat apalagi pelaku usaha.

“Oleh karena SE tidak wajib ditaati karena sangat lemah jika tidak ada cantolan hukum yang lebih tinggi dan akibatnya tidak bisa juga dijadikan dasar memberikan sanksi kepada pihak yang melanggarnya,” kata Prof Juanda.

Dia menerangkan bahwa dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan berdasarkan UU 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan tidak mengenal Surat Edaran. Dia melanjutkan, SE sifatnya hanya dianggap sebagai himbauan bukan peraturan perundang undangan.

Hal tersebut dijelaskan berkenaan dengan sanksi yang tertuang dalam SE gubernur Bali nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih. SE tersebut memuat sanksi bagi masyarakat hingga pelaku usaha yang melanggar.

Praktisi Hukum, Gede Pasek Suardika menegaskan bahwa Surat Edaran (SE) gubernur tidak bisa dijadikan landasan untuk memberikan hukuman bagi masyarakat dan pelaku usaha dari semua level. Gede menjelaskan, SE tidak berada dalam klaster perundang-undangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan sanksi.

“SE itu sebenarnya masuk ke dalam rumpun administrasi negara yang posisinya berada di level kebijakan. Di dalam beberapa ketentuan yang ada, SE itu setara dengan nota dinas,” kata Gede Pasek.

Mantan anggota DPR RI ini bahkan siap menjadi kuasa hukum bagi masyarakat manapun yang dikenakan sanksi berlandaskan SE tersebut. Dia menegaskan bahwa jasa konsultasi itu akan diberikan dengan gratis.

“Kalau ada pedagang pasar nggak boleh pake tas kresek, trus kalau pake nanti mau apa? mau ditutup? itu nggak bisa. Gubernur nggak bisa menutup usaha orang yang sudah memiliki hanya karena SE,” katanya.

Masyarakat dan pelaku usaha di Bali diminta tidak khawatir terkait Surat Edaran (SE) Gubernur nomor 9 tahun 2025 tentang gerakan Bali bersih yang menghimbau pelarangan produksi dan distribusi air minum dalam kemasan di bawah 1 liter. Pemerintah dan aparat tidak bisa menjatuhkan sanksi apapun mengingat SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.

“SE ini belum memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan lebih bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap darurat sampah plastik di Bali,” kata Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih.

Agung Bagus Pratiksa Linggih atau yang biasa disapa Ajus Linggih melanjutkan, bahwa SE merupakan bentuk himbauan formal yang tidak mengandung sanksi hukum. Artinya, sambung dia, pelaku usaha tidak dapat dikenai tindakan hukum karena SE bukan peraturan yang memiliki kekuatan memaksa seperti Peraturan Gubernur (Pergub) ataupun Peraturan Daerah (Perda).

“Surat Edaran itu ibarat arahan formal yang tidak bisa serta-merta diberlakukan ke luar kedinasan. Tidak ada sanksi tegas yang menyertai, dan pelaksanaannya belum ditindak secara formal di lapangan,” katanya.

Dia menegaskan bahwa pemerintah dan aparat juga tidak boleh menindak tegas pelaku usaha yang masih memproduksi dan menjual air kemasan di bawah 1 liter. Karena, menurutnya, SE ini bertindak sebagai “shock therapy” yang bertujuan meningkatkan kesadaran publik terhadap penggunaan plastik sekali pakai.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan