Pakar Hukum dan Kebijakan Publik Beberkan Potensi Masalah Hukum Surat Edaran Gubernur Bali yang Larang AMDK di Bawah 1 Liter

2 days ago 12

SHNet, Jakarta-Para pakar hukum dan kebijakan publik menilai Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang melarang Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di bawah 1 liter tidak memiliki sanksi hukum yang mengikat. Karenanya, Pemprov Bali yang tetap akan memberlakukan sanksi administratif bagi pelanggar sangat berpotensi bertentangan dengan hukum perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang Investasi, Undang-Undang terkait Perizinan Usaha, Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang sudah ada.

Seperti diketahui, Gubernur Bali I Wayan Koster mengancam akan mencabut izin usaha jika produsen AMDK tetap memproduksi AMDK di bawah 1 liter yang diberi batas waktu hingga awal 2026 mendatang.

Pakar hukum tata negara senior yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Profesor Jimly Asshiddiqie menegaskan Surat Edaran itu tidak ada sanksinya karena cuma kebijakan biasa. Menurutnya, SE itu juga bukan sebuah kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan. “Jadi, SE itu tidak pernah ada sanksi hukumnya. Itu hanya berupa himbauan saja,” ujarnya.

Dia mengatakan yang ada saksinya itu kalau bertindak atas dasar pelanggaran Undang-undang, Perda, dan Pergub “Tapi, kalau sekedar SE, itu tidak bisa diapa-apakah karena tidak bisa diperlakukan sebagai keputusan administrasi,” katanya.

Karenanya, lanjutnya, klausul dari kebijakan yang tertuang dalam SE itu juga tidak boleh berlawanan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. “Karena bukan peraturan, SE itu juga sifatnya tidak bisa memaksa,” ucapnya.

Pendapat serupa disampaikan pakar hukum senior lainnya, Gede Pasek Suardika. Dia menegaskan SE Gubernur Bali yang melarang AMDK di bawah 1 liter itu tidak bisa dijadikan landasan untuk memberikan hukuman bagi masyarakat dan pelaku usaha dari semua level. Dia beralasan SE tidak berada dalam klaster perundang-undangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan sanksi. “SE itu sebenarnya masuk ke dalam rumpun administrasi negara yang posisinya berada di level kebijakan. Di dalam beberapa ketentuan yang ada, SE itu setara dengan nota dinas. Jadi, kalau sampai nanti dijatuhkan sanksi bisa digugat. Meski penguasa juga tetap bisa digugat,” tukasnya.

Para pakar kebijakan publik juga melontarkan pendapat serupa. Pakar Kebijakan Publik Universitas Soedirman (Unsoed), Slamet Rosyadi, menegaskan bahwa Surat Edaran tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk memberikan sanksi kepada pihak swasta. Menurutnya, pada dasarnya SE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Jadi, tidak bisa dijadikan landasan hukum karena SE itu kedudukannya tidak masuk dalam hierarki perundang-undangan,” tuturnya.

Slamet melanjutkan, SE kerap digunakan untuk merinci atau mengklarifikasi terhadap aturan atau pasal tertentu yang barangkali multitafsir, sehingga memberikan instruksi jelas dalam internal pemerintahan. Dia menegaskan, jika SE digunakan untuk menjatuhkan hukuman administratif, apalagi menutup usaha atau mencabut izin distribusi maka langkah tersebut akan menimbulkan polemik hukum yang serius. “Kalau SE digunakan untuk menghukum pelaku usaha, itu sudah pasti keliru. Akan menimbulkan kontroversi dan berpotensi menjadi preseden buruk dalam praktik penegakan hukum,” katanya.

Pakar kebijakan publik lainnya dari Universitas Airlangga (Unair), Profesor Jusuf Irianto menegaskan bahwa pada dasarnya Surat Edaran (SE) juga menegaskan bahwa SE itu tidak bisa disebut sebagai sebuah kebijakan publik. Dia menjelaskan, sebuah kebijakan publik harus memiliki landasan hukum yang lahir dari proses legislasi atau regulasi formal sehingga memiliki kekuatan hukum tetap. “Karenanya, SE hanya berlaku di lingkungan internal pemerintahan daerah, dan tidak memiliki daya paksa hukum sebagaimana Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,” tandasnya.

Pernyataan senada juga disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, I Nyoman Subanda. Dia menilai SE Gubernur Bali yang melarang AMDK di bawah 1 liter itu tidak memiliki kekuatan hukum. Menurutnya, SE tersebut hanya bersifat imbauan dan tidak dapat dijadikan dasar pemberian sanksi. “Jadi, SE itu nggak bisa mengikat dan nggak bisa ngasih punishment,” ucapnya.

Subanda menilai penanganan masalah sampah seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). “Yang paling mengikat itu Pergub atau Perda karena ada persetujuan DPRD-nya. Selain memperkuat kedudukan hukum, Perda juga memungkinkan adanya dukungan anggaran,” ujarnya.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan