SHNet, Jakarta – Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia bersama ViriyaENB dan ENVELOPS Co., Ltd. menyelenggarakan kegiatan penjangkauan publik bertajuk MOV-E: Moving Cities the Electric Way di ATMAterra Amphitheatre, Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Sabtu (02/11/2025).
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai elektrifikasi dalam transportasi berkelanjutan.
MOV-E menghadirkan diskusi, pameran, dan instalasi interaktif yang menjembatani riset, kebijakan, dan praktik lapangan untuk mempercepat transisi menuju mobilitas listrik yang inklusif dan berkelanjutan.
Indonesia menargetkan penurunan emisi hingga 31,89% dengan upaya sendiri dan 43,20% dengan bantuan internasional pada 2030, sebagai bagian dari upaya untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih awal. Transportasi berkelanjutan, khususnya elektrifikasi kendaraan, merupakan salah satu strategi penting untuk mencapai target tersebut.
Namun, kendaraan listrik (EV) saat ini masih di bawah 1% dari total populasi kendaraan nasional. Untuk mempercepat transisi dan memastikan dampaknya signifikan terhadap penurunan emisi, elektrifikasi perlu dimulai dari sektor transportasi publik, khususnya armada bus perkotaan yang dapat memberikan efek pengganda terhadap pengurangan emisi dan peningkatan kualitas layanan transportasi.
Studi ITDP yang didukung oleh ViriyaENB menunjukkan bahwa elektrifikasi armada bus perkotaan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 66,7% pada 2040 sekaligus menghemat subsidi transportasi hingga 30%.
“Transisi ke bus listrik bukan hanya soal mengganti teknologi, tapi membuka peluang bagi kota-kota di Indonesia untuk menghadirkan layanan transportasi publik yang lebih efisien, bersih, dan terjangkau. Langkah ini juga dapat menciptakan lapangan kerja hijau dan memperkuat rantai nilai industri transportasi bersih,” ujar Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara ITDP Indonesia.
Selain menyoroti transportasi publik, MOV-E juga membahas elektrifikasi sektor logistik perkotaan yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi hijau. Menurut data Statista (2024), pasar logistik Indonesia diproyeksikan meningkat 45,6% hingga 2030, menjadikannya peluang besar bagi sektor swasta untuk ikut berkontribusi dalam transisi energi bersih.
Perlunya kolaborasi
Direktur Sarana dan keselamatan Transportasi Jalan Kementerian Perhubungan, Yusuf Nugroho, S.T.,M.T mengatakan, sektor transportasi merupakan salah satu penyebab terjadinya emisi karbon.
“Menuju mobilitas yang berkelanjutan, perlu adanya kolaborasi pemerintah, pelaku usaha dan akademisi. Operator angkutan umum harus didukung oleh ekosistem tersebut. Bagaimana ekosistem itu mendukung transportasi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,” ujar Yusuf.
Direktur Eksekutif ViriyaENB, Suzanty Sitorus mengatakan, “Logistik adalah urat nadi pergerakan barang di kota. Saat sektor ini ikut bertransisi ke energi bersih, kita tidak hanya menurunkan emisi, tapi juga membuka peluang kerja hijau, menggerakkan ekonomi lokal, dan mewujudkan kota yang lebih sehat.”
Akses Infrastruktur dan Nilai Ekonomi
Sejumlah survei yang diselenggarakan beberapa lembaga pemerhati konsumen menemukan bahwa infrastruktur pengisian daya masih menjadi hambatan utama masyarakat beralih ke kendaraan listrik. Studi ITDP (2025) juga menunjukkan bahwa biaya pengisian daya kendaraan listrik di Indonesia tergolong murah secara global. Artinya, tantangan dari adopsi kendaraan listrik ini bukan karena faktor tarif pengisian daya listrik, tetapi keterbatasan akses terhadap infrastruktur—baik stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) maupun fasilitas pengisian daya di rumah (home charging).
Untuk home charging, tantangan utama terletak prosedur menaikkan daya listrik rumah dan instalasi sarana pengisian daya, sehingga masih menjadi beban bagi pengguna dan membutuhkan intervensi kebijakan agar lebih aksesibel. Sementara itu, pada sisi public charging, dibutuhkan insentif bagi pelaku industri agar pembangunan SPKLU dapat berkembang lebih cepat dan luas.
Studi ini juga menggali persepsi dan perilaku masyarakat terkait kendaraan listrik dan infrastruktur pengisian daya di wilayah-wilayah prioritas seperti Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Kedungsepur (Kendal, Demak, Semarang, Salatiga, Purwodadi), dan Mamminasatapa (Makassar, Maros, Sungguminasa, Takalar, Pangkep), serta wilayah tier 2 seperti Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul).
(Dok. SHNet/Stevani)Dari sisi ekonomi, investasi elektrifikasi terbukti memberikan nilai balik yang positif. Untuk menghadirkan 100% armada transportasi publik di wilayah perkotaan hingga 2030, Indonesia berpotensi memperoleh manfaat sosial dan lingkungan jangka panjang senilai hingga 2,4 kali dari nilai investasi yang dikeluarkan.
MOV-E mengemas diskusi interaktif, pameran dan instalasi edukatif yang menghubungkan penelitian, kebijakan dan praktik. Dua sesi utama yakni Talk show “Dua Roda, Nol Emisi: Jalan Panjang Motor Listrik Indonesia” dan “Bus Naik Kelas, Hidup Lebih Berkualitas” membahas kolaborasi multipihak dalam elektrifikasi motor listrik dan armada bus perkotaan sebagai langkah menuju kota berkelanjutan. Kedua sesi ini menekankan perspektif masyarakat melalui pembicara dari pengguna dan pelaku industri untuk menggambarkan tantangan, peluang, serta dampak langsung bagi kualitas hidup warga kota.
Alitt Susanto, Otomotif Content Creator, mengatakan, “Banyak orang di Indonesia sebenarnya tertarik dengan motor listrik, tapi masih ragu untuk benar-benar beralih. Dari obrolan dengan teman komunitas dan orang-orang di sekitar saya, ada dua alasan yang paling sering muncul: harga awal yang masih lebih tinggi dibanding motor bensin, dan keterbatasan infrastruktur pengisian daya. Buat banyak orang, yang dilihat pertama adalah harga beli, bukan biaya jangka Panjang, padahal biaya listrik dan perawatan motor listrik yang berkualitas justru jauh lebih murah.”
“Ada juga yang sudah mencoba, tapi kecewa karena membeli motor listrik versi paling murah yang ternyata kurang powerful dan tidak tahan lama. Artinya, standar kualitas juga penting, bukan hanya soal harga. Mungkin perlu ada regulasi yang mengatur standarisasi kendaraan listrik yang masuk ke Indonesia, supaya konsumen tidak salah pilih,” tambah Alitt. “Di sisi lain, akses stasiun cas atau penukaran baterai masih terbatas, sehingga masih banyak kekhawatiran baterai habis di jalan. Apalagi bagi pengguna dengan mobilitas harian seperti ojek online.”
Sementara itu, Albert Aulia Ilyas, Direktur Utama KALISTA, menyatakan, “Transisi armada operasional menuju kendaraan listrik (EV) hingga kini masih belum menjadi fokus utama bagi banyak pelaku bisnis. Tingginya biaya investasi awal serta tidak meratanya infrastruktur pengisian daya merupakan salah satu tantangan utama. Namun, bagi KALISTA, hal ini justru merupakan peluang besar untuk berinovasi dan membangun kepercayaan Pelaku Bisnis maupun Pemerintah Kota untuk memulai perjalanan transisi menuju EV.”
Ia menambahkan, “KALISTA hadir sebagai katalisator mobilitas berkelanjutan menghadirkan solusi transisi secara end-to-end, KALISTA memastikan layanan yang disediakan komprehensif, mulai dari penyediaan unit, skema bisnis fleksibel, solusi uji coba (proof of concept), pengembangan pola pengisian daya, armada yang terintegrasi dengan IoT untuk monitoring 24/7 secara real-time, hingga SDM yang didedikasikan khusus; agar proses transisi berjalan secara efisien dan terintegrasi.”
Diskusi ini bertujuan mengedukasi publik bahwa transisi menuju kendaraan listrik tidak hanya berkaitan dengan teknologi, tetapi juga mencakup perubahan sistemik—mulai dari infrastruktur hingga perilaku pengguna transportasi. “MOV-E menjadi ruang untuk masyarakat memahami, terlibat, dan mendorong perubahan itu bersama,” ungkap Gonggom lagi.
Melalui MOV-E, ITDP Indonesia, ViriyaENB, dan ENVELOPS mengajak publik untuk mendukung transisi menuju mobilitas listrik sebagai gerakan bersama antara masyarakat, sektor swasta dan pembuat kebijakan guna mengurangi emisi, membuka peluang ekonomi baru, menciptakan pekerjaan hijau, dan mewujudkan kota-kota di Indonesia lebih layak huni. (Stevani Elisabeth)


















































