SHNet, Tangerang-Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Tangerang Selatan (Tangsel), dr. Allin Hendalin Mahdaniar, mengingatkan penggunaan air isi ulang saat memasak menu untuk Makan Bergizi Gratis (MBG). Data dari Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 98 persen pemilik depot air isi ulang belum memiliki Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
Dokter Allin mengatakan risiko kesehatan akibat air isi ulang yang tidak memenuhi standar bisa menyebabkan gangguan kesehatan serius akibat penyakit menular yang ditularkan melalui air tersebut. Di antaranya, penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri seperti Escherichia coli dan Salmonella yang terkontaminasi dalam air. Selain itu, kolera yaitu infeksi bakteri yang menyebabkan diare parah dan dehidrasi yang sering menyebar melalui air yang tercemar tinja. Kemudian tipes, yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang dapat ditemukan di air yang tercemar. Lalu hepatitis, yaitu virus yang menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi feses dan menyebabkan peradangan hati. “Dan kontaminan yang paling sering ditemukan di lapangan adalah bakteri Escherichia coli (E. coli),” katanya.
Disampaikan, standar kualitas air minum yang direkomendasikan untuk pengolahan MBG sesuai standar baku mutu diatur pada Permenkes Nomor 2 Tahun 2023. Di mana, disebutkan bahwa parameter mikrobiologi E.Coli dan Total Coliform-nya adalah 0 CFU/100 ml. Karenanya, sesuai Permenkes Nomor 11 Tahun 2025 maka semua depot air minum isi ulang (DAMIU) wajib memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) yang berlaku selama 3 tahun.
Persyaratan penerbitan SLHS terdiri dari administrasi umum, sertifikat pelatihan bagi pemilik dan operator depot air minum, hasil uji lab yang memenuhi syarat, dan hasil Inspeksi Kesehatan Lingkungan minimal nilai 80%.
Dia menyampaikan cara masyarakat, khususnya pengelola MBG, dapat memverifikasi bahwa sebuah DAMIU telah memiliki izin lengkap dan memenuhi standar kualitas dari dinkes setempat, adalah dengan meminta pelaku usaha DAMIU untuk menunjukkan SLHS yang masih berlaku dan juga meminta hasil pengujian air sesuai Permenkes No. 2 Tahun 2023.
Sedangkan parameter wajib air minum, menurut dia, itu mencakup tiga kategori utama berdasarkan Permenkes No. 2 Tahun 2023. Di antaranya, fisik (kekeruhan, warna, bau, rasa, suhu, TDS), kimia (pH, nitrat, nitrit, kromium, besi, mangan, sisa klor, arsen, kadmium, timbal, fluorida, dan aluminium), dan mikrobiologi (E. coli dan total coliform). “Air harus memenuhi batas maksimum yang ditentukan untuk setiap parameter tersebut agar aman dikonsumsi,” tuturnya.
Katanya, adapun pengawasan yang dilakukan oleh dinkes bersama puskesmas terdiri dari pengawasan rutin dan pengawasan insidental. Untuk pengawasan rutin, berupa pemeriksaan laporan pelaku usaha dan terkait pemenuhan komitmen SLHS dilakukan minimal sekali dalam setahun. Sadang untuk pengawasan insidental, itu berdasarkan laporan kejadian.
Karenanya, menurut dokter Allin, pengelola MBG wajib memastikan persyaratan higiene dan sanitasi terpenuhi. Untuk penanganan air minum isi ulang maka harus dipastikan agar wadah atau galon air isi ulang harus terbuat dari bahan yang aman untuk makanan (food-grade) dan dijaga kebersihannya. Selain itu, lanjutnya, penyimpanan galon air isi ulang berada di tempat yang sejuk, kering dan tidak terkena langsung sinar matahari serta jauh dari bahan cemaran seperti chemical sabun. Area penyimpanan air isi ulang juga harus jauh dari sumber kontaminasi lain seperti toilet, tempat sampah, dan saluran air kotor. Kemudian, harus menjaga kebersihan galon sebelum membuka penutupnya. Lalu, menyimpannya di tempat yang bersih dan terhindar dari bahan kontaminasi, dan menutup kembali galon setelah digunakan untuk melindungi dari debu, serangga, dan kontaminasi lain. “Juga tidak menyimpan air terlalu lama untuk menekan risiko kontaminasi,” tegasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Depot Air Minum Isi Ulang (Asdamindo), Erik Garnada, mengungkapkan banyak depot air minum yang tidak menerapkan standar higienitas yang ketat. “Ini berpotensi membahayakan kesehatan konsumen akibat air yang tidak memenuhi standar kualitas,” ujarnya.
Dia mengatakan banyak pengusaha depot air minum isi ulang yang tidak memahami standar higiene dan sanitasi yang diwajibkan oleh peraturan, seperti Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 43 Tahun 2014 tentang Higiene Sanitasi Depot Air Minum. Permenkes ini mengatur persyaratan kebersihan dan sanitasi yang harus diterapkan pada seluruh aspek operasional depot air minum, mulai sumber air, proses pengolahan hingga distribusinya.
Dalam hal ini, dia menyoroti belum adanya pengawasan yang dilakukan terhadap sumber air yang digunakan depot-depot air minum isi ulang selama ini. Seharusnya, menurut dia, kualitas air minumnya itu yang harus diperhatikan. Dia mengatakan banyak dari penyuplai air ke depot-depot itu yang tidak memiliki surat izin pengambilan air dari sumbernya. “Ini kan belum ada pengecekan selama ini darimana sumber air depot-depot itu diambil dan apakah mereka mempunyai SIPA atau surat izin pengambilan airnya. Itu kan harus di-challenge juga. Karena kebanyakan nggak punya izin,” tandasnya.
Dasapta Erwin Irawan, Dosen dan Peneliti Bidang Hidrogeologi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), juga meminta masyarakat agar tetap kritis terhadap sumber air minum isi ulang. Menurutnya, air minum isi ulang telah menjadi pilihan praktis bagi banyak masyarakat, namun kewaspadaan terhadap kualitasnya sering hanya sebatas rasa dan harga. Padahal, lanjutnya, kualitas air isi ulang sangat bergantung pada dua hal, yaitu sumber air baku dan proses pengolahan. “Pertanyaannya adalah, dari mana air ini berasal dan proses apa saja yang dilakukan sebelum diisi ke galon? Ini harus menjadi perhatian,” katanya.
Karena, menurut dia, setiap sumber memiliki risiko pencemaran yang berbeda, mulai dari mikroorganisme hingga bahan kimia. Sementara, lanjutnya, proses pengolahan di tempat pengisian juga tidak selalu sama. “Ada yang menggunakan penyaringan sederhana, ada yang menambahkan tahap ozonisasi atau sinar ultraviolet, dan ada pula yang minim pengawasan. Jadi, tanpa pemahaman yang cukup, masyarakat beresiko mengkonsumsi air yang tidak memenuhi standar kesehatan,” tegasnya.
Oleh karena itu, katanya, sikap kritis terhadap air minum isi ulang harus dilakukan. Di antaranya, memastikan sumber air baku aman, memeriksa prosedur pengolahan yang diterapkan, dan meminta bukti hasil uji kualitas secara berkala. “Keterbukaan informasi dari penyedia layanan dan kesadaran konsumen adalah kunci untuk memastikan air yang dikonsumsi benar-benar sehat dan layak,” ucapnya.


















































