
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Menarik disimak. Belum usai kasus "ribut-ribut" soal dugaan ijazah palsu mantan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, kini ramai lagi kasus dugaan penggunaan ijazah palsu oleh anggota legislatif (dewan). Di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), kasusnya juga ada dan malah sudah naik penyidikan.
Lalu, kira-kira bagaimana endingnya dan nasib si anggota dewan jika terbukti ijazahnya palsu? Begini penjelasannya: Sebenarnya, syarat minimal pendidikan untuk calon anggota DPR dan DPRD hanya setingkat SMA atau sederajat.
Namun, kalau melampirkan ijazah diatas itu (S1, S2, S3) sebagai bagian dari kelengkapan administrasi pencalonan dan belakangan ternyata palsu, maka risikonya besar. Tentu risiko itu menyasar mereka yang lolos dan duduk di parlemen.
"PAW bisa dilakukan jika anggota dewan tidak lagi memenuhi syarat, termasuk karena terbukti menggunakan ijazah palsu. Ini bukan hanya persoalan etika, tapi juga pidana," ungkap Dr. Rika Ayuningtyas, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), anggota dewan dapat diberhentikan antar waktu (PAW) apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota legislatif, atau melanggar sumpah/janji jabatan. Salah satu syarat utama yang harus dipenuhi oleh calon legislatif adalah keaslian dokumen administrasi, termasuk ijazah.
Pemalsuan ijazah, merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku dapat dikenai sanksi pidana, karena membuat atau menggunakan surat palsu seolah-olah asli.
Apabila terbukti, bahwa anggota dewan memperoleh kursi melalui dokumen palsu, maka keabsahan pencalonannya sejak awal dapat dipersoalkan secara hukum dan etik. Artinya bersangkutan bisa di PAW.
Dalam konteks administratif, PAW dilakukan apabila partai politik pengusung mengajukan permohonan pemberhentian kepada pimpinan DPR/DPRD. Proses ini kemudian diteruskan kepada kepala daerah (gubernur atau bupati/wali kota) untuk ditetapkan secara resmi.
Mekanisme ini juga mengacu pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan anggota legislatif, yang menyebutkan bahwa calon harus menyerahkan dokumen pendidikan yang sah dan dapat diverifikasi.
Ketentuan lebih lanjut tentang PAW tercantum dalam Pasal 239 UU MD3. Jika anggota dewan diberhentikan, karena terbukti melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih, termasuk dalam kasus pemalsuan dokumen, maka partai politik wajib mengajukan penggantinya dari daftar calon tetap (DCT) hasil pemilu terakhir.
Di beberapa daerah, proses PAW telah dilakukan terhadap anggota DPRD yang terbukti atau terindikasi menggunakan ijazah palsu. Prosedur tersebut umumnya diawali dari laporan masyarakat atau temuan internal partai, dilanjutkan dengan verifikasi oleh aparat penegak hukum, dan kemudian diikuti oleh proses pemberhentian dan pengusulan pengganti.
Meskipun kasus ijazah palsu bukan fenomena baru, konsekuensinya tetap serius. Selain mencoreng integritas lembaga perwakilan rakyat, tindakan tersebut juga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Melalui mekanisme PAW, hukum memberikan ruang untuk membersihkan parlemen dari individu-individu yang memperoleh jabatan melalui cara-cara curang. (KP)