
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID --Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya merespons gelombang aksi publik dan paket 17+8 Tuntutan Rakyat, dengan mengeluarkan enam poin keputusan penting.
Salah satu langkah paling disorot adalah penghentian tunjangan perumahan anggota DPR, yang telah lama menjadi sorotan dan pemicu kemarahan publik.
Pengamat Komunikasi Politik, Hairunnas menilai, keputusan DPR sebagai respons yang muncul akibat tekanan besar dari demonstrasi akhir Agustus. Ia menegaskan, aspirasi rakyat kini tak bisa lagi diabaikan oleh para pemegang kekuasaan.
“Langkah DPR menghentikan tunjangan perumahan sejak 31 Agustus 2025 adalah indikator paling nyata dari kesediaan mereka meredam ketidakpuasan publik,” ujarnya, Minggu (7/9/2025).
Hairunnas menekankan, keputusan ini bukan semata langkah administratif, melainkan gestur politik penting di tengah krisis legitimasi yang sedang dihadapi DPR.
“Dalam kondisi normal, isu tunjangan mungkin dianggap sepele. Tapi saat kepercayaan publik anjlok, setiap keputusan punya bobot simbolik yang besar,” tegasnya.
Namun, Hairunnas mengingatkan, implementasi konkret adalah ujian terberat dari keputusan tersebut. Ia menilai tanpa pengawasan publik yang kuat, langkah ini bisa menjadi sekadar aksi performatif.
Enam Poin Keputusan DPR
Enam poin hasil rapat pimpinan DPR bersama fraksi-fraksi diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, di Kompleks Parlemen, Jakarta. Poin-poin tersebut meliputi pemangkasan fasilitas hingga penguatan transparansi parlemen: Pertama, Penghentian tunjangan perumahan anggota DPR RI, berlaku mulai 31 Agustus 2025.
Kedua, Moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, efektif 1 September 2025, kecuali untuk undangan kenegaraan.
Ketiga, Pemangkasan tunjangan dan fasilitas, termasuk biaya listrik, telepon, komunikasi intensif, dan transportasi.
Keempat, Penghentian hak keuangan bagi anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partai politik.
Kelima, Koordinasi Mahkamah Kehormatan DPR dengan mahkamah partai, untuk menindaklanjuti penonaktifan anggota.
Keenam, Penguatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi dan kebijakan DPR.
“Keputusan ini adalah hasil kesepakatan seluruh fraksi dalam rapat pimpinan,” ujar Dasco.
Meski langkah DPR ini mendapat sorotan positif awal, Hairunnas menekankan pentingnya pengawasan berkelanjutan dari masyarakat. Ia mengingatkan, fungsi utama DPR adalah pengawasan dan legislasi, bukan hanya merespons tekanan.
“DPR harus pastikan reformasi di tubuh Polri berjalan, menekan TNI kembali ke barak, dan mendesak pemerintah menuntaskan agenda reformasi ekonomi,” terangnya.
Kawal Suara Rakyat
Sebelumnya, Ketua DPRD Provinsi Sultra, La Ode Tariala, menyatakan sikap tegas menolak rencana kenaikan tunjangan anggota DPR yang belakangan menuai polemik di tengah masyarakat. Ia juga menyatakan dukungan penuh terhadap percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Pernyataan Tariala ini sontak menarik perhatian publik karena dinilai mewakili suara rakyat yang selama ini mengkritik kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak pro terhadap kepentingan masyarakat.
Lebih mengejutkan, La Ode Tariala menyatakan kesiapannya mundur dari jabatannya jika tidak mampu memperjuangkan tuntutan rakyat.
“Kalau kami tidak memperjuangkan ini, jangankan jadi ketua, jadi anggota DPRD pun kami siap mundur!” tegasnya.
Tariala juga mengajak seluruh masyarakat Sulawesi Tenggara, untuk terus mengawal dan mengawasi proses politik terkait tuntutan tersebut.
“Jangan biarkan isu-isu ini menguap begitu saja. Kami butuh dukungan masyarakat agar tetap konsisten memperjuangkan aspirasi rakyat,” tandasnya. (b/abd/jpc/ing).(*)
Ikuti KENDARI POS di Google News
Dapatkan update cepat dan artikel pilihan langsung di beranda Anda.