
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR RI agar tidak terburu-buru menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, menegaskan pentingnya keterlibatan publik dalam proses legislasi tersebut.
“DPR tidak boleh melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset dengan terburu-buru, tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat sipil. Pembahasannya pun tidak boleh serampangan,” kata Wana dikutip dari kompas.com (11/9/2025).
Menurutnya, DPR harus transparan dan membuka akses informasi seluas-luasnya kepada publik. Apalagi, sejak ditetapkan dalam Prolegnas Prioritas 2025, waktu pembahasan RUU tersebut hanya tersisa empat bulan sebelum memasuki tahun 2026.
Jika molor, Wana khawatir RUU kembali mengendap tanpa kejelasan.Koalisi juga mengingatkan agar pembahasan RUU Perampasan Aset dibarengi dengan RKUHAP untuk menghindari tumpang tindih aturan.
Ada beberapa isu krusial yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Kualifikasi aparat penegak hukum dan pengelola aset kewenangan Kejaksaan RI dinilai terlalu luas sehingga perlu pengawasan ketat.
2. Aturan unexplained wealth order agar pejabat publik bisa dimintai pertanggungjawaban atas harta yang tidak wajar.
3. Threshold aset yang dapat dirampas minimal Rp100 juta, namun perlu dikaji ulang sesuai kondisi ekonomi.
4. Mekanisme upaya paksa harus memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk melindungi hak asasi manusia.
5. Sistem pembuktian terbalik memastikan bahwa harta yang dirampas benar-benar hasil tindak pidana.
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan, tanpa partisipasi publik dan aturan yang kuat, RUU Perampasan Aset berpotensi kehilangan makna dan hanya menjadi alat kepentingan elite.
Ikuti KENDARI POS di Google News
Dapatkan update cepat dan artikel pilihan langsung di beranda Anda.