
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Ada peringatan penting dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM mengenai pemutaran musik di ruang publik.
Memutar musik di beberapa tempat publik bisa dikenakan tagihan royalti. Tempat dimaksud adalah ruang publik atau tempat usaha seperti restoran, kafe, hotel, toko, gym, dan lainnya.
Hal itu ditegaskan Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko. Menurutnya, pemutaran musik di tempat komersial tanpa lisensi resmi, bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum dan dikenai kewajiban membayar royalti, meskipun menggunakan layanan berbayar seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music.
“Begitu musik diperdengarkan di ruang usaha dan bisa diakses publik, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial. Layanan streaming tidak mencakup lisensi untuk itu,” tegas Agung Damarsasongko dalam keterangan tertulisnya, sebagaimana dilansir dari JawaPos.Com, Selasa pagi (29/7/2025).
Berlangganan Streaming Bukan Tiket Bebas Royalti
Agung menambahkan, banyak pelaku usaha yang beranggapan bahwa langganan layanan musik digital sudah cukup sebagai bentuk legalitas.
Faktanya, penggunaan musik di ruang publik tetap memerlukan lisensi tambahan yang sah. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yakni badan resmi yang menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait.
“Skema kolektif ini justru memudahkan pelaku usaha. Mereka tidak perlu mengurus satu per satu ke pencipta lagu, cukup lewat LMKN,” jelasnya.
Jangan Akali dengan Hentikan Lagu Lokal
Maraknya pelaku usaha yang memilih memutar lagu luar negeri atau bahkan menghentikan pemutaran lagu lokal demi menghindari royalti juga disorot DJKI. Langkah tersebut dinilai kontraproduktif terhadap ekosistem musik nasional.
“Musik adalah cermin budaya bangsa. Menghindari lagu Indonesia sama dengan melemahkan industri kreatif kita sendiri,” tegas Agung.
DJKI menyarankan sejumlah alternatif yang tetap sah secara hukum, antara lain: Memutar musik bebas royalti (royalty-free), menggunakan lagu berlisensi Creative Commons untuk tujuan komersial, memutar karya ciptaan sendiri, menyajikan ambience sound (suara alam) sebagai latar musik, dan menjalin kerja sama langsung dengan musisi independen.
Namun, DJKI mengingatkan agar tidak mudah percaya pada musik yang mengklaim “no copyright” tanpa sumber yang jelas.
“Banyak yang keliru. Lagu yang terlihat bebas hak cipta ternyata masih dilindungi. Bisa berujung gugatan,” imbuhnya.
Musik Komersial Wajib Royalti
Lebih lanjut, Agung menegaskan, prinsipnya, pelaku usaha wajib membayar royalti jika musik diputar di tempat komersial seperti restoran, hotel, toko, kafe, gym, bioskop, hingga transportasi umum. Tujuan penggunaan tersebut adalah untuk kenyamanan atau hiburan publik.
Sementara itu, jika musik hanya diputar untuk konsumsi pribadi di rumah atau lingkungan privat, maka tidak wajib membayar royalti.
Pelaku usaha diingatkan untuk memahami bahwa musik bukan sekadar hiburan, tetapi merupakan karya yang dilindungi hukum. Menggunakannya tanpa lisensi sah adalah pelanggaran yang bisa berdampak hukum. (KP)