
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Siapa yang tak ingin hidup sejahtera dan mapan secara finansial? Uang memang bisa membuka banyak pintu kemudahan, mulai dari layanan kesehatan terbaik, pendidikan berkualitas, hingga liburan mewah. Namun, ketika ambisi mengumpulkan uang berubah menjadi obsesi, hati-hati: Anda bisa terjebak dalam kondisi psikologis yang dikenal sebagai “gila harta”.
Meski terdengar klise, pepatah “uang tak bisa membeli kebahagiaan” rupanya bukan sekadar omong kosong. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa orientasi hidup yang hanya fokus pada uang (money-oriented) dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental, relasi sosial, dan bahkan moralitas seseorang.
Ketika Uang Jadi Sumber Kepuasan Semu
Dilansir dari hellosehat, pola pikir money-oriented biasanya bermula dari kebutuhan sederhana misalnya, ingin makan enak. Otak akan memberi sinyal kepuasan setelah keinginan tersebut terpenuhi, dan memproduksi hormon dopamin, pemicu rasa bahagia.
Masalahnya, otak akan terus mencari sensasi yang sama, dan cara tercepat untuk memenuhi itu adalah dengam uang. Inilah awal dari siklus “sedikit-sedikit duit” yang memaksa seseorang untuk selalu mengejar materi demi memuaskan rasa senang sementara.
Giat Bekerja, Tapi Bisa Jadi Bumerang
Pola pikir money-oriented sering dianggap sebagai motivasi positif. Betul, pada titik tertentu, hal ini bisa mendorong seseorang menjadi pekerja keras. Namun jika tidak dikendalikan, ambisi tersebut bisa berubah menjadi beban mental.
Beberapa orang bahkan terpicu karena trauma masa lalu seperti pernah miskin atau bangkrut. Akibatnya, mereka bekerja tanpa henti dan tidak pernah merasa cukup meskipun sudah hidup berkecukupan.
Lebih Individualis dan Kompetitif
Studi menunjukkan bahwa orang yang money-oriented cenderung:
- Lebih menarik diri dari lingkungan sosial,
- Enggan meminta bantuan demi menghindari pengeluaran tambahan,
- Memilih hiburan yang sifatnya individu, karena lebih hemat biaya.
Sayangnya, kebiasaan ini membuat hubungan sosial jadi renggang dan rasa kesepian pun muncul. Ini bisa menjadi awal mula gangguan kecemasan atau depresi.
Gila Harta dan Lingkaran Setan Mental
Ketika semua hal dinilai berdasarkan “cuan” atau keuntungan, seseorang bisa jadi terjebak dalam lingkaran setan kelelahan emosional:
- Ingin bahagia → butuh uang lebih banyak
- Cari uang lebih banyak → kerja berlebihan
- Kerja berlebihan → stres dan kehilangan waktu bersama keluarga
- Merasa tidak bahagia → kembali ke titik awal: cari uang lagi
Bekerja lebih dari 50 jam per minggu juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung, insomnia kronis, dan burnout. Dalam jangka panjang, kualitas hidup justru menurun.
Dari Ambisi ke Etika yang Terkikis
Dalam banyak kasus, ambisi berlebihan untuk mengejar uang bisa merusak moralitas. Ketika prinsip “asal uangnya banyak” mendominasi, seseorang bisa jadi:
- Tergoda menyuap atau disuap
- Melakukan pemerasan
- Terlibat dalam tindakan korupsi
Padahal, kebahagiaan yang didapat dari cara-cara menyimpang itu hanya bersifat sementara, dan berisiko merusak masa depan.
Bahagia Itu Bukan Tentang Jumlah Uang
Psikolog mengingatkan bahwa usaha berlebihan untuk "mengejar kebahagiaan" justru berujung pada kekecewaan. Semakin keras Anda mencoba bahagia lewat materi, semakin besar rasa tidak puas yang akan muncul.
Kunci kebahagiaan bukan soal menambah harta, tapi belajar menerima dan mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Praktik sederhana seperti meditasi, menjaga hubungan baik dengan orang lain, dan memberi makna pada hidup, terbukti lebih efektif dalam membangun kebahagiaan sejati.
Kesimpulan
Uang penting, tapi bukan segalanya. Pola pikir money-oriented yang ekstrem justru berisiko membuat Anda kehilangan kendali atas hidup sendiri. Jangan biarkan ambisi buta membuat Anda lupa: kesehatan mental, waktu bersama orang terdekat, dan hidup yang seimbang jauh lebih berharga dari sekadar saldo rekening.(*)
Ikuti KENDARI POS di Google News
Dapatkan update cepat dan artikel pilihan langsung di beranda Anda.