Penulis: Dr. Arsalim (Dosen Magister Ilmu Pemerintahan Pascasarjana Universitas Sulawesi Tenggara)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Di ulang tahun pertama Kendari Pos, kala itu masih bernama Harian Media Kita, saya berkesempatan di undang menjadi “moderator” di acara besar Media Kita/Kendari Pos, bertajuk: diskusi panel. Kala itu, membahas tentang arah pembangunan Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan menghadirkan pembicara handal dari kalangan birokrat dan akademisi.
Momentum dan memori tersebut menjadi saksi konsistensi Kendari Pos, dalam menjaga dinamika pembangunan melalui penyebaran informasi yang menginspirasi sampai sekarang.
Kini, tanpa terasa harian Kendari Pos telah memasuki usia 30 tahun. Bagi sebuah institusi pers bukanlah perjalanan singkat. Kendari Pos, sebagai salah satu harian terbesar dan tertua di Sultra, telah menjadi saksi sejarah perjalanan daerah ini, sejak era transisi politik, pembangunan ekonomi, hingga perubahan sosial budaya masyarakat.
Dalam rentang waktu itu, Kendari Pos tidak sekadar hadir sebagai penyaji berita, tetapi juga sebagai medium yang menjaga nilai santun sekaligus menebarkan inspirasi. “Santun” bukan sekadar gaya bahasa yang lunak, melainkan disiplin etik, akurat, adil, proporsional, transparan.
“Menginspirasi” bukan euforia, melainkan jurnalisme bernilai publik, yang memberi konteks opsi kebijakan dan teladan warga. Di usianya kini, Kendari Pos berpeluang menjadi laboratorium jurnalisme daerah, berbasis data, berorientasi produk, beretika tinggi, santun dalam proses, inspiratif dalam hasil.
Sejak awal berdiri, Kendari Pos telah memilih jalan jurnalisme yang tidak melulu mengejar sensasi, melainkan menjunjung etika dan keberimbangan. Di tengah derasnya arus informasi digital yang sering kali penuh polarisasi, Kendari Pos tetap konsisten menghadirkan berita berimbang, bahasa yang santun, dan narasi yang memberi ruang refleksi.
Inilah yang membedakan Kendari Pos, dia tidak hanya menjadi media, tetapi juga institusi moral yang menyuarakan kepentingan publik.
Dalam konteks pembangunan Sulawesi Tenggara, Kendari Pos turut memainkan peran strategis. Melalui reportase kritis namun konstruktif, media ini membantu mengawasi jalannya kebijakan, membuka ruang diskusi publik, serta mendorong transparansi pemerintahan.
Di sisi lain, ia juga memberi panggung bagi kisah-kisah inspiratif, dari perjuangan petani, nelayan pesisir, inovasi UMKM, hingga dinamika mahasiswa dan komunitas muda kreatif. Dengan begitu, Kendari Pos menjadi jembatan antara rakyat dan penguasa, antara aspirasi dan realisasi.
Diusia 30 tahun ini pula, Harian Kendari Pos menghadapi situasi yang jauh berbeda dibanding tiga dekade lalu. Jika di masa awal berdirinya tantangan utama adalah keterbatasan distribusi dan infrastruktur informasi, maka kini tantangan utamanya bersumber dari disrupsi digital, fragmentasi audiens, dan krisis model bisnis media.
Kehadiran media sosial dan portal daring telah mengubah cara orang mengakses berita. Teori platform capitalism (Nick Srnicek) dan platformization of news (Nieborg & Poell) menjelaskan, distribusi berita kini lebih banyak ditentukan oleh algoritma perusahaan teknologi global.
Kendari Pos tidak lagi menjadi satu-satunya pintu informasi, tetapi harus bersaing di ruang digital yang dikuasai oleh raksasa seperti Google, Facebook, dan TikTok. Resiko yang dihadapi adalah berkurangnya loyalitas pembaca cetak, turunnya trafik jika bergantung pada algoritma, dan tergerusnya iklan tradisional. Namun tantangan ini menjadi peluang dalam memperkuat distribusi digital melalui website, aplikasi, dan kanal media sosial yang dikelola dengan strategi redaksi.
Dalam kerangka attention economy yang diperebutkan bukan lagi sekadar pembaca, melainkan perhatian. Masyarakat kini memiliki ribuan alternatif hiburan dan informasi di gawai mereka. Akibatnya, iklan yang dahulu menjadi tulang punggung media cetak semakin tergerus oleh duopoli iklan digital (Google dan Meta).
Tentunya ini menjadi peluang Kendari Pos dalam mengembangkan model bisnis baru seperti membership, event komunitas atau layanan data/informasi khusus isu Sultra (misalnya perikanan, pariwisata, atau industri nikel).
Tantangan lainnya adalah munculnya gejala krisis kepercayaan terhadap media juga melanda tingkat lokal. Sebagian masyarakat memilih untuk menghindari berita atau news avoidance karena dianggap negatif atau membosankan. Dalam teori constructive journalism (Ulrik Haagerup), media diharapkan tidak hanya mengkritik, tetapi juga memberikan solusi.
Kendari Pos dapat menegaskan diri sebagai media yang santun, berimbang, dan inspiratif dengan menekankan liputan berbasis solusi (solution journalism) untuk isu-isu lokal.
Kendari Pos tidak lagi hanya berhadapan dengan tantangan menjaga kualitas cetak, tetapi juga harus bertransformasi menjadi media hybrid kuat di cetak, dinamis di digital, kredibel di tengah banjir disinformasi. Jalan panjang yang telah ditempuh menunjukkan bahwa Kendari Pos memiliki fondasi yang kuat, santun dalam bahasa, inspiratif dalam isi. Kini tantangan utamanya adalah bagaimana prinsip tersebut tetap terjaga di tengah gempuran era digital.
Selain itu Kendari Pos tetap mengalirkan transformasi mengikuti perkembangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Digitalisasi harus dihadirkan dengan tetap mengedepankan prinsip jurnalistik. Kolaborasi dengan masyarakat sipil, akademisi, hingga komunitas lokal perlu diperkuat agar media ini terus relevan sebagai ruang dialog publik.
Selamat ulang tahun ke-30 Kendari Pos. Semoga tetap menjadi rumah informasi yang santun, serta sumber inspirasi yang menyalakan harapan bagi Sulawesi Tenggara dan Indonesia. (*)