SHNet, Jakarta-Intelektual dan budayawan Yudi Latif kembali menulis karya monumental yang membangkitkan semangat dan kecintaan pada Tanah Air. Buku terbarunya berjudul “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?: Epos Sumbangsih Cerlang Nusantara sebagai Pandu Masa Depan Dunia ” peran strategis dan signifikan Indonesia dalam sejarah, peradaban, serta masa depan dunia, mengajak pembaca merenung dan memahami jati diri bangsa serta warisan peradaban Indonesia yang tak ternilai.
Buku setebal 750 halaman yang dibagi dalam 22 bagian, telah duluncurkan akhir Oktober 2025. Pada Jumat, 19 Desember 2025, buku tersebut kembali dibedah di Badan Bahasa, tepatnya di Aula Sasadu, Gedung M. Tabrani Lt. 2. Sekitar 200 undangan dari berbagai kalangan mulai akademisi, dosen, guru, mahasiswa, pelajar, dan, dan masyarakat umum. “Saya senang sekali, buku saya meski tebal tapi bisa nyambung dengan para pelajar dari tingkat SMP hingga mahasiswa dan hampir setiap hari dibahas dalam berbagai forum,” ungkap Yudi Latif.
Namun bedah buku di Badan Bahasa ini terbilang serius mengingat pembahasnya pun para ahli bidang bahasa, yang menjadi fokus perhatian lembaga yang nama lengkapnya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Mereka adalah Prof. Liliana Muliastuti, mantan Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Abdul Haq, dan ahli linguistik dan Pembina Yayasan Pendidikan Harapan Medan sejak 2010 sampai sekarang, Dr. Amrin Saragih.
Yudi Latif mengatakan, buku yang diterbitkan Kompas Gramedia tersebut ditulis secara populer, tidak terlalu ilmiah, meski merupakan hasil riset intensif selama tiga tahun. dan terbukti semua kalangan dapat memahamnyai. “Sengaja saya lebih mengungkap fakta-fakta dan mendeskripsikannya dengan lugas,” katanya.
Kepada peserta bedah buku, Yudi Latif menjelaskan jejak kontribusi Indonesia terhadap dunia mulai dari teknologi maritim, arsitektur, hingga nilai-nilai kemanusiaan yang mengilhami peradaban global. Selama berabad-abad, kontribusi besar bangsa ini tertutupi oleh sejarah kolonial yang menghapus peran Nusantara dari panggung dunia.
Apa saja keungguulan negara kita? Yudi pun menyebut sejumlah hal yang sangat strategis yakni pusat rempah-rempah, jalur laut strategis yang menghubungkan tiga benua, kekayaan hayati yang luar biasa, inspirasi dari semangat kemerdekaan, serta warisan budaya unik seperti Candi Borobudur, menjadikannya dunia yang berbeda secara ekonomi, geografis, kultural, dan spiritual, kehilangan denyut nadi peradaban penting dari Nusantara.
Suasana bedah buku karya Yudi Latif yang dipenuhi peserta dari berbagai kalanganPosisi Indonesia di Panggung Global
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Dr. Liliana Muliastuti , dalam pembahasannya “Merawat Indonesia, Merawat Dunia: Bedah Buku Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? Karya Yudi Latif” mengatakan, buku ini dipilih karena menawarkan refleksi mendalam mengenai posisi dan makna keberadaan Indonesia dalam sejarah dunia dan masa depan peradaban global.
Menurut Liliana, di tengah arus globalisasi, krisis identitas nasional, dan melemahnya etika publik, Yudi Latif mengajukan pertanyaan fundamental: apa jadinya dunia tanpa Indonesia? Buku ini disusun dalam bentuk esai-esai tematik yang saling berkelindan terdiri dari 22 bagian dan 750 halaman. Ketebalan buku menggambarkan ketangguhan penulisnya untuk terus menulis sebagaimana diceritakannya dalam bagian prawacana.
“Gagasan utama buku ini adalah bahwa Indonesia memiliki peran strategis bagi dunia, terutama sebagai model peradaban yang mampu menyatukan pluralitas dalam kerangka etika dan keadilan sosial. Keberhasilan atau kegagalan Indonesia dalam menjaga nilai-nilai tersebut akan berdampak melampaui batas-batas nasional,” papar Liliana.
Dalam alisisinya yang tajam, Liliana mengatakan, Yudi Latif menggunakan pendekatan multidisipliner yang memadukan sejarah, filsafat, politik, dan sosiologi. Pendekatan ini memperkaya sudut pandang analisis, namun juga menuntut tingkat literasi dan refleksi yang tinggi dari pembaca. Meskipun penulis menyatakan buku ini ditulis tidak menggunakan kaidah ilmiah yang ketat (halaman xiii), tetapi tetap “berat” terutama bagi pembaca awam.
Secara umum, buku ini berhasil mengajak pembaca melihat Indonesia sebagai proyek peradaban jangka panjang. Kekuatan utamanya terletak pada kedalaman refleksi normatif dan konsistensi gagasan tentang pentingnya nilai-nilai kebangsaan. Namun, pendekatan yang dominan filosofis membuat buku ini lebih kuat sebagai bacaan pemikiran daripada panduan kebijakan operasional.
Khusus dalam kaitan telaah bahasa, Yudi Latif secara khusus menyoroti bahasa Indonesia sebagai salah satu sumbangsih paling signifikan Nusantara bagi dunia. Bahasa Indonesia dipahami bukan sekadar alat komunikasi, melainkan medium pembentuk imajinasi kolektif, etika publik, dan persatuan kebangsaan.
Pencapaian Peradaban Langka
Keberhasilannya menyatukan ratusan etnis tanpa menyingkirkan bahasa daerah dipandangsebagai pencapaian peradaban yang langka. Dalam kerangka ini, bahasa diperlakukan sebagai infrastruktur moral dan kultural yang menopang keberlangsungan sebuah bangsa.
“Yudi Latif menekankan bahwa bahasa Melayu digunakan secara luas dalam jaringan perdagangan, dakwah, dan pertukaran intelektual antarpulau serta antarbangsa di Asia Tenggara. Dengan demikian, Bahasa Indonesia tidak lahir sebagai bahasa eksklusif suatu etnis, melainkan sebagai bahasa perjumpaan lintas budaya. Penekanan historis ini menjadi landasan kuat bagi argumen bahwa bahasa Indonesia sejak awal mengandung watak inklusif dan dialogis,” tegas Liliana
Yudi Latif secara meyakinkan menekankan fungsi peradaban bahasa. Bahasa Indonesia bukan hanya warisan historis, tetapi juga instrumen untuk memproduksi pengetahuan, menyebarkan nilai, dan membangun solidaritas. Dalam pandangan ini, bahasa Indonesia memiliki potensi sebagai bahasa peradaban yang mampu menjembatani lokalitas Nusantara dengan kemanusiaan universal.
“Secara keseluruhan, penggunaan sejarah dalam bagian ini mempertegas tesis besar buku ini: bahwa Indonesia—melalui bahasa, nilai, dan pengalaman historisnya—memiliki kontribusi unik bagi dunia. Namun, agar argumen tersebut lebih kokoh, pembacaan historis yang reflektif ini idealnya dilengkapi dengan analisis kritis yang lebih tajam terhadap dinamika kebijakan dan praktik kebahasaan kontemporer,” ujar Liliana
Foto bersama pembicara Yudi Latif dan para pembahas serta moderatorBahasa Ilmu
Mantan Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Abdul Haq yang khusus mengulas bagian akhir yakni bagian 22 buku Yudi latif tentang bahasa Indonesia. Dalam paparan materi berjudul “Bahasa Indonesia dan Signifikansinya bagi Dunia”, Abdul Haq menjelaskan, dengan referensi hampir enam halaman (khusus Bagian 22 saja), wajar kalau buku ini menampilkan tulisan yang lengkap, dari aspek sejarah, aspek linguistik, peran sejarah dari berbagai pihak, hingga pandangan pribadi penulisnya.
“Bahasanya sederhana mengalir, ramah terhadap pembaca, tetapi tidak mengurangi bobot keilmuannya. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sederhana (hal 711), tetapi efektif di dalam fungsinya sebagai bahasa ilmu. Jadi, kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi, “papar Abdul Haq.
Beberapa kalimat inti pandangan penulis di Bagian 22 yang menurut AbdulHaq menjadi “daging”-nya adalah yang berikut:
- Bahwa setiap buku teks, setiap hasil penelitian, setiap forum ilmiah berbahasa Indonesia bukan sekadar produk Pendidikan, melainkan juga proses pembaruan bahasa itu sendiri (hal. 710).
- Kekuatan sejati bahasa Indonesia bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi sebagai alat negosiasi intelektual.
- Bahasa ini tidak membebani murid dengan aturan linguistik yang kaku, melainkan membuka jalan untuk mengakses dunia ide secara lebih intuitif. (711)
- Bahasa Indonesia bersifat egaliter dan bebas dari bias seksis, menjandikannya inklusif dan emansipatif—sebuah kualitas yang semakin relevan bagi peradaban dunia di masa depan. (711)
- Bahasa bukan sekadar kata-kata, melainkan napas sebuah peradaban. (723) STA (1976), “Bahasa adalah jiwa sebuah bangsa. Ia bukan sekadar kumpulan kata, melainkan denyut sejarah, napas peradaban, dan cermin kebudayaan.”
Jadi, menurut Abdul Haq, semakin maju peradaban sebuah bangsa, semakin banyak entri yang dikandung di dalam kamus bahasanya. Tesis ini dapat dibalik, kamus yang mempunyai entri sedikit menggambarkan peradaban pendukungnya yang belum maju. Bandingkan Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary Edisi XII (dirilis 2025) 470.000 entri (versi daring), Oxford English Dictionary (edisi 2025) lebih dari 616.500 entri (kata dan frasa) dengan jutaan kutipan ilustrasi, dan KBBI (2025) dengan entri 210.000 lebih. “Artinya bahwa peradaban bangsa pemilik kedua kamus (Amerika dan Inggris) lebih maju dibandingkan pemilik KBBI (dapat diperdebatkan),” tandasnya.
sedangkan akademisi dr. Amrin Saragih secara lisan mengulasnya dari sisi agak beda meski tetap berfous pada bagian 22 buku Yudi Latif yang khusus mambahas tentang Bahasa Indonesia. Menurut dia, melalui buku ini Yudi Latif menjelaskan bahwa Bahasa Indonesia sesungguhnya memotret danmerefleksikan situasi yang berkembang, juga soal budaya, dan ideologi .
“Apa jadinya bila tudak ada Bahasa Indonesia? Yudi Latif dengan bahasa metafora menjawabnya dengan menarik yakni Ia, seperti beringin yang menaungi tanaman lain danm menghubungkan suatu bangsa dengan kesederhanaan, bukan dengan dia tapi Ia. Ini yang mengundang saya untuk mendalami buku Yudi Latif.”
Dalam kaitan Bahasa Indonesia ini, yang menarik, lanjut Amrin, Yudi Latif mengatakan Bahasa Melayu Indonesia, bukan Melayu yang lain. Meskipun dirinya juga tertarik meneliti soal Bahasa Melayu lainnya, misalnya Melayu Malaysia yang sudah berisi ke-Malaysian.
Di bagian lain yang menarik menurut Amrin, karena latar belakang pendidikan S-2 dan S-3 Yudi Latif di Australia, tampaknya dalam pembahasan soal Bahasa Indonesia, Yudi Latif agak terpengaruh dengan Bahasa Inggris (Australia).
“Yang menarik juga, kondisi yang terjadi sejak masa kerajaan, masa penjajahan, dipotret oleh Yudi Latif dan lalu ditampilkan dalam bab terakhir, inilah Bahasa Indonesia. Tapi dia secara halus menyindir, apakahkita membiarkan bahasa kita yang punya potensi kuat ini kita biarkan? apalagi ada tantangan berkembanganya Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan yang mampu menterjemahkan suatu bahasa ke bahasa lain.” ujar Amrin. (sur)


















































