SHNet, Jakarta-Sebagai pengembang dan operator jalan tol terbesar di Indonesia, Jasa Marga memiliki sistem pemantauan yang sangat ketat terhadap kepadatan jalan tol melalui teknologi digital dan pusat kendali terpadu untuk memberikan informasi real-time kepada pengguna jalan. Karenanya, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mempertanyakan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang mengabaikan hasil analisis evaluasi (ANEV) Jasa Marga untuk menentukan lamanya pelarangan truk sumbu 3 atau lebih pada saat Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru 2025/2026).
Wakil Ketua Bidang Darat DPP ALFI, Ivan Kamadjaja, mengatakan larangan terhadap truk sumbu 3 atau lebih pada Nataru 2025/2026 yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kemenhub, Korlantas Polri dan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) selama 11 hari terlalu lama. Pembatasan operasional berlaku pada periode 19–20 Desember 2025 pukul 00.00–24.00, 23–28 Desember 2025 pukul 00.00–24.00, dan 2–4 Januari 2026 pukul 00.00–24.00.
“Lamanya waktu pelarangan di Nataru nanti menjadi kontraproduktif bagi kami pengusaha angkutan barang,” ujarnya.
Padahal, menurutnya, berdasarkan pada hasil analisis evaluasi (ANEV) dari Jasa Marga yang pernah disampaikan oleh Kemenhub pada awal Oktober 2025 lalu di rapat pertama dengan para stakeholder, lamanya pelarangan itu hanya 6 hari saja. Yaitu, pada 19 Desember 2025 dari pukul 12.00 – 24.00, 20 Desember 2025 pada pukul 00.00 – 24.00, 24 Desember 2025 dari pukul 00.00 – 24.00, 28-29 Desember 2025 dari pukul 00.00 – 24.00, dan 4 Januari 2026 dari pukul 00.00 – 24.00. “Itu didasarkan pada hasil ANEV Nataru 2024 yang dilakukan Jasa Marga. Jadi, dengan dasar dari Jasa Marga,” katanya.
Saat itu, ALFI tidak keberatan dengan usulan Jasa Marga yang hanya melarang operasional truk sumbu 3 atau lebih selama 6 hari saja. “Kami pikir oke lah, itu masih mendingan dan kami berusaha mengakomodir itu,” tuturnya.
Tetapi, lanjutnya, di rapat tanggal 2 Desember 2025, yang dilakukan secara Zoom meeting, munculnya justru berbeda. Lamanya pelarangan ditambah menjadi 11 hari tanpa adanya acuan data seperti yang dilakukan Jasa Marga. “Dan pada rapat itu saya sudah sempat protes, kenapa kok keluarnya jauh sekali dengan yang di rapat pertama dan bahkan sebetulnya sudah ada dasarnya, yaitu ANEV dari Jasa Marga,” ucapnya.
Saat itu, lanjutnya, jawaban dari Kemenhub hanya mengatakan bahwa itu arahan dari atasan. Kemudian disampaikan juga, jika nanti seandainya ternyata jalan tidak macet, nanti truk sumbu 3 atau lebih itu akan diperbolehkan jalan. “Loh, caranya bagaimana ngasih tahunya? Masak dengan tiba-tiba kita harus berangkat buru-buru. Nggak masuk akal lah aturan seperti itu, malah membuat bingung para pengusaha,” tandasnya.
Yang jelas, katanya, ALFI sangat keberatan dengan aturan yang tertuang dalam SKB itu. Menurutnya, ALFI hanya setuju dengan Jasa Marga yang mendasarkan pada hasil ANEV. “Jadi, sebetulnya kalau usulan kami itu defaultnya itu sebaiknya boleh jalan. Tetapi, jika terlihat ada kemudian terjadi mulai penumpukan volume kendaraan, ya silahkan aja disuruh putar balik atau keluar dari jalan tol. Itu masih lebih efektif. Jadi, malah bukan kebalik, defaultnya tidak boleh jalan. Nanti kalau sepi, kalau tidak macet, baru boleh jalan. Cara ngasih tahunya bagaimana itu,” tukasnya.
Dia menuturkan pelarangan yang terlalu lama ini bisa dipastikan akan sangat berdampak terhadap rantai pasok, dan para stakeholder seperti pengusaha truk dan pengemudi, berhentinya mesin pabrik. “Pabrik-pabrik itu kan ada yang mesinnya tidak bisa dimatikan begitu saja seperti nyalain lampu dan tiba-tiba dimatikan. Nggak bisa seperti itu, karena produksinya harus jalan terus,” tuturnya.
Jadi, lanjutnya, kalau stok bahan baku mereka tidak ada karena adanya pelarangan terhadap angkutan barang truk sumbu 3 saat Nataru nanti, mereka pasti akan mengalami kerugian besar. Begitu juga dengan para eksportir dan importir, mereka juga pasti akan mengalami kerugian karena tidak ada truk yang akan mengangkut barang-barang mereka dari dan ke pelabuhan.
Dampak luasnya, yakni terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang ditargetkan pemerintah. Hal itu disebabkan karena tersendatnya pengiriman bahan baku industri yang dipastikan akan mengganggu ekspor impor serta terjadinya pembatalan kontrak dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan kegagalan masuk devisa ke dalam negeri.
Menurutnya, pemerintahan seharusnya lebih peka dengan kondisi perekonomian dan industri di tanah air saat ini, di mana banyak sekali terjadi perusahaan gulung tikar dan pemutusan hubungan kerja.
Kondisi yang terjadi bukan hanya dikarenakan efek kalah bersaing atau berkompetisi dengan negara lain, tetapi juga disebabkan oleh pembuatan regulasi-regulasi yang tidak mendukung iklim usaha untuk dapat tumbuh dan berkembang. “Jadi, pembatasan operasional angkutan barang dengan dalih mengamankan kelancaran lalu lintas selama Nataru nanti, jelas akan mengorbankan hak hidup para pelaku usaha dunia angkutan barang dan logistik,” katanya.
Sementara, dampaknya terhadap para pengusaha truk terutama yang masih memiliki angsuran ke leasing atau bank, mereka bisa kesulitan untuk membayarnya “Bayar bunga ke bank atau leasing itu kan nggak bisa libur sebulan. Begitu juga untuk biaya-biaya overhead kita seperti sewa kantor, sewa kendaraan, itu kan berjalan terus. Sopir-sopir juga otomatis akan menganggur,” tukasnya.
Dia mengatakan kecewa dengan kebijakan pemerintah ini karena tidak pernah mendengar masukan-masukan dari para pengusaha angkutan barang. “Kalau begitu, percuma saja Kemenhub mengajak diskusi kalau memang masukan-masukan kami tidak pernah didengarkan. Itu formalitas saja. Buktinya, meski kita sudah tiap tahun jelaskan dampak dari pembatasan yang terlalu panjang itu kepada Kemenhub, tapi tetap saja pelarangan itu dilakukan,” ucapnya.


















































