
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Pada tahun 2026, Indonesia menghadapi dilema besar terkait keuangan daerah. Transfer Keuangan Daerah (TKD) yang selama ini menjadi tulang punggung keuangan daerah, mengalami penurunan cukup signifikan.
Berdasarkan data terbaru, alokasi TKD dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah turun drastis, menimbulkan kekhawatiran di berbagai sektor. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang menjadi penyebab turunnya dana tersebut, dan siapa yang paling terdampak dari perubahan ini?
TKD adalah dana diterima pemerintah daerah dari pemerintah pusat, yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan pembangunan daerah. Dana ini sangat penting, terutama bagi daerah dengan potensi sumber daya alam terbatas, dan bergantung pada alokasi dari pusat, untuk menjaga keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, di tahun 2026, alokasi TKD mengalami penurunan cukup tajam. Data yang ada menunjukan, total TKD sekitar Rp 650 triliun. Terjadi penurunan 2025 sekitar Rp269 triliun dari APBN 2025 yang sebesar Rp 919,87 triliun.
TKD meliputi : Dana Bagi Hasil (DBH), DAU, DAK, Dana Otsus dan Dana istimewa DIY, Dana Desa, insentif fiskal. Apa yang menjadi faktor utama penyebab turunnya dana ini? Adakah kebijakan fiskal yang lebih ketat di pusat? Atau mungkin, sebuah upaya untuk menekan pengeluaran negara yang lebih besar? Atau bisa jadi, ini adalah konsekuensi dari ketimpangan dalam penggunaan dana yang terjadi di beberapa daerah?
Kondisi ini memicu pertanyaan besar: siapa yang akan terselamatkan? Apakah daerah-daerah dengan anggaran terbatas akan mampu bertahan, atau justru menjadi semakin tertinggal? Di sisi lain, apakah kebijakan ini akan memberi dampak positif atau justru semakin memperburuk kondisi sosial-ekonomi di tingkat daerah?