Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Setelah lama tak menunjukkan progres, akhirnya Inpex Masela, LTD. (Inpex), anak perusahaan dari Inpex Corporation, sebagai operator Lapangan Gas Abadi dan atas nama mitra kerja sama, yaitu Pertamina Hulu Energi Masela (PHE Masela) dan Petronas Masela Sdn. Bhd. (Petronas Masela), mengumumkan dimulainya fase Inisiasi FEED Onshore OLNG Front-End Engineering Design untuk pengembangan Proyek LNG Abadi pada 9 April 2025.
Fase FEED ini difokuskan pada pemilihan teknologi lisensor likuefaksi dan teknologi penggerak turbin gas, yang keduanya merupakan elemen penting untuk mempercepat keseluruhan tahapan desain rekayasa awal (FEED). Inisiatif ini penting untuk memastikan kesiapan proyek dan kesesuaian dengan jadwal pengembangan, guna mewujudkan realisasi proyek secara tepat waktu. Hasil dari fase ini akan menjadi dasar teknis dan komersial untuk pelaksanaan FEED selanjutnya, sekaligus memastikan integrasi teknologi likuefaksi yang canggih guna mengoptimalkan kinerja dan keandalan.
Namun, kalua dilihat dari rentetan peristiwa fase ini dimulai tidak lepas dari tekanan pemerintah melalui Kementerian ESDM (SKK Migas) yang memberikan surat peringatan pertama (SP 1) kepada Inpex pada Pebruari 2025. Peringatan itu tentu merupakan wujud kekesalan karena proyek Abadi Masela belum memperlihatkan kemajuan meski persetujuan rencana pengembangan atau Plan of Development (POD) kedua telah diberikan sejak November 2023. Bahkan, pemerintah (Menteri ESDM Bahlil Lahadalia) mengancam akan mencabut izin jika Inpex tidak kunjung memperlihatkan kemajuan yang berarti.
Langkah berikutnya, Inpex diminta untuk segera mencari pembeli gas. Artinya, Inpex harus memulai pembahasan Final Investment Decision (FID) pada April 2025. Selain itu, juga dipatok target untuk penandatanganan Head of Agreement (HOA) untuk jual beli gas pada Mei 2025.
Sangat wajar untuk memastikan keseriusan Inpex dalam mengelola Blok Masela, karena kontrak sudah berusia seperempat abad lebih tetapi sampai kini Blok Masela tak kunjung beroperasi untuk menghasilkan gas.
Kontrak kerja sama nya ditandatangani pada 16 November 1998 antara pemerintah dan dengan PT Inpex Masela Limited dan Shell Upstream Overseas Services. Kemudian, POD I disetujui pada 6 Desember 2010. Cadangan Blok Masela semula 6,97 TCF dan kemudian pada tahun 2013 ditemukan cadangan baru yang telah disertifikasi Lemigas menjadi 10,74 TCF. Hal ini menjadi dasar penetapan FID yang dijadwalkan 2018 dan karena itu diperlukan persetujuan revisi PoD I.
Sejak awal ketika Blok Masela hendak dikelola dengan pola kilang terapung sebenarnya menyimpan persoalan, karena praktis tidak memberikan dampak ekonomi apapun bagi Maluku sebagai pemilik Blok Masela. Dengan pola terapung, maka gas Masela tidak akan pernah mampir ke Maluku karena akan segera diangkut ke berbagai tujuan akhir. Hal ini hanya memposisikan Maluku sebagai objek perahan tanpa adanya upaya untuk memikirkan kepentingan Maluku. Dengan sistem terapung praktis hanya menguntungkan investor, sementara Maluku yang ditakdirkan sebagai pemilik Blok Masela diabaikan begitu saja.
Perlakuan yang tidak adil inilah yang mendorong penulis untuk mengajak kalangan akademisi Universitas Pattimura seperti Prof. J Saptenno, Dr. Jantje Tjiptabudi, Dr. Semuel Leunufna, Dr Abraham Tulalessy dan lain-lain. Dari Universitas Darussalam, Dr. Ohorella, Dr. Ida Hehanusa, Drs. Zulfikar Lestaluhu, Taher Karepesina, dan lain-lain, dari STAKPEN seperti Dr. Yance Rumahuru, dari UKIM Pendeta Rudy Rahabeat dan berbagai kalangan seperti Amir Hamzah Marasabessy, termasuk kalangan pemuda di Maluku seperti HMI dan Jakarta untuk bersama-sama memperjuangkan hak Maluku atas gas Blok Masela. Tentu masih banyak figure yang tidak bisa disebut satu per satu.
Tuntutannya hanya satu: Blok Masela harus dikelola di darat. Sebab, hanya dengan demikian, keberadaan gas Masela memberikan kemungkinan akan multiplier effect secara ekonomi dan bahkan memungkinkan untuk munculnya industri berbasis gas di Maluku.
Perjuangannya tidak mudah karena menghadapi tembok besar karena sejumlah elite penguasa sudah berkolaborasi dengan pengusaha dengan dukungan finansial bukan hanya di pusat tetapi juga di daerah. Untuk itu, tidak ada jalan lain, sumber daya pribadi yang tidak kecil harus terkuras karena berbagai upaya harus dilakukan untuk meyakinkan Presiden Joko Widodo kalau kilang darat merupakan bentuk keberpihakan kepada ekonomi Maluku.
Namun, yang tak terlupakan, sikap elit-elit Maluku yang berada dalam sistem pemerintahan dan lembaga politik seolah acuh tak acuh terhadap agenda penting yang sangat menentukan masa depan anak-anak Maluku. Minta maaf, mereka seolah memiliki dunia yang berbeda dengan dunia rakyat Maluku. Bahkan, ada yang tak risih mengklaim sebagai pejuang terdepan. Tapi, satu yang pasti, semua kawan-kawan yang berjuang berada di luar sistem yang berkolaborasi dengan akademisi di Maluku. Selebihnya, penulis tidak paham, tapi kalau sekarang menjadi sadar dan tercerahkan tentu satu perkembangan yang baik.
Patut disyukuri, dari semua pejabat negara di Jakarta, ada seorang Dr. Rizal Ramli (Menko Kemaritiman saat itu) yang memiliki semangat yang sama kalau kilang laut sangat merugikan Maluku, sehingga tuntutan kilang darat merupakan hal yang sangat wajar jika benar-benar ada keberpihakan kepada rakyat Maluku. Sangat jelas, Presiden Joko Widodo tampaknya mendengarkan suara orang Maluku dan tentu tidak lepas dari pengaruh masukan Dr. Rizal Ramli, sehingga tanpa ragu Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memindahkan kilang Blok Masela dari laut ke darat pada Maret 2016.
Tapi yang jelas, penulis bersama kawan-kawan ibarat sudah berjuang menggoyang “pohon cengkih” milik orang Maluku, silakan pilih dan nikmati. Tapi, kalau cara memilih cengkih dan mengolah menjadi bahan yang lebih mahal juga tidak bisa dipikirkan, disiapkan dan dilakukan, maka sebenarnya masalahnya pada kualitas kepemimpinan di berbagai level. Gas Blok Masela membutuhkan ketrampilan pemimpin untuk mendesain roadmap hilirisasi, sehingga bisa mewujudkan aneka industri turunan yang berbahan gas. Dengan hilirisasi yang fokus sebenarnya lebih dari cukup untuk menghadirkan kesejahteraan bagi semua orang Maluku, bahkan untuk kawasan timur. Tapi, kalau hanya sekadar berusaha mengutak-atik participating interest (PI) 10 persen untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompok, maka Blok Masela bisa jadi hanya jadi objek untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok.
Keberadaan Blok Masela akan menjadi ujian nyata bagi ketrampilan setiap pemimpin di Maluku. Apakah keberadaan Blok Masela menjadi berkat ataukah kutukan. Sebab, kata pemikir ekonomi tidak daerah yang miskin, yang ada adalah pemimpin yang gagal menghadirkan kesejahteraan. Apalagi kalau itu terjadi di atas bumi yang kaya sumber daya alam.
Bagi orang Maluku, sebenarnya yang paling relevan bukan kapan Blok Masela menghasilkan gas, tetapi pertanyaan mendasar yang diajukan, bagaimana posisi Maluku dan dapat apa dari keberadaan Blok Masela? Kalau hak yang pasti, tentu PI 10 persen dan dana bagi hasil. Tapi, yang paling penting bagaimana Maluku menjadikan keberadaan Blok Masela untuk melahirkan industri, sehingga bukan saja menjadikan Maluku sebagai produsen, tetapi juga akan membuka lapangan kerja dan berbagai dampak ekonomi ikutan. Hal ini semestinya menjadi perhatian utama dari pemangku kekuasaan di Maluku dan Jakarta, sehingga kekayaan alam Maluku ini benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat, sesuai dengan perintah pasal 33 UUD 1945.
Untuk itu, tanpa memikirkan hilirisasi (industri) gas yang terarah, maka Maluku hanya akan mengulang sejarah sebagai objek eksploitasi tanpa menyisakan kesejahteraan bagi Maluku. Bahkan, kalau PI 10 persen Blok Masela mampu dengan dikelola dengan profesional dan benar-benar menempatkan kepentingan rakyat sebenarnya sangat memadai untuk menghadirkan kesejahteraan di Maluku. Tetapi, kekayaan dan peluang sebesar apapun kalau hanya menjadikan kepentingan pribadi dan kelompok sebagai di atas kepentingan rakyat, dengan sendirinya Maluku tidak akan beranjak dari situasi kemiskinan dan keterpurukan.
Perkembangan terbaru dalam pengelolaan Blok Masela ini tentu sangat baik, tetapi bagi Maluku yang paling penting bagaimana Blok Masela menghadirkan kesejahteraan bukan saja bagi generasi sekarang, tetapi juga bagi generasi di masa mendatang. Namun, kalau pondasi awal salah dibangun, maka generasi mendatang akan menanggung dampak yang merupakan warisan dari generasi sekarang. Untuk itu, jangan sampai anak cucu orang Maluku di masa depan mengingat generasi dewasa ini sebagai generasi yang gagal mengelola kekayaan Maluku dan justru hanya menyisakan masalah yang membebani generasi mendatang.
Penulis yakin, tidak ada yang mau berada dalam posisi ini, sehingga satu-satunya cara memastikan Maluku haknya sesuai dengan kekayaan alam yang merupakan berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Maluku berhak sejahtera di atas kekayaan alamnya, sehingga tidak boleh ada siapapun yang berusaha mengalihkan kesejahteraan yang semestinya merupakan hak rakyat Maluku. Pemangku kekuasaan tentu perlu dan semestinya berada di garis terdepan untuk memastikan hak Maluku, sebab rakyat mempertaruhkan harapan dan nasib dalam setiap kebijakan dari pemimpin di berbagai level. Jadi, tantangan pemimpin tidak mudah, tetapi rakyat berhak menuntut yang terbaik sesuai dengan potensi daerah.

Meski perkembangan Blok Masela menunjukkan kemajuan dengan fase FEED, tetapi di saat bersamaan juga memunculkan kekhawatiran, karena hampir bersamaan dengan launching FEED dari Inpex, Pemerintahan Prabowo-Gibran juga mengambil kebijakan untuk mengubah regulasi mengenai kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) menjadi fleksibel dan realistis guna menjaga daya saing industri Tanah Air di pasar global.
Perubahan ini ibarat pisau bermata dua, di satu sisi kebijakan ini memenuhi selera pasar global, tetapi di sisi lain juga kontraproduktif dengan hilirisasi dan dengan sendirinya akan memukul komponen dan jasa dalam negeri. Perkembangan situasi ini, juga perlu mendapat perhatian dari Maluku dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam konteks Blok Masela. Sebab, komponen yang semula menjadi kewajiban investor diubah menjadi pilihan, yang artinya boleh dipenuhi atau tidak. Tentu, dengan situasi seperti ini, Maluku perlu membangun komunikasi dan negosiasi dengan pengelola Blok Masela mengenai komponen yang bisa diakomodir. Sebab, dengan kebijakan ini tidak ada kewajiban lagi bagi investor untuk menyertakan komponen dalam negeri.
Jadi, di satu sisi pemerintah ingin melakukan hilirisasi produk, tetapi di satu sisi mengahilangkan vitamin yang merupakan energi program hilirisasi. Dampak dari penghapusan TKDN ini akan membawa dampak dalam pengelolaan sumber daya alam di Maluku, sehingga sangat penting menjadi perhatian bagi semua pemangku kepentingan dalam mendesain hilirisasi atau industri di Maluku. Semoga!
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation.