Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Pada 5 Pebruari 2025, genap 170 Tahun Injil masuk ke Tanah Papua. Namun, ketika berbicara mengenai pelopor Injil di Tanah Papua, maka Carl Wilhelm Ottow (24 Januari 1827 – 9 November 1862) dan Johann Gottlob Geissler (18 Februari 1830 – 11 Juni 1870) merupakan tokoh utama, karena kedua Pekerja Kristen merupakan penginjil pertama yang ditempatkan di Nieuw Guinea (Papua).
Sebab, sebelum kedatangan Ottow-Geissler, Tanah Papua belum menjadi wilayah kerja zending (misionaris), meski di atas kertas Belanda mengklaim supremasi atas Tanah Papua sejak awal abad ke-17. Meski pada tahun 1828, Belanda mendirikan Benteng Du Bus di Teluk Triton (Kaimana). Nama benteng ini diambil dari nama Komisaris Jenderal Hindia Belanda di Maluku, Viscount Du Bus de Gisignies. Benteng ini tidak bertahan lama karena ditinggalkan pada 1836. Kemudian, ekspedisi tahun 1850, yang menghasilkan didirikannya sebuah pos di Port Humboldt, dekat Teluk Bougainsville pada tahun 1852.
Sejauh ini, perhatian zending hanya bertumpu di luar Papua, seperti Jawa, Maluku, Sulawesi, Sumatera, Kepulauan Timor dan di berbagai tempat. Sebab, mengirim zending bukan persoalan mudah, karena berkaitan dengan pembiayaan dan personil yang cocok untuk menjalankan tugas sebagai zending seperti yang dilakukan zending Belanda di berbagai wilayah di Hindia Belanda (Indonesia).
Situasi Papua menarik perhatian Johannes Evangelista Gossner (14 Desember 1773 – 20 Maret 1858), orang tua yang bermukim di Berlin, Jerman dan Pendeta Otto Gerhard Heldring (17 Mei 1804 – 11 Juli 1876) di Belanda, yang memang menaruh perhatian besar terhadap penyebaran injil di wilayah yang belum mengenal Injil.
Gossner yang lahir di Hausen (dekat Augsburg) ini adalah seorang mantan Pastor Roma Katolik yang beralih ke Protestan dan merupakan pengkhotbah terkenal di Berlin. Gossner merupakan salah satu pendiri Berlin Mission Society pada tahun 1824, tapi mengundurkan diri pada 1836 kerena menganggap terlalu birokratis dalam pengiriman misionaris dan mendirikan The Gossner Mission pada 1836 di Berlin. Misi Gossner ini mengirim misionaris ke berbagai wilayah, termasuk Australia, India, Pasifik, Afrika untuk menyebarkan Injil.
Gossner menganggap pelatihan menjadi misionaris terlalu mahal. Sebab, biaya hidup misionaris sebagai hambatan untuk menjangkau banyak orang dalam waktu singkat dengan pemberitaan Injil. Gossner mencari cara lain dan percaya bahwa hidup dan bekerja di antara masyarakat asli lainnya tidak memerlukan pelatihan khusus, jika ada pemuda religius dan berbakti. Sebab, kehidupan akan berjalan alami, dimana misionaris dapat menghidupi dirinya sendiri dengan hasil kerja sendiri di tempat penginjilan.
Ketika hidup dengan masyarakat asli, maka para Pekerja Kristen mempunyai kesempatan untuk mengajarkan kepada masyarakat ketrampilan yang bermanfaat, dan di waktu luang dapat melakukan penginjilan. Keyakinan Gossner berdasarkan teori dan terbukti sesuai pengalaman mendapat banyak penganut sekitar tahun 1850.
Gagasan Gossner ini cocok dengan pandangan Pendeta OG Heldring di Belanda yang memiliki minat besar terhadap penginjilan di luar Belanda. Selain itu, Pendeta Heldring mendirikan Commissie Christen Werkman (Komisi Pekerja Kristen) pada tahun 1848 untuk merealisasikan pengiriman Pekerja Kristen. Heldring sendiri menolak penggunakan istilah zendeling-werkman (pekerja misionaris), tetapi Christen Werkman (Pekerja Kristen).
Kecocokan pandangan dengan Gossner ini mendorong Pendeta Heldring berangkat ke Berlin pada tahun 1850 untuk menemui J.H. Wichern yang menulis terbitan tahun 1849: “Denkschrift an die Deutsche Nation, die innere Mission der Deutsch Evangelischen Kirche” dan JE. Gossner yang menerbitkan jurnal misi “Biene auf dem Missionsfelde” (Lebah di Ladang Misi) sejak tahun 1834.
Heldring menemui Gossner yang sudah berusia sepuh tapi selalu ceria. Pertemuan itu berhasil menjalin kerjasama untuk mengirim Pekerja Kristen ke berbagai tempat. Hindia Belanda merupakan salah satu pilihan. Gossner telah mengumpulkan beberapa pemuda yang kebanyakan sebagai pengrajin dan bersedia pergi ke tempat asing, terutama di wilayah yang belum pernah ada pekerjaan misionaris sebelumnya. Sementara Heldring memiliki prinsip, semua tukang kayu mendapatkan pekerjaan di seluruh dunia.
Kolaborasi Gossner-Heldring berhasil mengirim Pekerja Kristen ke Hindia Belanda pada tahun 1851, yakni Adolph Mühlnickel, August Mühlnickel dan A. Zeese. Kemudian, tahap kedua pada tahun 1952, kembali mengirim J.L. Michaëlis dan suaminya, Z. Schneider, Carl Wilhelm Ottow, Johann Gottlob Geissler, Nona Emilie Krickeldorff.
Pada tahun 1855 Gossner-Heldring mengirim Lembser, Sperhack, Fauser, Schröder, Gröhe; Kelling, Schonfeldt, Weiss dan Weber. Belakangan, Adolf Mühlnickel menikahi Emilie Krickeldorff dan August Mühlnickel menikahi Augusta Bekker
Jadi, sampai dengan 1858, Komisi Pekerja Kristen ini berhasil mengirim sekitar 50 orang misionaris ke Hindia Belanda, termasuk Ottow-Geissler yang dikirim ke Nieuw Guinea (Papua). Zeese dan Lembser kembali ke Eropa. August Mühlnickel Michaëlis menjadi guru di Batavia. Schneider meninggal dunia dan Sperhack memasuki dinas pemerintah Hindia Belanda.
Sedangkan, Adolph Mühlnickel menetap sebagai misionaris di Batavia. Fauser, Weiss, dan Weber menetap di sana sebagai misionaris. Schröder, Gröhe, Steller, dan Kelling berangkat ke Kepulauan Sangihe dan Talaud. Schonfeldt tinggal sementara di Residen Buitenzorg (Bogor).
Jadi, hanya Ottow dan Geissler yang dikirim ke Papua. Kedua anak muda ini merupakan didikan JE Gossner. Pada tahun 1852, masing-masing berpamitan ke keluarga untuk berangkat ke Hindia Belanda dengan ketrampilan sebagai tukang. Jadi, Ottow-Geissler bertemu ketika keduanya tiba Hemen, Belanda pada April 1852. Setelah beberapa bulan belajar Belanda, pada 25 Juni 1852, Ottow-Geissler berangkat dari Rotterdam ke Batavia dengan Kapal Abel Tasman.
Keduanya menginjakkan kaki di Batavia pada 7 Oktober 1852. Namun, keduanya tidak serta merta bisa melanjutkan perjalanan ke Papua karena harus menunggu sekitar dua tahun untuk mendapatkan izin dan fasilitas pelayaran ke Papua. Kesempatan itu, digunakan keduanya untuk belajar bahasa Melayu di Batavia, termasuk menjadi guru bagi anak-anak di Kampung Makassar, Batavia.
Untuk itu, baru pada 9 Mei 1854 bisa berangkat dengan Kapal Uap Padang menuju Surabaya, Makassar dan tiba di Ternate tanggal 30 Mei 1854. Keduanya tinggal beberapa bulan bersama Pendeta J. Hovekker di Ternate. Jadi, baru 12 Januari 1855 dengan Kapal Ternate milik Van Duyvenbode berangkat menuju Dore bersama seorang anak berusia 10 tahun, Frits. Ottow-Geissler menginjakkan kaki pada Minggu, 5 Pebruari 1855 di Pulau Manaswari (Pulai Mansinam)—sebuah pulau kecil di Teluk Doreh, Manokwari, Papua Barat.
Ottow-Geissler menginap di sebuah gubuk tua reot yang terbuat dari gaba-gaba di Pulau Mansinam. Gubuk itu milik Kapten Deichton yang sering mampir berdagang dan juga biasanya menjadi tempat istirahat nelayan Ternate.
Mansinam 5 Pebruari 1855
Untuk itu, 5 Februari 1855 menjadi tonggak penting sejarah masuknya Injil di Tanah Papua melalui dua anak muda Jerman, Ottow-Geissler. Namun, memasuki wilayah asing bukan perkara gampang, karena Ottow-Geissler menghadapi tantangan yang tidak mudah, karena selain kendala bahasa, Ottow-Geissler tidak dibekali dengan pemahaman mengenai wilayah dan orang Papua.
Pertama-tama, Ottow-Geissler berusaha membuat sendiri sampan. Namun, tanpa pemahaman mengenai kayu yang tepat menyebabkan untuk membuat sampan menyebabkan upaya Ottow-Geissler sia-sia, sehingga terpaksa membeli sampan dari orang Papua.
Selain itu, Ottow-Geissler berusaha membuat rumah dan semuanya dikerjakan sendiri karena orang Papua enggan memberikan bantuan, sehingga Ottow-Geissler harus menebang kayu sendiri untuk membuat rumah. Bahkan, surat dari Sultan Tidore yang diberikan atas permintaan Residen Ternate, yang meminta agar warga Dore membantu Ottow-Geissler ternyata tidak memiliki pengaruh apapun. Jadi, setiap hari Ottow-Geissler harus mengayuh sampan sendiri untuk pergi pulang Dore-Mansinam.
Pekerjaan fisik yang melelahkan itu membawa pengaruh bagi kesehatan Ottow dan Geissler. Hanya beberapa bulan di Mansinam, Frits menderita demam, yang disusul Ottow dan Geissler. Malaria, tentu menjadi momok yang mungkin tidak diperhitungkan sebelum ke Papua.
Dengan pekerjaan fisik yang melelahkan, adaptasi lingkungan dan makanan yang tidak terjaga baik segera membawa dampak kesehatan yang serius. Ottow menderita infeksi otak dan Geissler menderita abses kaki yang berbahaya. Keduanya hanya bisa terbaring di gubuk tua tanpa bantuan apapun. Setelah beberapa bulan menderita sakit tak berdaya, syukur Residen Ternate, Goldman berkunjung ke Dore dengan Kapal Vesuvius dan menemukan Ottow-Geissler berada dalam kondisi memprihatinkan.
Untuk itu, Geissler dibawah ke Ternate untuk berobat. Sedangkan, Ottow menolak meninggalkan pekerjaan yang baru saja dimulainya. Pada bulan Februari 1856, Geissler yang sudah mulai pulih kembali dengan membawa perbekalan yang cukup dan beberapa tukang kayu Ternate, yang membantu untuk mendirikan rumah di Mansinam.
Selain itu, keberadaan tukang Ternate juga berperan khusus dalam perkembangan awal pekerjaan Ottow-Geissler. Sebab, tukang Ternate yang meski beragama Islam, tapi membantu untuk memungkinkan terselenggaranya ibadah Minggu. Masyarakat juga diajak berpartisipasi dengan membunyikan gong, meski ada kendala bahasa dalam pelaksanaan ibadah.
Namun, secara perlahan Ottow-Geissler, selain bisa melakukan ibadah dengan orang Papua, juga mendirikan sekolah untuk anak-anak Papua sambil berusaha mempelajari kosa kata bahasa Papua. Untuk semua aktivitas ini, Ottow-Geissler sering mendapat bantuan dari Batavia dan Surabaya.
Perhatian Pemerintah Belanda baru dating ketika Ottow-Geissler membantu dengan memberikan jasa penting untuk menyelamatkan tiga awak kapal Hamburg Posa yang ditawan orang Papua ketika kapal itu kandas di Teluk Geelvink pada 1857. Untuk mengatasi hal itu, Residen Ternate Tobias bersama Sultan Tidore datang ke Dore dengan Kapal Etna. Geissler melaporkan kalau telah menyelamatkan tiga orang Jerman yang masih hidup. Untuk jasa penting ini, Pemerintah Belanda memberi tunjangan kepada Ottow-Geissler sebesar 50 gulden per bulan, yang kemudian ditingkatkan menjadi 80 gulden. Meski dana ini sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan dan penginjilan. Selain itu, Ottow-Geissler juga berperan untuk memfasilitasi ekspedisi ilmiah yang dipimpin Van Der Goes, kemudian disusul naturalis Inggris Alfred Russel Wallace pada 1858.
Ketika Kapal Etna kembali ke Ternate, Ottow ikut di kapal menuju Ternate untuk menikahi Wilhelmina Augusta Letz pada 28 Oktober 1857, sehingga Geissler harus menangani pelayanan rohani dan sekolah di Pulau Mansinam dan Kwawi sampai dengan kepulangan Ottow bersama Augusta Letz di Mansinam pada 7 Januari 1858, sebab pelayanan telah dikembangkan di Kwawi mulai tahun 1857.
Ketika pedagang Van Duyvenbode melihat perkembangan pemukiman di Dore, dia memasok semua kebutuhan Ottow-Geissler tetapi harus secara teratur memasok makanan kepada Van Duyvenbode. Jadi, Ottow-Geissler menjadi perantara antara pedagang Eropa dan penduduk asli. Selain itu, sebuah peternakan didirikan di Mansinam. Geissler yang menetap di sana memiliki beberapa sapi, domba, bebek, dan ayam.
Secara perlahan, dengan peran sebagai perantara perdagangan, Ottow-Geissler memiliki pengaruh di masyarakat. Namun, meski berdagang, Ottow-Geissler tidak melupakan tujuan awal kedatangan di Papua. Untuk itu, Ottow-Geissler menerapkan aturan bahwa tidak ada perdagangan pada hari Minggu dan setiap orang harus datang beribadah ke kediaman Ottow-Geissler dengan pakaian rapi untuk beribadah.
Sementara kendala Bahasa perlahan teratasi atas upaya keras karena Ottow-Geissler sehingga berhasil menghimpun sekitar 1.500 kata Numfor. Bahkan, pada 1860, Ottow-Geissler sudah menerbitkan buku kecil Papoesch-mefoorsche (Numfoorsch/Numfor) yang berisi himne untuk keperluan gereja, yang dicetak di Makassar pada tahun 1860. Sejak itu, ibadah pertama-tama menggunakan bahasa Melayu kemudian dalam bahasa Numfoorish.
Selain ibadah, Ottow-Geissler juga segera menyelenggarakan pendidikan sekolah untuk anak-anak Papua di Mansinam dan Kwawi. Untuk kepentingan pendidikan, Geissler juga menerbitkan satu set buklet untuk pendidikan agama Kristen. Capaian untuk menggelar pendidikan ini, juga merupakan satu keberhasilan tersendiri, karena kalau dibandingkan di berbagai tempat di Hindia Belanda, para zending sangat sulit untuk memperoleh anak didik pada masa-masa awal berhubungan dengan penduduk asli.
Pada 20 Juni 1861, Ottow bersama isterinya, Augusta Letz pindah ke Kwawi (Dore) dan menempati rumah yang baru selesai dibuat, sehingga layanan misionaris ada di Mansinam dan Kwawi, yang hanya dilayani tiga orang yakni Ottow bersama isterinya Augusta Letz dan Geissler.
Namun, kekurangan pekerja Kristen di Papua ini menyebabkan Misi Gossner mengirim JKG Jaesrich bersama isterinya dan tiba di Dore pada tanggal 2 Februari 1862. Sebelumnya, Jaesrich bertugas di Timor dan Rote. Jaesrich menempati satu kamar di kediaman Ottow di Kwawi. Sebab, ruangan lain berfungsi sebagai tempat ibadah dan sekolah. Sedangkan Geissler menikahi Pauline Justine Reynaert, warga Belanda, Jemaat Pendeta Hovekker di Ternate pada 26 Pebruari 1862.
Hanya saja, tantangan belum berakhir pada 1862, Manokwari dan sekitarnya dilanda wabah cacar, sehingga para misionaris mengungsi sementara. Di Pulau Mansinam sekitar 150 orang meninggal akibat wabah cacar. Namun, Ottow tetap memilih untuk tinggal di Kwawi meski kondisi kesehatannya tidak memungkinkan dan Ottow menghembuskan nafas terakhir pada 9 November 1862 dalam usia 35 tahun. Sebelum meninggal, Ottow sempat menyaksikan satu orang Papua dibaptis seraya mengungkapkan dengan nada lemah berbahagialah mereka yang percaya meski tidak melihat.
Ottow meninggalkan seorang anak Johannes Carl Gottlob Ottow yang lahir di Ternate pada 12 November 1861 dan isterinya yang sedang hamil. Tidak lama setelah itu, Augusta Letz memboyong anaknya ke Ternate dan melahirkan anak keduanya, Wilhelm M Ottow pada 18 Mei 1863 di Ternate. Selanjutnya, Augusta berangkat dan beraktivitas di Jawa bersama dua gadis Papua, Johanna dengan nama baptis Rebekka) dan Julia dengan nama baptis Martha. Johanna dan Julia meninggal di Jawa pada tahun 1880an.
Setelah Ottow meninggal, penginjilan di Papua mendapat perhatian dari Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV). Tidak mudah bagi UZV memilih Papua sebagai ladang layanan. Sebab, UZV juga mempertimbangkan Guinea (Afrika), Sumatera Barat, Maluku, Bali, Suriname, Batak, dan Papua (Nieuw Guinea). Namun, surat-surat Ottow-Geissler dari Papua membawa pengaruh besar bagi UZV memilih Papua. Meski keputusan ini, tidak lepas dari Pengaruh Penasehat UZV Pendeta OG Heldring.
Untuk itu, UZV mulai mengutus Van Hasselt, Ottekspoor dan Klaassen pada tahun 1862 dan tiba di Dore 18 April 1863. Kedatangan tiga misionaris ini berdampak baik, karena Geissler memiliki waktu untuj menyelesaikan kamus dan menerjemahkan Injil dalam Bahasa Papua. Tapi, gempa yang disertai dengan naiknya air laut (tsunami) pada tahun 1864, juga menimbulkan kerusakan parah dan menjadi tantangan tersendiri bagi para misionaris, yang praktis menghentikan aktivitas keagamaan dan sekolah.
Kemudian, pada tahun 1866, Utrechtsche Zendings Vereeniging kembali mengirim tiga misionaris Jerman, Frans Mosche, Rudolf Beijer dan Carl Beijer tiba di Papua pada Februari 1866, yang disusul dua misionaris Belanda N. Rinnooy dan W. Woelders yang menginjakkan kaki di Papua pada Maret 1867. Tetapi, misionaris Ottekspoor harus kembali ke Belanda karena sakit, dan Klaassen pindah ke Halmahera juga karena kesehatan yang buruk.
Berkat ketabahan dan kesabaran, akhirnya pada 1 Desember 1867, Geissler boleh bersyukur karena menyaksikan penyelesaian De Kerk der Hope (Gereja Harapan), yang pembangunan fondasi dimulai tahun 1864.
Pada tahun 1868, Geissler mendapat izin cuti untuk ke Jerman, sehingga meninggalkan Mansinam menuju Ternate pada 1868. Tapi, baru tiba di Jerman pada 1870. Ketika tiba di Jerman, Geissler segera mengunjungi semua keluarganya dan tidak lama berada di Jerman, Geissler meninggal karena radang paru-paru kronis pada 11 Juni 1870 dalam usia 40 tahun.
Para pionir Injil di Tanah Papua, Gossner telah lama meninggal pada 20 Maret 1858 tetapi sempat menyaksikan keinginannya di masa tua untuk melihat Injil masuk ke Tanah Papua, kemudian disusul Ottow yang meninggal pada 9 November 1862 dan Geissler yang meninggal pada 11 Juni 1870, yang disusul OG Heldring pada 11 Juli 1876. Tentu saja, masih banyak martir yang layak dikenang untuk menyebarkan Injil di Tanah Papua.
Namun, patut dicatat, para pionir ini datang ke Tanah Papua bukan karena melihat kekayaan alam Papua, karena mungkin saja mereka tidak tahu kalau Papua adalah Tanah yang kaya sumber daya alam. Mereka berkorban untuk Papua tanpa harapan semata-mata untuk membawa Kabar Baik bagi Tuhan dan sesama. Ottow-Geissler datangan tanpa harta dan kembali tanpa harta.
Semoga dengan perayaan 170 Tahun Injil di Tanah Papua ini boleh menjadi momentum pengingat, kebangkitan Papua membutuhkan sikap tanpa pamrih dengan hati tulus untuk membawa Papua menuju kemajuan. Papua membutuhkan Ottow-Geissler baru di abad milinium ini, yang benar-benar mencintai Papua, sehingga kekayaan Papua membawa kebaikan bagi Papua. Sebaliknya, Ottow-Geissler mungkin saja akan bersedih hati ketika menyaksikan eksploitasi kekayaan alam Papua, tetapi membiarkan Papua dalam ketertinggalan dan kemiskinan di atas bumi yang kaya.
Kiranya, benih yang ditebar Ottow-Geissler pada tahun 1855 membawa berkat bagi Tanah Papua, seperti doa Ottow-Geissler ketika menginjakkan kaki pertama di Manaswari (Mansinam), “In den naam onzes Gods betraden wij het land” (Dalam nama Tuhan, kami menginjak Tanah ini). Selamat mengenang dan merayakan 170 Tahun masuknya Injil di Tanah Papua pada 5 Pebruari 2025.
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation; Pendiri dan Ketua Umum Partai Pembaruan Bangsa.
Catatan: Tulisan ini bersumber dari beragam literatur Jerman dan Belanda.