SHNet, Jakarta—Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), E. Aminudin Aziz, menekankan pentingnya transformasi perpustakaan agar tetap relevan di tengah perkembangan teknologi yang begitu cepat, terutama dengan perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI).
“Saat ini kita ada pada zaman yang kita sebut era digital. Tentu saja ini adalah tuntutan yang memang berkembang sesuai dengan zamannya ketika kita berbicara dengan kecakapan literasi. Kecakapan dan antisipasi apa yang kita perlukan dalam menghadapi perubahan yang begitu cepat di teknologi kecerdasan buatan,” jelasnya dalam webinar peringatan Hari Literasi Internasional tahun 2025 yang bertema Penguatan Kecakapan Literasi di Era Digital, pada Senin (8/9/2025).
Menurutnya, kompleksitas kecakapan literasi akan selalu berkembang sesuai dengan peradaban dan perubahan zaman. Pada masa lampau, masyarakat mengembangkan budaya baca dan tulis melalui berbagai macam media mulai dari batu, kulit, dan dengan beragam aksara sesuai kebutuhan zaman.
“Perpustakaan tidak boleh lagi dipandang sekadar tempat untuk menumpuk buku. Perpustakaan, pustakawan, dan pengelola perpustakaan secara keseluruhan harus berubah. Berubah dari kebiasaan-kebiasaan lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman,” ungkapnya.
Era digital, lanjutnya, menghadirkan peluang, tantangan, sekaligus ancaman. Dia berharap agar seluruh pengelola kegiatan literasi yang terdiri dari pengelola perpustakaan, aktivis literasi, guru, orang tua, maupun pegiat masyarakat, saling bergandengan tangan menyusun strategi dengan program-program literasi yang mampu memberi ruang kreativitas bagi generasi masa kini.
“Sekali lagi saya nyatakan, tidak mungkin kita melayani pemustaka dengan cara-cara lama apalagi di tengah perubahan pesat ketika kecerdasan buatan berkembang begitu cepat. Momentum Hari Literasi Internasional ini harus menjadi gerakan untuk mengubah perspektif kita dalam melayani masyarakat, khususnya pemustaka yang sudah melek teknologi,” tuturnya.
Dia menekankan bahwa Perpusnas dengan senang hati menyediakan ruang untuk berekspresi, berkegiatan, dan berkolaborasi dengan semua pihak dalam menyelenggarakan pembangunan literasi di masyarakat.
Kepala Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca, Nurhadisaputra, menyampaikan Hari Literasi Sedunia merupakan momentum pengingat bahwa literasi adalah hak asasi manusia, pondasi pembangunan berkelanjutan dan pintu gerbang menuju keadilan sosial serta masyarakat yang damai dan inklusif.
“Dalam peringatan Hari literasi sedunia tahun 2025, UNESCO mengambil tema Mempromosikan Literasi di Era Digital. Tema yang sangat relevan karena dunia kini berada dalam era digital yang mengubah cara berpikir, belajar bekerja bersosialisasi bahkan memahami realitas,” ungkapnya.
Sementara itu, pegiat literasi, Maman Suherman, menyampaikan bahwa kecakapan literasi dibutuhkan di era digital yang banjir informasi, di mana kebenarannya belum tentu terjamin.
“Penguatan kecakapan literasi harus menjadi jalan kemanusiaan untuk memanusiakan manusia yang tidak serampangan menyebarkan kebohongan, fitnah, dan adu domba. Literasi juga harus mampu menumbuhkan kesadaran untuk terus menyampaikan kebenaran, kebaikan, kebermanfaatan sehingga menghasilkan kreativitas, keberdayaan, sekaligus empati dan harapan akan masa kini dan masa berikutnya,” urainya.
Hal senada disampaikan Associate Professor of Data Scientist dari Monash University, Derry Tanti Wijaya. Dia memaparkan pentingnya literasi pada anak-anak terhadap kekhawatiran yang berkembang terkait dampak AI generatif. Menurutnya, AI berdampak pada masalah integritas akademik, cara berpikir yang kritis, serta bagaimana menjaga motivasi anak untuk terus belajar.
“Tetapi jika anak-anak suka membaca, maka mereka dapat berinteraksi kritis dengan AI. AI tidak memiliki pemahaman yang mendalam, sehingga penting bagi anak untuk berinteraksi secara reflektif dan kritis dengan teknologi ini,” jelasnya.
Duta Besar atau Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, I Gusti Agung Ketut Satrya Wibawa, menyampaikan bahwa di beberapa negara, akal imitasi atau AI, menjadi alat yang membantu percepatan atau intervensi kebijakan untuk mencapai nilai literasi yang diharapkan.
“Dengan AI, guru bisa membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP, bank soal, hingga sistem pendukung pembelajaran. Bagi para murid, memudahkan pembelajaran bahasa terjemahan melalui aplikasi yang mudah didapat. Namun, dibutuhkan etika dan tata kelola dengan sistem yang rigid dan ketat dalam penggunaan AI tersebut,” ujarnya.
Pendiri Reading Bugs, Roosie Setiawan, memaparkan bahwa menumbuhkan kecintaan membaca atau enjoy reading dapat menjadi cara untuk mengimbangi penggunaan AI. Salah satunya dengan membaca nyaring yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak.
“Ketika seseorang memiliki kemampuan menikmati bacaan, ia akan lebih terlatih berpikir kritis dan pada akhirnya mampu memberikan prompt yang berkualitas kepada AI,” jelasnya. (Stevani Elisabeth)