
Oleh: Dr. Abdul Muiz Amir, Lc., M.Th.I. (Dosen IAIN Kendari)
Kendaripos.co.id -- Salah satu film yang baru-baru ini ramai diperbincangkan di jagat perfilman Indonesia adalah Bidaah. Film ini menggambarkan dengan gamblang bagaimana kekuasaan keagamaan bisa berubah menjadi alat penindasan. Walid, tokoh sentral dalam film tersebut adalah seorang pemimpin keagamaan karismatik yang dihormati oleh pengikutnya. Namun di balik citra saleh yang dibangunnya, tersembunyi wajah kekuasaan yang manipulatif. Yang paling mengerikan bukan hanya tindakan Walid, tetapi cara ia melegitimasi perbuatannya dengan membacakan potongan ayat Al-Qur’an, mengubah makna sakral menjadi alat manipulasi. Dalam satu adegan, ia menyitir ayat-ayat tentang ketaatan dan kepemimpinan dengan maksud membungkam pertanyaan atau keberatan. Ia menciptakan suasana di mana melawan berarti durhaka, dan tunduk berarti suci.
Adegan-adegan dalam film Bidaah begitu menggugah karena terasa dekat dengan kenyataan yang kita hadapi. Bagaimana seorang pemimpin spiritual, karena statusnya yang diagungkan, dapat melakukan kekerasan seksual tanpa perlawanan berarti. Korban tidak hanya mengalami trauma fisik, tapi juga dibungkam oleh kekuatan simbolik dari ayat-ayat yang dikutip seolah-olah suci. Bidaah bukan sekadar film, tetapi cermin dari fenomena yang makin sering terjadi di sekitar kita — ketika kekuasaan berbaju agama digunakan untuk membungkam, bukan membimbing.
Beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan oleh kasus pelecehan seksual yang melibatkan figur panutan, mulai dari oknum pimpinan perusahaan, dosen, dokter, hingga tokoh agama yang menyalahgunakan status dan kewenangan untuk melanggar etika, moral, bahkan hukum. Data Komnas Perempuan menunjukkan mayoritas pelaku di fasilitas kesehatan adalah dokter, sementara di perguruan tinggi tercatat 174 kasus di 79 kampus, dengan pelaku mulai dari dosen hingga petinggi kampus. Bahkan, di pesantren pun santri menjadi korban guru spiritual yang dikultuskan. Fenomena ini tidak sekadar penyimpangan moral individu, melainkan berakar pada struktur kekuasaan yang memberi ruang dominasi atas pihak lemah, sehingga relevan dianalisis melalui lensa teori relasi kuasa Michel Foucault.