Oleh: Gelegar Widya Utomo
Saat ini, perempuan Indonesia menghadapi bentuk kekerasan yang tidak lagi terjadi di tempat-tempat gelap atau tersembunyi, melainkan di ruang yang seharusnya paling aman: ponsel mereka sendiri. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) muncul seiring semakin aktifnya masyarakat berinteraksi di ruang digital. Namun, yang menjadi persoalan bukan hanya meningkatnya kasus KBGO, tetapi juga bagaimana media kerap mereduksi isu tersebut dan sering kali gagal memahaminya secara utuh.
Dalam banyak pemberitaan, KBGO digambarkan sebagai “kasus pribadi” antara dua individu yang sedang berkonflik. Media biasanya berfokus pada kronologi, identitas pelaku atau pengguna, serta elemen dramatis yang mudah menarik perhatian. Sayangnya, cara pandang seperti ini justru mengaburkan bahwa KBGO berakar pada persoalan struktural seperti ketimpangan gender, budaya misogini, dan rendahnya literasi digital.
Selain itu, penelitian terbaru menunjukkan bahwa KBGO bukan sekadar fenomena digital. Kekerasan ini merupakan kelanjutan dari kekerasan berbasis gender yang telah lama terjadi di dunia fisik, dan kini bertransformasi melalui penggunaan teknologi. Dalam konteks pandemi, misalnya, KBGO meningkat secara drastis hingga disebut sebagai “shadow pandemic”, yaitu krisis sunyi yang berlangsung berdampingan dengan COVID-19. Dengan kata lain, kekerasan ini bukan disebabkan oleh “kesalahan korban”, melainkan merupakan konsekuensi dari struktur sosial yang terus-menerus menempatkan perempuan pada posisi yang rentan.
Sementara media arus utama gagal menangkap akar persoalan, gerakan feminis digital justru bergerak lebih cepat dan lebih tepat. Kelompok seperti SAFEnet, Jakarta Feminist, dan berbagai komunitas advokasi memanfaatkan media sosial untuk membangun narasi tandingan. Mereka tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membongkar bagaimana patriarki bekerja di balik layar. Melalui edukasi, kampanye tagar, dan pendampingan komunitas, gerakan feminis digital menciptakan ruang aman sekaligus memulihkan suara korban.
Perbedaan cara memaknai KBGO antara media arus utama dan aktivisme digital menunjukkan betapa pentingnya “framing” dalam membentuk persepsi publik. Apa yang ditampilkan media tidak hanya sekadar informasi, melainkan konstruksi. Ketika media memilih menonjolkan aspek emosional dan personal, masyarakat akan melihat KBGO sebagai masalah privat. Sebaliknya, jika media memberi perhatian pada relasi kuasa dan ketidakadilan yang menopang KBGO, publik akan lebih memahami bahwa ini adalah masalah sosial yang menuntut perubahan struktural.
Inilah titik krusial yang perlu kita soroti: media seharusnya berperan sebagai agen pendidikan publik, bukan sekadar penyampai kasus. Jika media terus gagal memahami konteks KBGO, maka media justru ikut melanggengkan kekerasan itu sendiri. Korban bisa merasa disalahkan, publik bisa keliru memahami penyebab kekerasan, dan negara bisa terus lambat merumuskan kebijakan perlindungan digital.
Pemberitaan yang sensitif gender bukan berarti “berpihak secara buta”, tetapi memahami bahwa posisi perempuan dan kelompok rentan memang berbeda di ruang digital. Media perlu mengakui keberadaan ketidaksetaraan itu agar dapat melaporkan secara lebih adil. Misalnya dengan menempatkan korban sebagai subjek yang harus dilindungi, bukan sebagai pemicu peristiwa; atau dengan menyoroti konteks struktural yang memungkinkan pelaku memanfaatkan kerentanan digital perempuan.
Di tengah meningkatnya kasus KBGO, kita membutuhkan kolaborasi lebih kuat antara media arus utama dan gerakan feminis digital. Media memiliki jangkauan besar; aktivis memiliki pemahaman mendalam tentang gender dan kekerasan. Jika keduanya bergerak bersama, publik tidak hanya memahami apa itu KBGO, tetapi juga mampu mengidentifikasi, mencegah, dan melawan kekerasan tersebut sejak dini.
Kekerasan tidak berhenti hanya karena kita tidak membicarakannya. Namun ia semakin tumbuh ketika dibicarakan secara keliru. Selama media terus memandang KBGO sebagai kasus biasa, kita akan terus gagal melindungi perempuan di ruang digital. Dan ruang digital yang gagal melindungi perempuan, adalah ruang digital yang gagal melindungi siapa pun.
Kini waktunya media berhenti menutup mata. Sudah cukup banyak korban berbicara. Sudah cukup jelas akar masalahnya. Yang kita butuhkan hanyalah keberanian untuk menyampaikan kebenaran secara utuh.
* Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UPN VJ


















































