Ketika Relasi Sosial-Moral Disalahpahami: Membaca Ulang “Ortodoksi Pesantren” di Era Media Modern

1 month ago 31

Penulis: Abdul Muiz Amir
(Dosen IAIN Kendari)

"Hubungan santri dengan kiai
adalah relasi spiritual. Bukan relasi kekuasaan. Penghormatan adalah bentuk penundukan ego, bukan penindasan sosial"

KENDARIPOS.CO.ID-Fenomena viral tentang tayangan Trans7 yang menyorot apa yang disebut sebagai “ortodoksi di kalangan pesantren” telah memantik reaksi luas di tengah masyarakat.

Bagi sebagian orang, persoalan ini bukan sekadar soal etika media, tetapi juga potret kegamangan sosial ketika tradisi keagamaan berhadapan dengan logika industri media.

Tayangan yang menggambarkan kehidupan Pondok Pesantren Lirboyo dengan narasi “santri minum susu harus jongkok” memunculkan gelombang protes dari alumni, santri, hingga lembaga keagamaan.

Reaksi keras ini dapat dimengerti karena dalam masyarakat yang menempatkan kiai sebagai figur karismatik, potongan visual semacam itu dianggap melecehkan simbol keagamaan.

Namun di balik kemarahan itu tersimpan persoalan lebih mendalam, yaitu bagaimana publik memahami makna “ortodoksi pesantren” di tengah arus keterbukaan informasi dan budaya visual yang serba cepat?

Pesantren memiliki wajah khas yang selama berabad-abad membentuk karakter Islam Nusantara. Dalam pandangan klasik, ortodoksi pesantren adalah sistem nilai yang menjaga stabilitas moral dan adab antara santri dan kiai.

Ia bukan sekadar kumpulan aturan, melainkan cara hidup yang menanamkan takzim dan kedisiplinan. Clifford Geertz dalam The Religion of Java menggambarkan pesantren sebagai pilar tradisi Islam yang memelihara kesinambungan moral masyarakat melalui hierarki simbolik dan hubungan guru-murid yang kuat. Dalam konteks ini, perilaku santri yang menunduk atau bersikap sopan di hadapan kiai bukanlah bentuk penindasan, tetapi ekspresi etika spiritual.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan