Ketika OTT Kepala Daerah menjadi Hal Biasa

1 week ago 19

Penulis: Dr. Arsalim (Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan Pascasarjana Universitas Sulawesi Tenggara)

KENDARIPOS.CO.ID-Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengguncang kesadaran publik. Peristiwa ini bukan sekadar kasus individual, melainkan cerminan dari persoalan sistemik yang mengakar dalam tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia. Pertanyaan yang terus muncul di benak public, sampai kapan OTT kepala daerah akan berhenti ataukah OTT Kepala Daerah menjadi hal yang biasa?

Sejak reformasi dan desentralisasi digulirkan pada 1999, otonomi daerah diharapkan menjadi jalan menuju demokrasi lokal yang kuat dan pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat. Namun, dua dekade kemudian, harapan itu kerap berubah menjadi kekecewaan. Otonomi yang semula dimaksudkan untuk memperkuat daerah justru membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan dan praktik korupsi yang meluas.

KPK mencatat lebih dari 130 kepala daerah, terjerat kasus korupsi sejak lembaga ini berdiri. Angka tersebut mencerminkan bahwa korupsi bukan sekadar soal moralitas individu, tetapi hasil dari sistem politik yang mendorong praktik koruptif. Kepala daerah berada dalam tekanan besar, biaya politik tinggi, sistem birokrasi tidak profesional, dan budaya patronase yang masih kuat.

Dalam konteks ini, teori Robert Klitgaard (1988) menjadi sangat relevan: Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas. Kepala daerah memiliki kekuasaan besar dalam mengatur anggaran, perizinan, dan mutasi jabatan. Namun, pengawasan dari DPRD, inspektorat, atau masyarakat masih lemah. Keseimbangan antara kekuasaan dan kontrol belum terbentuk.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan