Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina
Pada tanggal 6 September 2025, Gereja Protestan Maluku (GPM) akan merayakan ulang tahun ke-90. Sinode GPM didirikan pada 6 September 1935 setelah berpisah dari Indische Kerk untuk menjadi gereja yang mandiri.
Namun, sejarah gereja di Maluku tentu bukan hanya berusia 90 tahun, karena gereja di Maluku erat kaitan dengan sejarah kedatangan Portugis pada 1512, kemudian Belanda pada 1605. Untuk itu, gereja di Maluku memiliki sejarah panjang selama sejak lima abad silam. Jadi, tidak mudah untuk menulis sejarah gereja di Maluku dalam tulisan singkat ini, sehingga penulis membatasi diri periode awal masuknya agama Kristen Protestan di Maluku.
Sebelum kedatangan Belanda, orang Maluku menganut agama asli Maluku, Islam yang masuk sekitar tahun 1400-an dan Katolik yang masuk seiring kedatangan Portugis pada tahun 1512. Namun, baru pada tahun 1534 benih ajaran Katolik ditabur di Halmahera dan pada tahun 1536 benih yang sama ditabur di Pulau Ambon. Hal ini tidak lepas dari konflik yang terjadi Negeri Hative yang saat itu selalu terlibat konflik dengan orang Hitu yang sudah menganut Muslim.
Untuk itu, atas saran Portugis dari Ternate, Raja Hative, Orang Kaya Bermein, pergi bersama saudara perempuannya dan sejumlah pengikut mereka berangkat ke Malaka, kemudian ke Goa untuk meminta bantuan Portugis untuk melawan orang Hitu. Selama berada di Goa ini, mereka menganut agama Katolik. Namun, baru pada 1538, bantuan Portugis datang ketika armada Portugis tiba di lepas pantai Ambon, yang akhirnya membantu Hative mengalahkan orang Hitu. Jadi, sejak tahun 1538, Portugis mendominasi semenanjung Leitimor dan menjadikan koloni Portugis dan juga menjadi pusat penyebaran agama Katolik. Portugis mendirikan benteng kecil di Rooden Berg (Bukit Merah, sekarang Batu Merah).
Namun, Portugis menyadari ancaman orang Hitu yang berkoalisi dengan Ternate, sehingga pada tahun 1572 membangun benteng yang lebih besar di lokasi dan lebih baik yang diselesaikan pada tahun 1588 yang disebut orang Ambon sebagai Kota Laha (sekarang lokasi Benteng Victoria).
Sejak saat itu, posisi Portugis relative stabil, meski orang Hitoe tetap tidak menaruh respek kepada Portugis. Hal ini menyebabkan pengaruh Katolik di Ambon hanya menyentuh beberapa negeri di Pulau Ambon. Ketika Fransiskus Xaverius tiba di Ambon pada tanggal 16 Februari 1546 hanya ada tujuh negeri yang menganut Katolik, seperti Hative, Kilang dan Soya.
Hanya saja, Portugis tidak dapat memenangkan hati orang Hitu yang selalu menunjukkan sikap perlawanan. Dalam situasi seperti itu, Belanda sudah membentuk VOC mengirimkan ekspedisi kedua setelah ekspedisi pertama di bawah Cornelis de Houtman.
Belanda Tiba di Ambon
Pada tanggal 11 Mei 1598, armada ekspedisi ini meninggalkan Belanda menuju Hindia Belanda, di bawah komando Jacob Corneliszoon van Neck dan Wijbrand van Waarwijck dan Jacob van Heemskerck. Namun, Armada Jacob Corneliszoon yang terdiri dari kapal Mauritius, Hollandia dan Friesland telah memperoleh muatan melimpah di Banten segera pulang. Sedangkan, Wijbrand Van Waarwijck dan Jacob van Heemskerck sebagai wakil laksamana memimpin kapal-kapal yang tersisa, Amsterdam, Utrecht, Zeeland dan Geldria (Gelderland) berlayar ke Maluku dan Banda pada Januari 1599 dan tiba di pesisir Hitu pada awal Maret 1599. Inilah pertama kali Belanda menginjakkan kaki di bumi Maluku. Kedatangan armada Waarwijck ini disambut gembira orang Hitu yang tertekan, termasuk Kapten Hitu Tepil. Untuk itu, Kapten Hitu segera meminta bantuan Van Waarwijck untuk melawan Portugis di Ambon.
Sedangkan Jacob van Heemskerck membawa Zeeland dan Geldria menuju Banda dan tiba di Banda Besar pada 15 Maret 1599. Van Heemskerck berhasil membuat kontrak dengan Boijsida, sabandar Ortatan (Ortatang) dan saudaranya, Merou. Kontrak yang dibuat pada 18 Maret 1599 ini merupakan yang keempat, setelah sebelumnya dalam ekspedisi pertama, Cornelis de Houtman berhasil membuat tiga kontrak dengan Banten.
Pada tahun 1600, perlawanan orang Hitu terhadap Portugis di Ambon kembali pecah setelah Hitu mendapat bantuan dari Giri, Gresik. Dalam situasi itulah, sebuah kapal Belanda “De Zon” di bawah Komando Steven van der Hagen berlabuh di Ambon. Orang Hitu mengajak Van der Hagen untuk melawan Portugis, tetapi keberatan karena kekuatannya tidak memadai, tetapi akhirnya ikut untuk mengetahui kekuatan Portugis. Hasilnya, Portugis memukul orang Hitu bersama pasukan Van der Hagen. Kemenangan Portugis ini menyebabkan Raja Portugis menghadiahi orang Portugis di Ambon dengan nama Citade van Amboina.
Meski kalah, Van der Hagen berhasil membuat kontrak dengan Kapten Hitu pada September 1600 atau yang kedua setelah kontrak dengan Banda setahun sebelumnya. Van der Hagen berjanji akan kembali beberapa tahun dengan kekuatan yang lebih memadai untuk melawan Portugis dengan syarat, penduduknya diwajibkan membangun benteng (kastil). Sedangkan Belanda menyediakan pasukan, artileri, bubuk mesiu, dan peluru untuk melindungi penduduk dari gangguan Portugis. Selain itu, penduduk hanya menjual cengkih dan hasil bumi kepada Belanda dengan harga tertentu.
Benteng ini dirikan di pantai utara Ambon yang dikenal sebagai Kasteel van Verre (Negeri Zeith), tetapi orang Hitu menamainya Kota Waarwijck (sesuai nama Wijbrand Van Waarwijck). Garnisun Belanda yang terdiri dari 27 personel ini ini berada di bawah Komando Jan Dirksz Sonneberg, yang merupakan perwira kedua dalam armada, sekaligus sebagai ziekentrooster (petugas perawat kesehatan dan spiritual untuk pegawai VOC). Van der Hagen hanya berada sekitar enam bulan (Maret-September 1600) di Ambon.
Namun, Portugis memperkuat posisi di Ambon dengan armada perang di bawah komando Laksamana Don Andrea Furtado de Mendoza. Untuk itu, ketika Laksamana Belanda Cornelis van Heemskerk yang berangkat dari Batavia pada Desember 1600 dan tiba di pesisir Hitu pada 2 Januari 1601, segera memindahkan garnisun kecil Belanda dari Kastil Verre karena menyadari garnisun itu tidak akan mampu mempertahankan diri dari serangan Portugis yang kuat.
Cornelis van Heemskerk yang bersahabat dengan Hitu meminta rumah di Hitu dan Mamala. Dari sini, Heemskerk mengirim pedagangnya untuk bertransaksi dengan orang Hitu dalam suasana persahabatan. Namun, karena Portugis mengepung Kota Lucitello (Asiluhu) dengan 13 kapal kecil, orang Hitu segera menemui dan meminta bantuan Heemskerk pada 19 Maret 1601, sehingga kapal Overijssel diarahkan untuk membantu Hitu bersama awak kapal, amunisi dari perang dan keperluan lainnya pada tanggal 31 Maret 1601. Heemskerk juga meminta kepala dagangnya (opperkopman) di Hitu untuk menjadi kapten. Kedatangan kapal itu menyebabkan Portugis mundur, sehingga orang Hitu merasa sangat terbantu dengan sikap Heemskerk.
Persahabatan ini melahirkan kontrak antara Heemskerk dan Kapten Hitu yang dibuat pada 9 Juni 1601. Hanya saja, setelah kepergian Heemskerk, armada Furtado melakukan balas dendam kepada orang Hitu, sehingga orang Hitu yang berada di bawah pimpinan Kapten Hitu Tepil (Raja Hitu) menghindar ke berbagai tempat, termasuk ke Pulau Seram.
Lama berada dalam kondisi terdesak oleh Portugis, orang Hitu dan Leitimor menyambut gembira ketika armada Van der Hagen yang meninggalkan Banten pada tanggal 25 Januari 1605 dan berlabuh di Teluk Ambon, depan Kota Laha pada 21 Pebruari 1605.
Ibadah Pertama
Van der Hagen tidak mengalami kesulitan, karena Gubernur Gaspar de Melho menyerahkan benteng Kota Laha tanpa perlawanan kepada Van der Hagen pada 23 Februari 1605. Peristiwa ini menandai berakhirnya dominasi Portugis di Ambon, sehingga Ambon merupakan wilayah pertama yang dikuasai Belanda. Van der Hagen segera mengganti nama Benteng Kota Laha menjadi Kastil Victoria (kemenangan) dan mengangkat Frederik de Houtman sebagai Gubernur Amboina dan Pulau sekitarnya (1605-1611) yang sebelumnya menetap di Aceh sekitar dua tahun.
Setelah penaklukan Kota Laha, Van der Hagen juga segera membuat kontrak dengan Kapten Hitu pada Pebruari 1605, yang terdiri dari enam pasal. Kemudian, Van der Hagen juga membuat kontrak dengan Raja Oma pada 25 Pebruari 1605. Kemudian disusul Banda ketika Van der Hagen berangkat ke Banda. Sedangkan, kontrak dengan Hatuhaha, Kabau, Kailolo dan Hulaliu dilakukan Gubernur Ambon Frederik de Houtman pada 13 Maret 1609.
Penaklukan Kota Laha ini juga menandai awal kehadiran Kristen Reformasi (Protestan) di Maluku. Sebab, pada Oude Compagnie (1594-1602) setiap kapal perusahaan yang berlayar wajib menyertakan ziekentrooster, perawat kesehatan dan rohani bagi. Hal ini berlanjut pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang didirikan pada tahun 1602. Begitu juga dalam armada Van der Hagen ini terdapat ziekentrooster Johannes Stollenbeeker, sehingga personel VOC menggelar ibadah syukur pada 27 Pebruari 1605 bertepatan dengan untuk pertama kalinya Laksamana Van der Hagen turun dari kapal ke Benteng Kota Laha. Ibadah Protestan ini merupakan yang pertama kali di Maluku dan Hindia Belanda (Indonesia) dan bahkan di Asia, sehingga peristiwa ini menjadi peristiwa sejarah penting bagi Kristen Reformasi (Protestan) bukan hanya di Maluku atau Indonesia, tetapi bahkan di seluruh Asia.
Johannes Stollenbeeker melayani dari tahun 1605 sampai 1609 di Ambon. Stollenbeeker memiliki latar belakang sebagai orang yang terdidik untuk ukuran ziekentrooster di kapal Belanda. Dia berasal dari Anholt di Jerman. Karena perannya dalam pelayanan rohani Kristen Reformasi ini, Stollenbeeker dianggap sebagai pendeta di Ambon, meski tidak pernah ditabhiskan sebagai pendeta.
Jadi, sebelum ikut berlayar dalam armada Steven van der Hagen pada Desember 1603, Stollenbeeker mengajukan permintaan kepada Klasis Amsterdam pada September 1603, agar diizinkan untuk melaksanakan pembaptisan di Hindia Belanda. Ketika berada di Ambon, Stollenbeeker membuat kesepakatan mengenai pembaptisan anak dari pasangan orang Belanda dan Ambon. Kesepakatan ini, di kemudian hari menjadi rujukan bagi zending sesudah era Stollebeeker. Hanya saja, Stollenbeeker sebatas melayani orang Belanda di Kastil Victoria, sehingga praktis tidak menyentuh orang Ambon.
Sedikit perubahan terjadi ketika Laksamana Comelis Madelief de Jonge berkunjung ke Ambon pada Maret 1607, yang meminta Johannes Wogma yang tinggal di Kastil Victoria dan telah menikah dengan puteri bangsawan Amentelo untuk mengajar anak Ambon berdoa, membaca, berhitung dan menulis dalam Bahasa Belanda. Sejak saat itu, Gubernur Frederik de Houtman ikut aktif mendorong pelayanan rohani kepada anak Ambon.
Namun, ketika pulang dari Ambon Comelis Madelief de Jonge membawa serta tiga orang putera bangsawan di Ambon, yakni Halaene (putera Kapten Hitu, Tepil), Laurens Marcus (putera Raja Hative, Don Marcus) dan Martinho Antoni (Putera dari Orang Kaya Tawiri, Don Antonio). Mereka meninggalkan Ambon pada 3 Mei 1607 bersama Comelis Madelief de Jonge untuk menuju Belanda.
Motif utama membawa putera bangsawan ini ke Belanda untuk memperkenal Negeri Belanda bahwa tidak seperti yang dirumorkan Portugis sebagai bajak laut, sekaligus untuk membangun respek terhadap Belanda.
Setelah tiga tahun berada di Belanda, ketiga putera pangeran Ambon ini berangkat kembali ke Hindia Belanda bersamaan dengan keberangkatan Pieter Both yang telah diangkat sebagai Gubernur Jenderal yang pertama di Hindia Belanda.
Untuk itu, kemungkinan ketiga anak Ambon ini tiba di Ambon bersamaan dengan kunjungan Pieter Both di Ambon pada tahun 1612. Bisa jadi, ketiga pangeran asal Ambon ini merupakan orang Hindia Belanda pertama yang mengunjungi Belanda pada masa VOC.
Kembali pada masa Stollenkeeker ini, meskipun ibadah Protestan dilakukan di Kastil Victoria, tetapi umat Katolik di Ambon tetap sebagai penganut Katolik. Setidaknya, ada 16.000 umat Katolik di Ambon dan Uliasers (Lease). Sebab, setelah penaklukan, Van der Hagen berkonsultasi baik dengan Pastor Jesuit Massonius dan memenuhi keinginannya agar diizinkan menetap di Ambon untuk kepentingan komunitas Katolik. Karena ada empat gereja di Kota Ambon, ada rumah sakit La Misericordia, sekolah dan bakan seminari. Van der Hagen mengizinkan 32 keluarga Portugis tetap menetap di Ambon dengan syarat mengakui kekuasaan Belanda yang diucapkan pada 3 Maret 1605.
Hanya saja, sikap Van der Hagen ini mendapat kritikan keras dari Belanda, karena ada keharusan siapapun yang ingin melarang Portugis secara permanen dari wilayah yang ditaklukkan harus segera menolak izin tinggal yang lebih lama bagi para imam Katolik. Sikap Van der Hagen tidak lepas dari latar belakang karena masa muda dijalani di Eropa Selatan di antara umat Katolik Roma. Akibatnya, Van der Hagen dituduh menghadiri gereja bersama Pastor Jesuit. Berbagai kritikan yang ada ini menyebabkan Van der Hagen berubah sikap terhadap Katolik di Ambon.
Ketika Stollenbeeker meninggalkan Ambon tahun 1609, Stollenbeeker menyurati Gereja Amsterdam untuk mengutus seorang penerus untuk melayani di Ambon, Bacan, dan Ternate. Kemudian, posisi Stollenbeeker sebagai ziekentrooster diisi Cornelis Aartszoon, yang mendapat tugas khusus dari Gubernur Houtman untuk mencari buku-buku yang cocok dibacakan kepada orang Ambon. Kemudian, Gubernur Houtman sendiri menerjemahkan ke Bahasa Melayu, selanjutnya Cornelis Aartszoon mambacakan setiap hari Minggu kepada orang Ambon.
Hanya saja, terjemahan Gubernur Frederik de Houtman ini dalam gaya Melayu Aceh, sehingga tidak terlalu dipahami orang Ambon. Sebelum ke Ambon, Frederik de Houtman berada di Aceh selama dua tahun dan berhasil membuat kamus Melayu. Untuk itu, ketika Stollenbeeker tiba di Belanda, dia juga mengusulkan perlunya bacaan Kristen dengan terjemahan yang baik bagi orang Ambon.
Pendeta Pertama di Ambon
Pada tahun 1611, Frederik de Houtman digantikan Casper Janszoon (1611-1615) sebagai Gubernur Ambon, yang bersamaan dengan penugasan Willem Franszoon sebagai ziekentrooster untuk menggantikan Cornelis Aartszoon yang berencana pulang ke Belanda. Jadi, pada 1611, Maluku belum memiliki pendeta sehingga hanya mengandalkan ziekentrooster dalam pelayanan rohani.
Untuk itu, ketika Gubernur Jenderal yang pertama, Pieter Both datang ke Ambon pada tahun 1612 juga bersama Pendeta Matheus van den Broeck (Palundanus), Jan Maertszoon van Kampen dan Pendeta Casper Wiltens. Pendeta Mattheus van den Broeck merupakan pendeta reformasi pertama di Hindia Belanda. Sedangkan, Jan Maertszoon van Kampen dan Pendeta Casparus Conradus Wiltens merupakan pendeta utusan Klasis Amsterdam yang memang dikhususkan untuk Ambon. Jadi, pada tahun 1612 ada tiga pendeta di Maluku, tapi Casparus Wiltens ditugaskan untuk melayani di Pulau Bacan.
Ketika Pieter Both di Ambon menerima keluhan orang Ambon mengenai tidak adanya layanan agama, maka Both meminta Pendeta Van den Broek untuk memimpin ibadah di luar Kastil Victoria, dengan menggunakan Gereja St. Paul (bekas gereja Katolik Jesuit).
Setelah itu, Both yang harus melanjutkan perjalanan ke Banda pada 21 Maret 1612 meninggalkan Pendeta Van den Broeck di Kastil Victoria, dengan perintah bukan hanya melayani orang Belanda dan keluarganya di kastil, tetapi juga melayani orang Ambon dalam Bahasa Melayu. Pendeta Van den Broeck ini ditahbiskan sebagai pendeta khusus untuk Hindia Belanda yang pertama pada tahun 1609 oleh Pendeta Faukelius atas nama Klasis Walcheren.
Untuk itu, Van den Broeck berusaha mempelajari terjemahan khutbah, doa dan nyanyian peninggalkan Gubernur Frederik de Houtman. Sebelumnya, hal itu dilakukan Cornelis Aartszoon yang akan segera diganti Willem Franszoon yang juga belum memahami Bahasa Melayu. Akibatnya, ketika Pieter Both tiba kembali di Ambon dari Banda pada September 1612, Pendeta Van den Broeck belum memberikan pelayanan dalam Bahasa Melayu, dengan alas an Injil harus diberitakan kepada orang Ambon dalam Bahasa Ambon dengan Bahasa Melayu. Dia juga tidak mau menyampaikan terjemahan yang dia sendiri tidak memahami maknanya.
Situasi itu menyebabkan, Gubernur Jenderal Pieter Both meminta Cornelis Aartszoon untuk menunda kepulangan ke Belanda, agar bisa memberikan pelayanan dalam Bahasa Melayu sambal menunggu penggantinya Willem Franszoon mempelajari Bahasa Melayu. Sedangkan, Pendeta Van den Broeck kembali berlayar dengan Pieter Both karena dibutuhkan dalam berkomunikasi Bahasa Latin, sehingga menyiasakan Pendeta Jan Maartszoon van Kampen di Ambon yang melayani di Ambon sampai dengan tahun 1615.
Namun, karena tidak bisa Bahasa Melayau sehingga hanya membacakan karya terjemahan Gubernur Ambon Frederik de Houtman dalam Bahasa Melayu Aceh.
Pendeta Maartszoon juga mendapat tugas dari Gubernur Ambon saat itu, Casper Janszoon untuk menyampaikan khotbah bahasa Melayu setiap dua minggu di Soya, Ema, dan Kilang. Selain itu, juga melaksanakan baptisan setiap dua atau tiga bulan, serta bertanggung jawab untuk menyampaikan khotbah berbahasa Belanda di Kastil Victoria.
Tapi, pada tahun 1614, Ambon memiliki dua pendeta karena Casparus Wiltens dipindahkan dari Bacan ke Pulau Ambon. Keduanya, Pendeta Jan Maartszoon van Kampen dan Pendeta Gasparus Wiltens merupakan dua pendeta utusan Klasis Amsterdam, yang diproses pada tanggal 6 dan 7 Desember 1610. Kemudian, ditabhiskan sebagai pendeta pada 23 Desember 1610.
Khotbah Bahasa Melayu
Namun, setelah kepergian Pendeta Jan Maartszoon pada 1615, praktis hanya menyisakan Pendeta Casparus Wiltens di Ambon, yang sudah mahir berbahasa Melayu yang dipelajarinya selama berada di Pulau Bacan. Untuk itu, Pendeta Wiltens menggunakan Bahasa melayu dalam setiap khotbahnya di Ambon.
Selain itu, Pendeta Wiltens juga menyoroti Pendidikan bagi orang Ambon yang diterapkan pada masa Gubernur Ambon Houtman, kemudian melemah pada masa Gubernur Ambon Jasper Janszoon dan bahkan sempat ditutup sebelum dibuka kembali pada masa Gubernur Ambon dijabat Adriaan Maertszoon Block (1615-1617) yang sebenarnya adalah Jan Pieterszoon Coen, yang nanti menjadi Gubernur Jenderal.
Hanya saja, kritikan keras Pendeta Wiltens terhadap orang Ambon dan perilaku hidup puluhan keluarga Belanda yang dikirim pada tahun 1609, bahkan dia mengusulkan untuk memulangkan keluarga Belanda karena berbagai perilaku tidak bermoral. Sikap keras Pendeta Wiltens ini berseberangan dengan Laksamana Steven van der Hagen (penakluk Portugis) yang menjadi Gubernur Ambon pada 1617, terutama penilaian negative Wiltens terhadap penduduk asli dan sikap tidak bijak Pendeta Wiltens terhadap sahabat Van der Hagen, Kapten Hitu.
Akibatnya, Van der Hagen memindahkan Pendeta Wiltens ke Poeloe Ai (Banda) meskipun berada dalam kondisi sakit dan menyebabkan kekosongan pendeta di Ambon. Perlakuan Van der Hagen ini menuai kritik dari koleganya sendiri, karena Wiltens merupakan satu-satunya pendeta yang dapat berkhotbah dalam bahasa Melayu di Hindia Belanda.
Untuk mengisi kekosongan pendeta di Ambon, Gubernur Jenderal menugaskan Pendeta Sebastian Danckaarts yang tiba di Ambon pada Januari 1618. Hanya saja, Danckaarts juga tidak berbahasa Melayu sehingga hanya membacakan terjemahan dalam Bahasa Melayu. Namun, hanya sesaat karena Gubernur Jenderal Laurens Reael dan Dewan Hindia mengambil keputusan di Banda pada 16 Juli 1618, untuk memindahkan kembali Pendeta Gaspar Wiltens ke Ambon, yang juga disertai dengan penggantian Gubernur Ambon dari Van der Hagen kepada Herman van Speult (1618-1625).
Tapi, Pendeta Wiltens hanya berkarya sekitar senam bulan, karena pada 8 Januari 1619 meninggal dunia di Ambon karena sakit dalam usia 35 tahun, sehingga pelayanan keagamaan sepenuhnya ditangani Pendeta Sebastian Danckaarts, yang dibantu ziekentrooster Thielman Theemissen yang juga ditunjuk sebagai kepala sekolah di Ambon.
Anak Ambon Studi Teologi di Belanda
Pada masa Gubernur Herman van Speult ini menaruh perhatian terhadap pendidikan dan pelayanan rohani kepada penduduk Ambon. Untuk itu, Speult menyurati Klasis Amsterdam agar beberapa anak pribumi di Ambon dikirim untuk belajar teologi ke Belanda, sehingga bisa menjadi guru agama bagi rakyat Ambon setelah menyelesaikan studi.
Usulan ini disetujui Heeren XVII (Dewan Tujuh Belas) pada Maret 1619 dan memerintahkan kepada Gubernur Jenderal untuk mengirim empat anak dari raja, masing-masing dua dari Ambon dan dua dari Ternate, sehingga bisa menjadi pendeta setelah menyelesaikan studi. Untuk itu, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen mengirim empat anak yang semunya dari Ambon pada tahun 1920, yakni dua putera raja dan dua putera orang kaya, yakni Putera Kilang, Marcus de Roy (putera Raja Kilang), Andreas de Castro (putera Raja Soya), Laurens de Fretis (Putera orang kaya Hative); dan Laurentius Diego (Coelio?) (Putera orang kaya Halong). Selain itu, juga ada Joes Tack yang mungkin putera dari Hendrick Tack dari hasil perkawinan dengan orang Ambon. Hendrick Tack merupakan guru pada masa Gubernur Ambon Jasper Janszoon.
Anak-anak ini berangkat dari Ambon pada Agustus 1620 yang didampingi Opperkoopman Artus Gijsels. Kemudian, pada tahun 1621, menyusul Johannes Ducot yang adalah putera dari keluarga Sabandar Jepara yang direkomendasikan kepada JP Coen dalam penaklukan Banda, tetapi JP Coen memanggilnya Pieter Ducot yang diharapkan menjadi penginjil di Jawa. Jadi, seluruhnya ada enam anak dari Hindia Belanda yang menempuh pendidikan di Belanda. Bukan tidak mungkin, keenam anak ini merupakan generasi pertama dari Hindia Belanda yang sekolah di Belanda.
Pada 29 Juli 1621, para Deputi Klasis Amsterdam, Pendeta Jacobus Roulandus dan Pendeta Johannes le Maire Bersama Heeren XVII untuk membahas pendidikan keenam anak ini, yang mana disetujui agar anak-anak ini berada di bawah bimbingan Pendeta Petrus Wassenberg di Amersfoort. Tapi, kemudian berubah dan ditempatkan di Leiden di bawah pengawasan seorang regent agar bersama anak-anak Belanda bisa menjadi penyebar injil di Hindia Belanda.
Pada tanggal 6 November 1622, Walikota Harderwijk, Christiaan Brinck meminta kepada keenam anak ini menuliskan sesuatu di buku catatannya dalam Bahasa Latin.
Andreas de Castro (putera Raja Soya) menuliskan penggalan syair Horatius Horatius, penyair terkenal Romawi, “Latius regnes avidum domando spiritum, quam si Libyam remotis; Gadibus jungas, et uterque Poenus serviat uni” (Engkau akan memerintah lebih luas dengan menjinakkan semangat membaramu, dibandingkan jika engkau menyatukan Libya dengan Gad yang jauh, dan setiap orang Kartago melayani yang lain).
Laurentius de Fretis (Putera orang kaya Hative) menuliskan, “Fortior est qui se, quam qui fortissima vincit moenia” (Amsal 16:32) dan “Jam vere comperi nulla ap: Denm esse personarum exceptionem” (Kisah Para Rasul 10:34).
Joes Tack menuliskan penggalan penyair Romawi, Ovid, “Omne solum forti patria est” (Setiap negeri adalah tanah air bagi para pemberani) dan “Deus et gen tiurn Deus est” (Roma 3:29).
Johannes Ducot menuliskan “Illie est exilium übi virtuti nö est locus” (Inilah pengasingan di mana tidak ada tempat bagi kebajikan) dan “Qui eramus longe, facti sumus prope in sanguine Christi” (Efesus 2:13)
Marcus de Roy (putera Raja Kilang) menuliskan penggalan syair Horatius, “Virtus regnum et diadema tutum; Deferens imi propriam que laurum; Quisquis ingentes oculo irretorto spectat acervos” (Kebajikan adalah kerajaan dan mahkota yang aman; Memikul mahkotanya sendiri; Barangsiapa memandang tumpukan besar dengan mata yang jernih) dan “Deus in manibus habet corda Regum” (Amsal 21:1).
Sedangkan Laurentius Diego (Putera orang kaya Halong) menuliskan penggalan syair Horatius “Regum timendorum in proprios greges, Reges in ipsos imperium est Dei” (Kekuasaan raja atas rajanya sendiri, kekuasaan raja atas diri mereka sendiri, adalah milik Tuhan) dan “Gratia Dei sumus quod sumus” (I Korintus 15:10).
Kemudian, pada 28 Juli 1627, Pendeta Wassenberg mempertemukan anak-anak dengan Heeren XVII dan meminta agar mengunjungi sejumlah kota di Belanda sebelum pulang ke Hindia Belanda. Permintaan itu disetujui dan membantu 250 Gulden.
Hanya saja, Laurentius Diego meninggal di Belanda. Tetapi, kelima lainnya bisa pulang ke Hindia Belanda pada Agustus 1629 bersama dengan Artus Gijsels yang sejak awal Bersama ketika berangkat dari Ambon pada 1620. Hanya saja, Pendidikan anak-anak ini tidak memuaskan Belanda karena melupakan Bahasa Ibu yang diharapkan dapat digunakan saat kembali ke Hindia Belanda. Kekecewaan itu tergambar dalam ungkapan sarkastis Gubernur Ambon Philip Lucaszoon (1628-1631).
Yang jelas, tidak mudah untuk merangkum perjalanan panjang Kristen Protestan di Maluku. Namun, perjalanan panjang ini dimulai dari “langkah kecil” yang dilakukan Johannes Stollenbeeker pada 27 Pebruari 1605 di Kastil Victoria. Bahkan, kalau ditarik lebih jauh, perkembangan Kristen Protestan di Hindia Belanda tidak lepas dari peran Pengkhotbah Petrus Plancius di Amsterdam yang memiliki ide untuk mewajibkan kapal yang berlayar ke Hindia belanda disertai dengan pengkhotbah atau ziekentrooster (perawat Kesehatan dan rohani), yang mulai berlaku sejak tahun 1598.
Dalam perayaan HUT GPM ini, setidaknya menjadi momentum untuk merenung Kembali kehadiran Kristen Protestan di Maluku, yang bukan saja memberitakan injil, tetapi juga mengandung kemanusiaan melalui kepedulian terhadap pendidikan, kesehatan dan karakter sebagai orang Kristen. Selamat memperingati HUT GPM ke-90.
Penulis, Dipl.-Oek. Engelina pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation.
Catatan: Tulisan ini bersumber dari berbagai referensi, dokumen dan catatan.