Dari ‘Flexing’ Hingga ‘Tone Deaf’: Dilema Perempuan Ber-privilege dalam Framing Media

1 day ago 2

Oleh: Fadila Lestari

Isu gender dalam representasi pasangan tokoh politik kini mencapai puncaknya. Secara paradoks, perempuan dengan privilege di lingkaran kekuasaan menghadapi dilema: Bersuara, berisiko dicap “Tone Deaf” atau “terlalu politis”; diam, dicap tidak peka terhadap penderitaan rakyat.

Dilema ini terlihat pada sorotan “flexing Erina Gudono” di tengah kontroversi tahun 2024 silam, hingga kritik publik terhadap selebritas Maudy Ayunda yang sempat dicap “Princess Tone Deaf” setiap muncul fenomena publik. Mengapa kritik selalu menyasar ranah moralitas dan privilegeperempuan? Analisis teori komunikasi menunjukkan bahwa bias ini bekerja melalui pilihan agenda dan framing media yang tampaknya netral.

1. Jebakan Agenda Setting dan Framing

Media massa sering membatasi peran perempuan di lingkaran kekuasaan melalui mekanisme Agenda Setting dan Framing.
● Agenda Setting yang Membatasi Peran:Pemberitaan cenderung fokus pada kegiatan simbolik, edukatif, atau sosial. Melalui pemilihan topik yang berulang, media membentuk agenda publik bahwa peran mereka berada pada ranah moral dan keluarga. Isu-isu struktural yang lebih politis dan krusial seperti krisis lingkungan atau kebijakan negara justru jarang dikaitkan dengan suara mereka.

● Framing Simbolik sebagai “Pajangan”: Teknik framing media sering menggunakan diksi pasif (“mengimbau,” “mengingatkan”) dan menekankan atribut kelembutan. Framing ini berisiko membentuk persepsi bahwa peran mereka adalah “pajangan simbolik negara”figur yang harus sempurna secara moral, namun tidak memiliki tugas substantif. Ketika terjadi penyimpangan, kritik langsung menyerang etika pribadinya.

2. Kritik Netralitas Pasif dan Standar Ganda

Dalam konteks gender, pemberitaan yang terlihat netral secara tekstual justru dapat dikategorikan sebagai “netralitas pasif” yang berbahaya.

Netralitas pasif berarti media tidak secara aktif menantang atau mengkritisi konstruksi gender yang sudah mapan. Dengan hanya melaporkan kegiatan yang dianggap “aman”, media berpotensi mempertahankan bias gender secara tidak langsung.

Hal ini menciptakan standar ganda:
1. Kritik Pribadi vs. Kritik Struktural: Perempuan atau “istri pejabat” diserang pada ranah moral dan pribadi (dicap tone deaf atau flexing). Sebaliknya, kritik terhadap politisi laki-laki (sang suami) diarahkan pada ranah politik dan kebijakan.

2. Dilema Speak Up: Perempuan berprivilegeyang mencoba bersuara justru diserang karena privilege mereka. Mereka tidak diberikan ruang aman untuk menyalurkan agendasi mereka tanpa dikritik.

3. Usulan Kolaboratif: Menuju Jurnalisme Sosial yang Adil Gender

Untuk mengatasi jebakan framing ini, media harus mengadopsi pendekatan Jurnalisme Sosial yang lebih reflektif dan adil gender.
1. Mendorong Agensi dan Suara Substantif:Media harus memberikan ruang untuk opini dan sikap kritis Istri Pejabat terhadap persoalan aktual. Jurnalis dapat secara proaktif mengagendakan pertanyaan yang lebih substantif dan krusial terkait isu struktural. Tujuannya adalah memosisikan mereka sebagai “aktor diskursif,” bukan hanya pendamping sang suami.

2. Fokus pada Dampak Kebijakan (contoh Michelle Obama): Media dapat mengadopsi framing yang berfokus pada dampak dan keberlanjutan program, alih-alih hanya kehadiran seremonial. Misalnya, meliput upaya advokasi mereka di bidang nutrisi atau kesehatan yang menekankan proses, strategi, dan dampak kebijakan, seperti pemberitaan yang pernah diulas media terhadap program Michelle Obama (isu obesitas anak).

3. Membangun Akuntabilitas Simbolik: Strategi ini bertujuan agar publik melihat figur perempuan ini memiliki kepedulian nyata dan posisi yang tegas. Dengan framing yang berimbang, media tidak hanya mereproduksi citra yang aman, tetapi juga membantu membangun representasi perempuan yang aktif, reflektif, dan relevan secara sosial, menantang label “Tone Deaf” yang selama ini melekat pada mereka.

Pendekatan ini akan memperkuat fungsi media sebagai pendorong kesadaran publik dan keadilan, sekaligus menghasilkan pemberitaan yang lebih seimbang dan kontekstual.

* Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan