SHNet, Jakarta-Bertempat di Aula Gedung Ahmad Dahlan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA), Pasar Rebo, Jakarta Timur, digelar Seminar Bahasa dan Budaya, Rabu (12/11/2025). Seminar ini menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten: Prof. Dr. Agus Suryadika, Dr. Desvian Bandarsyah, Dr. Tadjuddin Nur, Chairil Gibran Ramadhan, Yahya Andi Saputra, dan Erfi Firmansyah.
Dalam seminar tersebut, para pembicara membahas berbagai aspek bahasa dan budaya Betawi, mulai dari dialek, karakter tutur, hingga tantangan pelestarian budaya lokal di tengah arus modernisasi.
Acara dibuka dengan penganugerahan PSB UHAMKA Awards 2025 kepada Chairil Gibran Ramadhan/CGR, atas dedikasinya sebagai Sastrawan Betawi yang menekuni sastra berlatar Betawi, Batavia, Jakarta selama 26 tahun. Lelaki asal Pondok Pinang dan alumni IISIP Jakarta juga dikenal sebagai budayawan dan peneliti sejarah sosial yang dikenal luas atas kiprahnya dalam mempromosikan budaya Betawi melalui buku-buku yang ditulisnya, mendirikan Penerbit Padasan, Betawi Institute, Padasan Pictures, dan menerbitkan Jurnal Stamboel alias Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies.
Ketua Pusat Studi Betawi UHAMKA, Prof. Dr. Edi Sukardi, dalam sambutannya menyampaikan bahwa penghargaan ini merupakan bentuk apresiasi UHAMKA terhadap tokoh yang berkontribusi nyata dalam dunia bahasa, sastra, dan kebudayaan. “Ke depan, Uhamka Award akan terus diselenggarakan dan diberikan kepada tokoh-tokoh yang layak menerimanya,” ujarnya.
Saat digelar sesi seminar, CGR menyatakan tentang kurangnya perhatian negara terhadap penyebaran karya buku, tetapi sangat royal menghabiskan dana untuk kegiatan panggung hiburan yang tidak meninggalkan bekas.
Pada kesempatan ini, CGR juga mengkritisi judul “Bahasa Melayu Betawi dalam Tuturan Bahasa Melayu Tinggi”. Menurutnya, ‘Bahasa Melayu Betawi’ pada judul, oleh panitia dan para pembicara lain dimaknai sebagai Bahasa Betawi yang kini memasyarakat dan ‘Bahasa Melayu Tinggi’ dimaknai sebagai Bahasa Indonesia yang sekarang ada.
“Padahal jika dilihat dari sisi ragam bahasa pada masa Kolonial, ragam bahasa Melayu Betawi dan Melayu Tinggi adalah “kembar tidak identik” yang lahir dari rahim Nusantara.”
Ia menjelaskan, ragam bahasa Melayu Betawi disebut juga Melayu Tionghoa, Melayu Pasar, Melayu Rendah. Populer digunakan antara 1870-an hingga 1940-an sebagai bahasa lisan dalam pergaulan keseharian. Sedangkan Melayu Tinggi yang disebut juga Melayu Balai Pustaka, Melayu Gupernemen, Melayu Diplomasi, atau Melayu Kitab, merupakan bahasa formal pada dunia pemerintahan, pendidikan, dan sastra. Ragam bahasa ini berasal dari dialek Melayu Riau dan menjadi dasar Bahasa Indonesia.
Kurang Pahami Ragam Bahasa
Sebagai sastrawan yang menguasai semua ragam ejaan yang pernah ada di Indonesia dan ragam bahasa Melayu Rendah dan Melayu Tinggi yang diwujudkan dalam karya-karya cerpen dan puisinya, CGR menyayangkan panitia yang tidak memahami kedua ragam bahasa ini dan tidak memberitahu para pembicara dalam saat membuat makalah.
“Saya pikir, acara ini akan membicarakan tentang seluk-beluk ragam bahasa Melayu Rendah, para sastrawan-wartawan “Tionghoa Peranakan” yang menghasilkan karya berbahasa Melayu Rendah, dan pengaruh keberadaan karya mereka. Sambil kemudian dibandingkan dengan keberadaan bahasa Melayu Tinggi. Kebetulan sejak 2011 saya memang concern pada segala yang menyangkut ragam bahasa Melayu Rendah ini.” tuturnya.
Dalam pengakuannya, CGR mengatakan bahwa ia banyak belajar dunia ragam bahasa Melayu Rendah dari David Kwa (1956-2020), guru dan sahabatnya, yang merupakan pemerhati budaya Tionghoa-Peranakan dan sangat menguasai bahasa Melayu Rendah. Sang guru bahkan pernah berkata: “Kamu kalau bikin cerpen pakai bahasa Melayu Rendah sudah kaya’ orang dulu beneran, Ril.”
Sayangnya, acara penuh ilmu ini memiliki kelemahan pada konsep penataan tempat duduk hadirin dan durasi acara yang hanya tiga jam dengan delapan orang pembicara. Akibatnya para pembicara tampak terburu-buru dalam memaparkan pemikirannya. Padahal jika dibagi menjadi dua sesi pada pagi dan siang, akan semakin banyak ilmu dan informasi yang didapatkan. Acara pun menjadi anti klimak karena sesi tanya-jawab, hanya sampai pada “tanya”, karena untuk “jawab” sudah tidak ada waktu.
Nama Chairil Gibran Ramadhan, dikenal sejak pada dunia Sastra Indonesia melalui cerpen-cerpennya yang mengangkat tema Betawi, Batavia, dan Jakarta. Sejak tahun 1997, tulisannya tampil di berbagai media nasional. Ia menjadi pembicaraan lewat kumpulan cerpen tungga, “Sebelas Colen di Malam Lebaran: Setangkle Cerita Betawi” (2008), “Kembang Kelapa: Setangkle Catatan Budaya Betawi (2016), lima buku puisi sejarah-budaya bertema Betawi, Batavia, Jakarta, menggagas penerbitan “Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya – Sketsa, Puisi, Prosa 1900-2000” (2011) yang menghimpun karya M. Balfas, Firman Muntaco, N. Susy Aminah Aziz, pemimpin redaksi “Stamboel: Journal of Betawi Socio-Cultural Studies”, dan menulis skenario biopic “Ismail Marzuki” yang akan difilmkan oleh PPFN dan Padasan Pictures.
CGR merupakan orang Betawi pertama yang menjadi Redaktur Majalah Sastra Horison atas permintaan Taufiq Ismail (2018). Sebelumnya antara 2011-2015, sebanyak 15 judul cerpennya dalam teman Betawi, Batavia, Jakarta, dimuat majalah sastra yang terbit sejak Juli 1966 ini. Selain menulis karya sastra dan catatatan budaya, CGR juga menggagas berbagai jejak budaya, seperti mendirikan Museum Etnografi Orang Betawi dan menggelar talkshow sastra dan kebudayaan. (sur)


















































