
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID--Dilansir dari jawapos.com, masyarakat diimbau untuk segera berkonsultasi dan menjalani terapi apabila mengalami gejala gangguan bipolar (GB) maupun skizofrenia, baik pada diri sendiri maupun orang terdekat. Kedua gangguan kejiwaan ini membutuhkan intervensi medis cepat dan tepat agar tidak berkembang menjadi kondisi yang lebih parah.
Penanganan terhadap skizofrenia dan GB harus dilakukan secara menyeluruh, terutama melalui pengobatan yang bertujuan menstabilkan ketidakseimbangan zat kimia di otak. Dalam proses pemulihan, peran dokter spesialis kejiwaan (psikiater) sangat vital.
Menurut dr. Ashwin Kandouw, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, skizofrenia merupakan gangguan mental kronis yang berdampak pada cara berpikir, emosi, dan perilaku penderitanya.
“Gangguan ini bisa muncul dalam bentuk pikiran kacau, keyakinan salah (waham), halusinasi, emosi tumpul, hingga perilaku agresif,” jelas dr. Ashwin, Senin (28/7).
Sementara itu, gangguan bipolar adalah kondisi kejiwaan yang menyebabkan perubahan suasana hati secara ekstrem, dari fase mania ke fase depresi. Di fase mania, penderita merasa sangat bersemangat dan penuh energi, kadang disertai perilaku impulsif. Sebaliknya, fase depresi ditandai dengan kesedihan mendalam, kehilangan minat, bahkan keinginan menyakiti diri sendiri.
Dr. Ashwin menekankan bahwa meski memiliki gejala berbeda, skizofrenia dan gangguan bipolar memiliki kesamaan: keduanya disebabkan oleh gangguan kimia otak, bersifat kronis, dan dapat kambuh sewaktu-waktu.
“Setiap kali kambuh, sel otak bisa rusak secara permanen. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosis dan menangani gangguan ini sedini mungkin,” tegasnya.
Sayangnya, masih banyak penderita yang tidak mendapatkan layanan kesehatan jiwa yang memadai. Hal ini disebabkan oleh minimnya pemahaman, terbatasnya fasilitas dan obat, serta stigma sosial yang masih kuat. Bahkan, tidak sedikit penderita atau keluarganya memilih pengobatan alternatif yang tidak sesuai dengan kondisi medis.
Dukungan dari orang-orang terdekat juga sangat berpengaruh terhadap kepatuhan penderita dalam menjalani terapi. Selain itu, pemerintah diharapkan turut aktif menyediakan skema pengobatan berkelanjutan, pembiayaan yang terjangkau, serta menciptakan lapangan kerja yang sesuai bagi para penyintas gangguan jiwa.
“Semua pihak harus berkontribusi, mulai dari tenaga medis, keluarga, masyarakat hingga pemerintah. Edukasi dan destigmatisasi adalah kunci agar penderita bisa segera mendapat pertolongan terbaik,” pungkas dr. Ashwin.(*)