SHNet, Jakarta-Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Triyono Prijosoesilo, mengaku kaget dengan Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan Gubernur Bali, I Wayan Koster yang melarang produsen untuk memproduksi air minum kemasan sekali pakai di bawah satu liter. Apalagi, menurutnya, industri minuman belum pernah diajak konsultasi sebelumnya terkait pelarangan tersebut.
“Kami mendukung tujuan dari kebijakan Bali Bersih untuk mengelola sampah kemasan dan non kemasan agar tidak mencemari lingkungan. Banyak ànggota Asrim yang sudah melakukan kegiatan pengumpulan dan pengelolaan sampah kemasan, baik secara individu perusahaan maupun bersama-sama dalam organisasi IPRO atau organisasi daur ulang sampah kemasan dan lainnya,” ujarnya.
Karenanya, dia berharap Gubernur Bali, Koster, mau berdiskusi dengan pelaku usaha untuk mencari solusi bersama yang akan mendukung pencapaian tujuan kebijakan Pemprov Bali untuk membenahi masalah sampah di Bali. Namun, disisi lain juga, menurut dia, Pemprov Bali juga harus menjaga kinerja industri guna mendukung perekonomian Bali dan penyerapan tenaga kerja.
“Karenanya, kami berharap perlunya diskusi multi stakeholders termasuk antara pemda Bali dan pelaku usaha. Di saat yang sama, perlu waktu yang cukup sebelum menerapkan poin dalam Surat Edaran tersebut karena sangat berpotensi menjadi dampak negatif di sisi ekonomi dan tenaga kerja,” katanya.
Dia menuturkan sebenarnya sudah banyak aktifitas yang dilakukan pelaku usaha dalam melakukan pengumpulan dan daur ulang sampah kemasan, termasuk di Bali sendiri bekerja sama dengan LSM dan pelaku usaha daur ulang. “Kegiatan-kegiatan seperti ini sebaiknya yang perlu terus didorong Pemprov Bali agar bisa menjadi semakin luas. Jadi, bukan malah mematikan usaha industri air minum seperti ini,” ucapnya.
Disisi lain, dia berharap pemerintah juga berupaya untuk terus membangun infrastruktur pengelolaan sampah sesuai dengan peraturan dan perundangan. “Masyarakatpun perlu didorong untuk membangun habit baru untuk memilah sampah dari sumber atau rumah. Termasuk juga dukungan berbagai pihak seperti akademisi, civil society, dan lain-lain. Sinergi seperti inilah yang perlu didorong terus,” tukasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat, juga merasa keberatan terhadap aturan Gubernur Bali ini. “Kalau dari tujuan surat edaran tersebut, kami mendukung seratus persen tujuan pemerintah Bali untuk mewujudkan gerakan Bali bersih. Namun, menurut kami, bukan dengan cara pelarangan produksi atau distribusi. Semestinya, arahnya adalah bagaimana pengolahan sampah yang lebih baik, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan,” ujarnya.
Karenanya, dia berharap Pemprov Bali dapat mengkaji ulang kebijakannya. Sebab, menurutnya, dampaknya tentu akan merembet ke mana-mana karena Bali tempat pariwisata. Tentu wisatawan membutuhkan barang konsumsi seperti ini. “Kita tidak mungkin membawa kemasan besar. Kemudian, minuman dalam kemasan ini erat dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering berkumpul melakukan acara. Bali termasuk sering upacara, mereka pasti membutuhkan MDK kemasan kecil untuk konsumsi,” ungkapnya.
Lanjutnya, kebijakan tersebut juga dapat berdampak pada penutupan pabrik air mineral dalam kemasan plastik dan hilangnya lapangan pekerjaan. Buntutnya adalah pemerintah dapat kehilangan pendapatan dari pajak yang dibayarkan oleh industri minuman dalam kemasan. “Tentunya, hal tersebut berimbas kepada ekonomi secara keseluruhan,” katanya.
Terkait saran Koster mengenai pemakaian botol kaca untuk mengganti kemasan plastik, Rachmat menilai itu tidak menyelesaikan permasalahan sampah di Bali. Dia menilai apabila plastik pada minuman berkemasan diganti dengan kaca, kerusakan alam yang ditimbulkan akan lebih parah, sebab kaca sendiri berasal dari bahan tambang berupa pasir kuarsa.
“Memproduksi kaca itu jauh lebih boros daripada produksi plastik. Pengangkutannya juga jauh lebih berat, jauh lebih boros. Tingkat emisi karbon juga lebih besar. Ongkosnya juga jauh lebih mahal. Itu beban ekonomi juga akan jauh lebih besar. Jadi, itu bukan solusi,” ucapnya.
Di sisi lain, Rachmat melihat tingkat konsumsi minuman dalam kemasan di Provinsi Bali cukup tinggi. Apabila dilihat dari jumlah penduduk Bali yang berjumlah 4,5 juta, Aspadin memprediksi angka konsumsi minuman dalam kemasan kecil berkisar di angka 10 hingga 15 liter per kapita per tahun. Nilai tersebut lebih tinggi daripada konsumsi di wilayah Sumatera yang berkisar di angka 11 liter.
Tingginya angka konsumsi minuman dalam kemasan juga dipengaruhi oleh status Bali sebagai destinasi pariwisata. Status tersebut mengakibatkan pergerakan manusia (mobilitas) di Bali cukup besar, sehingga produk-produk minuman dalam kemasan plastik ukuran kecil sangat dibutuhkan. Di samping itu, pelarangan tersebut jelas akan berimbas secara masif pada puluhan pabrik yang ada di Bali.
“Sebagai gambaran, produsen minuman dalam kemasan di Bali itu mungkin sekitar 18 pabrik. Itu tenaga kerja ada berapa ratus orang yang terlibat di situ. Mungkin mendekati ribuan. Industri yang terkait dengan minuman dalam kemasan juga adalah industri transportasi, industri retail, kontribusinya terhadap penjualan masing-masing industri tersebut. Pertumbuhan ekonomi di Bali tentu akan berpengaruh. Perlu dihitung, pasti dampaknya besar,” tuturnya.
Dilihat dari tingkat daur ulangnya, kata Rachmat, air mineral dalam kemasan merupakan yang paling tinggi secara nasional. “Kemasan yang digunakan dalam memproduksi air mineral tersebut pun sudah 100 persen ramah lingkungan,” ujarnya. (CLS)