SHNet, Jakarta-Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Haryo Soekarno (BHS) mengkritisi Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang melarang pengusaha memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter. Menurutnya, selain mematikan industri AMDK, pelarangan itu juga akan berdampak terhadap keberlangsungan industri kreatif yang memanfaatkan kemasan-kemasan plastik tersebut serta kehidupan para pemulung yang ada di sana.
Jika alasannya karena faktor lingkungan, Bambang menuturkan bahwa sampah di Bali itu yang terbesar adalah sampah organik yang banyaknya mencapai 70% dari sampah yang ada di Bali. Sedangkan sampah anorganik itu hanya 28%. “Jadi, kita harus tahu terlebih dahulu, justru sampah yang organik di Bali itu jauh lebih besar dibanding sampah anorganik,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, dari 28% sampah anorganik itu, untuk botol plastik dan kemasan plastik itu hanya sekitar 16%-nya. “Kalau sampah plastiknya itu hanya 16 persen dari sampah anorganiknya, botol AMDK yang kemasan di bawah 1 liter itu jumlahnya juga nggak sampai lima persen,” katanya.
Jadi, menurutnya, sebenarnya permasalahan jumlah sampah anorganik dari kemasan AMDK di bawah 1 liter yang hanya 5% jumlahnya dari sampah anorganik itu, harusnya bisa dikendalikan dengan melakukan pemilahan sampah pada saat pembuangan. “Jadi, bukan malah melakukan pelarangan. Ini tugas dari Pemprov Bali untuk bisa membuat kotak sampah yang cukup di fasilitas publik dengan memilah-milah antara sampah anorganik seperti plastik yang bisa didaur ulang dan tidak, serta sampah organik,” tukasnya.
Karenanya, dia mengatakan tidak setuju dengan adanya pelarangan Pemprov Bali yang justru akan mematikan industri AMDK yang ada di sana. Tidak hanya itu, menurutnya, pelarangan terhadap produksi AMDK di bawah 1 liter itu juga akan berdampak terhadap industri daur ulang dan industri-industri kecil yang memanfaatkan bahan bakunya dari sampah-sampah plastik AMDK tersebut, juga kehidupan para pemulung yang ada di sana. “Jangan sampai dengan adanya pelarangan yang dilakukan Pemprov Bali ini, banyak pihak yang dirugikan dan banyak masyarakat yang kehilangan usahanya,” ucapnya.
Dia mengatakan selain mematikan industri AMDK dan industri-industri kecil lainnya yang ada di Bali, pelarangan produksi AMDK di bawah 1 liter ini juga akan menyulitkan masyarakat yang memang sudah terbiasa menggunakannya. “Pelarangan itu saya pikir justru akan menyulitkan masyarakat yang memang lebih suka menggunakan botol-botol kemasan di bawah 1 liter daripada kemasan yang 1,5 liter atau lebih karena terlalu berat untuk membawanya kemana-mana,” tuturnya.
Jadi, katanya, seharusnya solusi yang dilakukan Pemprov Bali untuk mengatasi masalah sampah di daerahnya itu adalah mengadakan pemilahan sampah.. Menurutnya, masalah sampah yang masih bertahan lama di Bali itu memang adalah plastik. “Tapi ini adalah karena wilayah publik di sana tidak disediakan tempat-tempat sampai yang dipilah-pilah menjadi tiga macam, yaitu organik, anorganik yang bukan plastik dan anorganik yang plastik. Karena anorganik yang bukan plastik ini tidak bisa didaur ulang,” ungkapnya.
Dia pun menyarankan agar Pemprov Bali perlu memberikan fasilitas tempat sampah yang cukup kepada masyarakat untuk memilah-milah sampah mereka. Kemudian, lanjutnya, di tempat-tempat keramaian atau fasilitas publik misalnya di pantai dan sebagainya, itu tinggal ditulis saja bahwa botol plastik tidak boleh dibuang sembarangan tapi harus dibuang di tempat penampungan plastik. “Berikan saja sanksi kepada masyarakat yang buang sampah sembarangan seperti yang ada di Perda Nomor 1 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum, dengan menjatuhkan sanksi pidana kurungan paling lama enam bulan dan denda maksimal Rp 50 juta,” tandasnya.
Jadi, menurutnya, Perda itu harus betul-betul dipublikasikan dan ditegakkan sehingga masyarakat takut untuk membuang sampah sembarangan. Selain itu, katanya, Pemprov Bali juga harus melakukan pengawasan terhadap masyarakat agar tidak membuang sampah secara sembarangan. “Pengawasan itu tentunya tidak hanya dilakukan oleh petugas, tapi juga diawasi oleh masyarakat itu sendiri, sehingga semua ikut memantau,” katanya.
Menurutnya, langkah-langkah seperti itu sudah dilakukan di Surabaya melalui Peraturan Daerah (Perda) Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Sampah dan Kebersihan di Kota Surabaya melalui operasi yustisi. “Selain petugas, masyarakat juga bisa melaporkan apabila ada yang melanggar di dalam membuang sampah sembarangan. Jadi, bukan malah mematikan industri yang sudah ada,” tuturnya. (Cls)