Sajak-Sajak Malam Gerimis, Sebuah Gugatan yang Manis

2 days ago 9

Nuthayla Anwar

Puisi adalah penjelmaan sang penyair. Menyelami Sajak-Sajak Malam Gerimis,Setangkai Mawar Chairil karya Idrus F Shahab, saya tidak hanya dipukau oleh 59 puisi yang dipisahkan oleh 2 bab tapi juga diajak mengenal dan memahami lebih dekat karakter penyairnya. Betapa santun dan lembutnya wartawan yang pernah terjun menyaksikan ganasnya peperangan ini hingga dari keadaan yang paling sakral tentang penghambaan pada Allah,kenyataan yang paling mengenaskan hingga gugatan akan keadaan yang menyakitkan dituang dalam wadah puisi dengan begitu halus dan manis.

Saya meresapi puisi Nanggala 402,sambil menahan napas,bagaimana kepedihan yang kelam itu,tenggelamnya kapal selam,dituturkan demikian lembut dan indah tanpa menghilangkan perihnya duka.

Coba simak :

Bulan sabit segaris kuning

Lengkung alis istri biar kukenang

Wahai laut,wahai gelombang

Di dalam perjalanan yang semakin gelap dan sepi ini

Rindu kubawa ke laut dalam

Di rumah,anak-istri menunggu magrib dan kabar

Namun Dia lebih rindu

Aku menanti kalian di kedalaman sana

Kelembutan yang menyelimuti sebuah tragedi dihadirkan dengan nuansa romantis,bagaimana seorang suami mengingat lengkung alis istrinya dan mengenangnya di saat ia berdepan dengan maut,membuat puisi duka itu tampil elegan.

Bahwa kesedihan bisa disikapi dengan ketegaran dan penyerahan diri secara paripurna diungkap pada puisi berjudul : Di Gaza

dengar lariknya:

Kami hanya tulang-tulang kecil dalam lintasan sejarah

1948,1967,1973,1982,1987,2000,2007,2023

Tersimpan dalam kotak mainan

Dibawa terbang malaikat maut ke langit tinggi, dst

eorang Idrus F Shahab mempuisikan syahidnya beribu bocah Palestina dengan gaya bahasa seorang sufi yang mengenalkan kita pada kesedihan dimensi lain. Dan deretan tahun yang dijajar apik, seperti cambuk memecut, kita telah menjadi penonton setia sebuah tragedi sekian lama.

Begitu pula dengan kekecewaan serta gugatan akan keadaan, dirangkai dalam bahasa bening dan santun. Sila simak bagaimana Idrus F Shahab menyisipkan tanya terhadap nasib reformasi  dengan menayangkan kisah Khaidir dan Musa. Atau bagaimana ia menggugat reformasi yang merupa seorang pemuda bersuara lirih,hampir tak terdengar dalam puisi Kepada Kawan II.

“Sajak-Sajak Malam Gerimis” menampilkan serangkai puisi yang mengambil latar suasana malam dengan iringan gerimis. Saya menghitung ada sekitar 16  puisi yang menggunakan diksi gerimis dan hujan. Gerimis yang mendominasi sebagian besar puisi tidak hanya hadir sebagai fenomena alam, tetapi sebagai metafora bagi berbagai pengalaman manusiawi—kerinduan, kesepian, perenungan, kesedihan dan harapan.Idrus F Shahab secara konsisten menggunakan hujan ringan ini sebagai jembatan penghubung antara alam dan jiwa manusia lalu berangsur bergerak ke dalam renungan lebih dalam tentang eksistensi dan hubungan antar manusia dan peristiwa .

Sebagai pecinta Rumi, tidak heran kalau ada sekitar 7 atau 8 puisi penelusuran cinta dan rindu akan Tuhan. Dan sebagai peminat musik, ada sekitar 18 puisi yang menyelipkan unsur musik atau nyanyian. Mungkin seperti dilarikkan Idrus dalam puisi Adagio Albinoni: Musik adalah kesunyian yang berlapis-lapis.

Puisi – puisi yang berteduh dalam Sajak-Sajak Malam Gerimis ini meski tak panjang tapi matang. Dan Idrus begitu piawai menata hingga  diksi-diksi sederhana yang dipilih tidak membuat puisinya serta merta enteng dicerna tapi juga tidak menjadikannya misteri tanpa jendela. Puisi-puisi Idrus F Shahab memiliki maqamnya sendiri yang akan lebih mudah diserap oleh mereka yang berwawasan luas .

Sila nikmati Puisi berjudul  April 2020

“Dia lahir dari sebuah mimpi yang sedih

Mungkin tentang manusia-manusia yang terasingkan

oleh politik,cinta,bahkan air mata sendiri

Ketika bulan tua kehilangan kata-kata

Dan gagak hitam menaburkan bubuk kematian di setiap sudut kehidupan

Sejarah mencatat,tapi kita akan cepat lupa… ”

Menjadi penyair adalah menjadi manusia yang peka, mengasah nalar dengan rasa, namun, tak mengumbar rasa tanpa logika. Mempertajam batin, menumpulkan ego hingga panca indera dan seluruh tubuh tidak lalai akan persekitaran. Setiap ketimpangan, penderitaan, ketidaksesuaian, kebaikan,cinta,kasih dan semua yang terserap indera diolah-pikirkan, dicerna hati dan dialihkan dalam derap ayat.

Membaca Idrus F Shahab, saya  menemukan penyair yang semestinya, yang menjadi wasilah pengingat bagi manusia untuk mengeratkan diri dengan Pemiliknya, menjabarkan kemanusiaan, mengakrabi alam, menggugah kasih dan menggugat fasih kezaliman dengan senjata kata, puisi dan cinta.

Cileungsi, 5 April 2025

Dibacakan dalam bedah buku “Sajak-Sajak Malam Gerimis” di Prpustakaan HB Jassin, TIM, Minggu sore, 13 April 2025

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan