Capres 2029: Prabowo Jangan Menyeret Semua Energi Bangsa ke Politik

4 days ago 17

Jakarta-Partai Gerindra telah mendeklarasikan Presiden Prabowo Subianto sebagai calon presiden untuk Pemilu 2029. Sebagai partai politik yang mengejar kekuasaan tidak ada yang salah. Namun, deklarasi kepagian ini akan menarik semua energi bangsa ke politik praktis. Selain itu, deklarasi ini akan menjadi preseden yang bakal diikuti semua kepala daerah yang baru dilantik.

“Ya kata Pak Prabowo, ikan busuk dari kepala. Jadi nanti jangan heran kalau semua kepala daerah tidak memiliki beban untuk mendeklarasikan diri. Ini pelajaran yang kurang mendidik, karena kita dihadapkan dari politik ke politik. Dari perebuatan kekuasaann ke kekuasaan. Ini kurang baik,” jelas Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina kepada wartawan di Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Menurut Engelina, benar adanya politik itu berkaitan dengan merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam norma-norma politik yang proper. Tetapi yang tidak boleh dilupakan puncak perjuangan politik itu bagaimana mendistribusikan kembali kekuasaan itu dalam bentuk kesejahteraan untuk rakyat. Biasanya, satu tahun pertama konsolidasi, tahun kedua dan ketiga, tahun keempat dan kelima sibuk urusan mempertahankan kekuasaan.

“Sekarang bagaiamana? Kalau dibilang keliru, bisa ya bisa tidak. Tapi tinta Pemilu 2024 belum benar-benar kering, rakyat sudah dihadapkan dengan wacana politik kekuasaan. Kerja saja belum kelihatan, tetapi sudah pasang kuda-kuda untuk pemilu 2029. Kerja saja yang bagus, penuhi dulu janji-janji politik, dengan sendirinya rakyat akan menghormati semua itu,” kata Engelina.

Engelina mengatakan, selain langkah Prabowo akan diikuti kepala daerah di Indonesia, juga akan men-downgrade sendiri apapun yang dilakukan Prabowo dan Gibran, termasuk kepala daerah sebagai langkah pencitraan menuju Pemilu 2029. “Kepercayaan rakyat itu sangat penting untuk mendukung setiap program dan kebijakan pemerintah. Tapi, kalau begini, rakyat dipaksa untuk curiga apakah setiap Langkah pemerintah itu iklas atau sekadar populisme politik belaka,” tutur Engelina.

Menurut Engelina, kalau Prabowo mau menjadi calon untuk 2029 merupakan hak politik yang sah. Tetapi, Prabowo bukan sekadar ketua umum partai dimana langkah politiknya hanya berpengaruh ke internal partainya, karena apapun yang dilakukan juga akan membawa pengaruh bagi seluruh rakyat.

“Coba kita bayangkan, apa jadinya, kalau kepala daerah yang baru dilantik juga mengikuti sikap Prabowo untuk mendeklarasikan diri sebagai calon dalam Pemilu 2029. Maka energi rakyat tanpa disadari akan ditarik ke masalah politik semata. Lantas, bagaimana dengan masalah kemiskinan, kesejahteraan dan sebagainya? Sebenarnya fokus dulu urus rakyat. Soal kekuasaan itu Belanda masih jauh Pak Presiden,” kata Engelina.

Engelina mengingatkan, agar Presiden Prabowo tidak melupakan sejarah, ketika politik menjadi panglima, maka persoalan ekonomi dan masalah lain tidak terurus dengan baik. Sesudah Presiden Sukarno mendeklarasikan presiden seumur hidup di tahun 1963, di tahun-tahun itu inflasi meroket hingga 600 persen. Rakyat sulit mendapatkan makanan, pemotongan uang untuk menurunkan inflasi yang justru membuat rakyat lebih sengsara dan sebagainya hingga puncaknya peristiwa G30S tahun 1965. Sebenarnya, pengalaman sejarah ini cukup menjadi referensi sehingga bisa lebih bijak dalam mengelola negara yang besar ini.

“Tanpa deklarasi Capres 2029 saja, masyarakat sudah larut dalam politik kekuasaan, sehingga ketika Prabowo mendeklarasikan diri, maka akan menjadi legitimasi bagi rakyat untuk menjadi bahan obrolan di warung kopi, sehingga persoalan mendasar untuk mengatasi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan menjadi nomor kesekian,” kata Engelina yang juga Ketua Umum dan Pendiri Partai Pembaruan Bangsa (PPB) ini.

Menurut Engelina, Prabowo tidak perlu khawatir tidak terpilih tahun 2029, karena rakyat akan mendukung ketika pemerintahan Prabowo menghadirkan perubahan untuk mengatasi masalah mendasar di Indonesia, seperti kemiskinan, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, penghormatan terhadap kemanusiaan dan keadilan. “Kalau janji politik tidak dipenuhi, maka rakyat akan menjatuhkan vonis pada 2029. Tentu beda cerita kalau menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan,” tegas Engelina.

Mengenai kiprah Prabowo selama beberapa bulan ini, Engelina mengatakan, secara umum menunjukkan banyak program yang baik bagi rakyat, tetapi implementasinya terkesan terburu-buru dan menggunakan “kacamata kuda”, yang tidak mau melihat ke sisi kiri, kanan, belakang, tetapi hanya apa yang ada di hadapannya.

“Saya mau ambil contoh soal efesiensi dan program makan bergizi gratis. Ini kebijakan yang baik, tapi implementasinya sangat tidak adil. Karena kebijakan diambil dengan kacamata kuda, semua anak mendapat makanan bergizi gratis dan semua efesiensi bagi semua elemen pemerintahan. Adil itu tidak berarti semua sama. Karena kalau ini yang terjadi maka akan melahirkan ketidakadilan baru,” tegasnya.

Pengelola negara, kata Engelina, harus senantiasa mengingat bahwa Indonesia ini sangat luas dengan beragam budaya dan suku bangsa, mulai dari ras Melanesia, Polinesia dan Melayu yang mendiami pulau-pulau yang tersebar di Samudera Pasifik hingga Samudera Hindia.

Dalam kebijakan efesiensi anggaran, misalnya, pemerintah memperlakukan semua daerah seolah berada dalam kondisi yang sama. Padahal, daerah-daerah di kawasan timur, sudah lama diperlakukan tidak adil. Sebab, tidak tranfer daerah tidak dipangkas saja, sudah berada dalam kesulitan, apalagi dengan kebijakan ini. Engelina menambagkan, kawan-kawan dari kawasan timur itu berteriak dalam diam soal efesiensi ini, karena beberapa puluhan miliar yang dipangkas itu sangat berpangruh bagi daerah di kawasan timur.

“Jangan kelola keuangan negara seperti perusahaan, karena APBN, APBD merupakan stimulan ekonomi yang sangat menentukan roda ekonomi rakyat. Uang itu bukan dibuang ke laut, tetapi dibuang ke rakyat untuk menggerakkan ekonomi. Ini yang harus ditimbang baik dan cermat sebelum tergesa-gesa dan emosional mengambil kebijakan. Dampak ikutan dari efesiensi itu menyentuh banyak aspek yang berkaitan langsung dengan rakyat,” tutur Engelina yang juga mantan Pimpinan Banggar DPR RI ini.

Begitu juga dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG), kata Engelina, belum tentu benar-benar sesuai sasaran, karena ada banyak anak-anak yang datang dari keluarga mampu yang sebenarnya tidak membutuhkan MBG, karena keluarga mampu untuk itu. Jadi, sebenarnya program MBG ini hanya diperlukan anak-anak yang memang layak untuk mendapat pertolongan perbaikan gizi untuk generasi masa depan. “Kebijakan kacamata kuda ini menyimpan potensi meleset dan salah sasaran, karena ada anak-anak yang sejatinya tidak butuh tapi tetap mendapat program MBG. “Program MBG baik, tapi bagaimana sasarannya? Karena jutaan anak Indonesia tidak semuanya membutuhkan MBG dari negara. Pada masa Soeharto ada program makanan tambahan bagi anak sekolah, semestinya program ini yang disempurnakan lebih baik,” tegasnya.

Untuk itu, kata Engelina, sebaiknya Presiden Prabowo menyisir kembali program dan kebijakan yang ada, sehingga benar-benar mencapai sasaran yang semestinya. Sebab, program dan kebijakan sapurata akan menimbulkan ketidakadilan baru dan masalah baru. “Program yang baik, butuh implementasi yang terukur dan sesuai dengan sasaran,” tegas Puteri Brigjen JM Pattiasina ini.(den)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan