Oleh: Fachru Nofrian
Makan bergizi gratis yang telah diterapkan seakan menggugurkan adagium bahwa tidak ada makan siang gratis (there is no free lunch) dan membuat kita memiliki pilihan antara memakan atau tidak memakannya. Intensi dan upaya pemerintah memperbaiki perekonomian dan mengentaskan kemiskinan sekaligus menyiapkan generasi penerus seakan mengantisipasi bonus demografi dan sangat perlu diapresiasi setinggi langit. Kebijakan mengejutkan ini telah lama dinanti agar Indonesia seperti negara maju atau bahkan India, sayangnya selama ini argumen tidak ada anggaran selalu menjadi alasan untuk menunda kebijakan bagus. Padahal, ada banyak manfaat dari program tersebut baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, terutama bagi negara besar seperti Indonesia yang memiliki populasi dan sumber daya alam.
Seiring dengan kebijakan itu, data menunjukkan angka kemiskinan dari sekitar 30 juta orang (2012) menjadi 24.06 juta orang (2024). Berita baik ini diperkuat oleh persentase kemiskinan dari 12.49 persen turun menjadi 8.57 persen. BPS juga memaparkan kemiskinan yang menurun.
Kemiskinan dan Pekerja Berusaha Sendiri
Namun demikian, data memerlihatkan bahwa jumlah pekerja berusaha sendiri meningkat dari 19.5 juta orang (2000) menjadi 31.5 juta orang (2024) dengan jumlah usia produktif relatif besar. Jumlah orang berusaha sendiri disertai asisten tanpa digaji juga meningkat dari sekitar 18 juta orang menjadi 20 juta orang. Jumlah pekerja keluarga yang tidak dibayar juga meningkat dari 17.9 juta orang menjadi 19.3 juta orang, semua pada periode yang sama.
Data ini seakan menjawab pertanyaan apakah benar jumlah penduduk miskin menciut? Data ini juga menjadi latar belakang penerapan kebijakan makan bergizi gratis yang diharapkan mengurangi kemiskinan dan membantu para pekerja berusahan sendiri tersebut. Indikator ini memerlihatkan cerita tentang kemiskinan di Indonesia yang tidak lenyap tetapi mengalami mutasi.
Perbandingan dengan negara lain misalnya India, data memerllihatkan pekerja berusaha sendiri mengalami penurunan dari 84.7 persen (2000) menjadi 76 persen (2024). Di Jepang juga mengalami penciutan dari 11 persen menjadi 7 persen pada periode yang sama. Di Indonesia, pekerja berusaha sendiri justru naik dari 19 tahun 2001 menjadi 23 persen tahun 2024. Tentu ini bukan kabar menggembirakan.
ILOSTAT mendefinisikan pekerja berusaha sendiri sebagai pekerja yang memeroleh pendapatan dan risiko dari barang atau jasa yang dibuatnya. Definisi lain menjelaskan sebagai pekerja menerima penghasilan langsung bukan dari orang lain. Definisi ini berbeda dengan pemilik bisnis yang memiliki bisnis tetapi operasional. Jumlah penduduk yang besar tetapi sebagian besar berusaha sendiri menjadi tantangan yang nyata ibarat makan bergizi gratis tetapi tidak dimakan dan cenderung mengerjakan apa saja yang berlawanan dengan kesempatan kerja penuh dengan tingkat inflasi rendah.
Pekerja Berusaha Sendiri, Struktur Pengangguran dan Kemiskinan
Lantas siapakah pekerja berusaha sendiri tersebut? Pengangguran terbagi menjadi mereka yang tidak pernah sekolah dasar, tidak lulus sekolah dasar, lulus sekolah tingkat pertama, lulus sekolah tingkat atas umum, lulus sekolah tingkat atas vokasi, akademi dan universitas. Data memerlihatkan bahwa pengangguran dengan tingkat pendidikan universitas cenderung naik dalam jangka panjang sebesar 871.9 ribu orang (02/2024), sebaliknya pengangguran dengan tingkat pendidikan akademi justru menurun menjadi 170 ribu orang periode yang sama.
Kecenderungan meningkat juga terlihat pada kategori vokasi, begitu juga sekolah menengah atas umum, kecuali setelah pandemi yang mengalami sedikit penurunan. Pengangguran dengan lulusan SD dan SMP justru mengalami penurunan. Dengan demikian, besar kemungkinan pekerja yang berusaha sendiri terkait dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi.
Simplifikasi kemiskinan dengan satuan eksak menjadi kurang relevan dan dapat membawa kebijakan yang keliru. Misalnya dengan menganggap kemiskinan atau kemiskinan ekstrem sudah berkurang padahal data lain meningkat sehingga menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi bukan penurunan melainkan proses mutasi sosial layaknya kapitalisme.
Dengan demikian, kemiskinan tidak menjadi lagi persoalan ada atau tidak ada dan karena itu kebijakan konvensional tidak dapat membacanya. Misalnya saja hampir semua orang sekarang ini memiliki hand phone padahal tidak punya uang. Data juga menjelaskan tingkat kecepatan uang masuk lebih lambat dibandingkan kecepatan uang keluar seolah menutupi standar hidup yang rendah, tekanan ekonomi dan kehidupan penuh risiko yang masyarakat hadapi hampir di semua area.
Pekerja Berusaha Sendiri dan Inflasi
Jumlah pekerja berusaha sendiri yang relatif meningkat mungkin merupakan salah satu penjelasan yang menjelaskan terjadinya deflasi di Indonesia yang sebetulnya lebih “buruk” dibandingkan inflasi. Naik menjadi sebanyak 77.9 ribu orang, pemutusan hubungan kerja tahun 2024 teridentifikasi. Jumlah kasus PHK juga meningkat menjadi 2345 kasus pada periode yang sama semakin memperkuat sektor informal termasuk yang berusaha sendiri, menjelaskan adanya deflasi. Data inflasi rendah kita juga perlu elaborasi lebih jauh. Statistik menunjukkan inflasi makanan yang lebih tinggi dan fluktuatif dibandingkan inflasi inti. Harga makanan yang meningkat secara fluktuatif jelas dapat langsung memengaruhi pendapatan.
Sepanjang 2024, inflasi makanan bergerak lebih cepat dibandingkan inflasi inti, dari 5.8 persen pada bulan januri 2024 naik menjadi 7.43 persen pada Maret 2024, sebelum melambat menjadi 6.2 persen hingga 2.35 persen pada bulan Oktober 2024, sebelum Program Makan Bergizi Gratis diterapkan di beberapa daerah. Setelah itu, inflasi makanan lebih rendah dibandingkan inflasi inti di bawah 2 persen. MBG memang dapat meredam inflasi makanan dan menambah pendapatan.
Sebaliknya, inflasi inti naik dari 1.68 persen pada Januari 2024, menjadi 1.77 persen pada Maret 2024, hingga 1.92 persen pada Mei 2024, lalu melambat menjadi 1.89 persen bulan Juni 2024 dan naik kembali hingga 2.21 persen pada Oktober 2024 dan terus naik hingga 2.26 pada Desember 2024. Pelambatan inflasi makanan pada periode ini telah menambah pendapatan yang menyebabkan inflasi inti meningkat. Pada momen ini, seharusnya pemerintah dapat mengendalikan inflasi inti tetap rendah dengan berbagai instrumen yang tentunya selain Pajak Pertambahan Nilai yang justru dapat menggerus ekonomi domestik.
Kebijakan Yang Efektif
Adanya pekerja berusaha sendiri memerlihatkan kebersamaan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan yang menjadi tantangan ekonomi yang sebenarnya. Jumlah yang berpendidikan tinggi dalam struktur tersebut ibarat “makan bergizi gratis yang tidak dimakan”. Mirip dengan India dan Cina, kita dapat belajar bagaimana mengelola sektor informal itu memberikan kontribusi terhadap inovasi. Rasanya sekarang momen yang tepat untuk membereskan persoalan sesungguhnya dibanding selalu mengejar tambahan penerimaan dari pajak dalam rangka surplus, defisit atau efisiensi. Semua itu merupakan kebijakan yang baik jika dipergunakan untuk menangani persoalan yang sesungguhnya.
Penulis, Fachru Nofrian, Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Veteran Negeri Jakarta.