SHNet, Jakarta- Kalau seorang dosen atau ietelektual menulis buku ilmiah di bidangnya, sudah biasa, dan mungkin semestinya para penjaga dan penyebar ilmu pengetahuan itu menuliskan apa yang menjadi keahliannya demi untuk meningkatkan kredibiitas kepakarannya maupun untuk kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Tapi jarang sekali para ilmuan mengabadikan aspek lain dalam perjalanan keilmuannya, apakah terkiat lingkungan sosial, politik, sejarah, maupun masyarakat yang ditemui sehari-hari di lingkungan kampus, lingkungan masyarakat, atau negara tempat yang bersangkutan bertugas.
Priyambudi Sulistiyanto, boleh disebut kekecualian. Dia merupakan sedikit dari ilmuan Indonesia yang sebelumnya pernah mengabdikan diri sebagai dosen di College of Humanities, Art and Social Sciences dan Direktur Akademis, Jembatan Initiative, Flinders University, Adelaide, Australia. Kini ia menjadi Southeast Asia Advisor untuk Flinders University. Maka, kelahiran buku berjudul “Finding Kapiten Boodieman” (Diomedia, Agustus 2024) merupakan renungan dan catatan perjalanan intelektualnya di Indonesia dan Australia selama sekitar empat tahun sejak 2020 hingga 2024.
Buku yang diterbitkan dalam bentuk novel catatan perjalanan (travel story), agar mudah dibawa dan dibaca ini dibahas dalam pertemuan terbatas di kediaman penulis Magdalena Sitorus di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Sealatan, Minggu petang (01/06/2025). Sejumlah penulis dan sahabat beliau seperti Romo Muji Sutrisno, Debra Yatim dan lainnya, ikut hadir. Priyambudi pun merasa sangat terhormat bisa menceritakan kisah dan latar belakang penulisannya yang membuktikan bahwa peran masyarakat Sulawesi di masa lampau sangat besar dan membuktikan sudah ada hubungan perdagangan dengan warga asli Australia, suku Aborigin, jauh sebelum bangsa Inggris ‘menemukan’ benua ini.
Buku setebal 402 halaman dan terbagi menjadi 8 Bab ini kata penulisnya, terinspirasi catatan perjalanan seorang penjelajah dunia yang sangat terkenal bernama Ibnu Baitutath pada awal abad ke-14. Ketika itu dia meninggalkan desa Tangier di Maroko untuk menuju kota Makkah dan Madinah di Saudi Arabia, lalu menuju Irak, Iran dan melanjutkan perjalanan ke Asia Selatan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan kemudian ke Sumatera (Samudera Pasai) dan ke Asia Timur yakni Tiongkok. Setelah lebih dari tiga puluh tahun menjelajah dunia dunia, akhirnya ia kembali ke Maroko dan menceritakan semua perjalananya dalam buku berjudul “Rihlah”
“Saya terkesan dengan semangatnya untuk memahami dan belajar banyak dari komunitas , peradaban, dan menulis manusia-manusia ang dijumpainya di pelbagai tempat. Saya mendapatkan ilham dan wisdom setelah membaca buku berjudul “ The Travels of Ibn Baitutah” yang diisiasi oleh Tim Mackintosh-Smith, 2003” ungkap Priyambudi yang di pengantar bukunya juga dituliskannya.
Inspirasi lain kata Priyambudi, catatan perjalanan seorang biksu Buddha Tibet yang terkenal yakni Athisa Dipamkarashrijnana, yang pada abad ke-12 berlayar dengan perahu dagang bersama 125 muridnya dari Bengali menuju Sumatera yang dulu dikenal sebagai Swarnadvipa atau pulau -pulau emas. Tujuannya ingin belajar dengan guru spiritual Buddha yang termasyhur ketika itu yakni Dharmakirti. Setelah 12 tahun tinggal di sana (yang, konon, lokasi sekarang bernama Muara Jambi, di pinggiran Sungai Batanghari), akhirnya Athisa kembali ke Bihar, India Utara dan seterusnya membawa semua pengetahuan dan praksis spritual dari Dharmakirti. Kisah perjalanan spitual ini ditulisakan dalam sebuah buku yang sangat terkenal dan enak serta mudah dibaca, berjudul “Athisa’s Lamps for the Path to Enlightenment”, Ruth Sonam (Boulder, Snow Lion, 1997.
“Dari kedua buku tersebut, saya banyak belajar bahwa catatan perjalanan adalah bagian dari perjalanan hidup manusia dan bisa dibagi-bagikan kepada siapa saja yang ingin membacanya. Tidak semua orang bisa melakukannya dalam kurun wkatu lama, seperti di masa lalu, karena perbedaan peradaban dan teknologi, moda transportasi dan media komunikasi dibandingkan masa kini,” kata Priyambudi.

Buka Tabir Misteri
Di rumah sahabatnya, Magdalena Sirous, Minggu petang itu, Priyambudi menceritakan perjalanan keliling Austrlaia dna kemudian keliling Indonesia, suatu ‘kemewahan’ karena waktu yang sangatt luang dan kesempatan yang langka mengingat sudah purna tugas, di samping ada semacam dana pensiun yang dapat dimanfaatkan. Dimulai dengan menghadiri Garma Festival di Arnhem Land. Garma Festival adalah festival masyarakat indigenous paling top di Australia Utara, yang dianggap penting karena ada jejak-jejak hubungan historis antara Indonesia dan Australia. Penulis adalah satu-satunya orang Indonesia di Garma Festival 2022, setelah, sebelumnya, delegasi dari Sulawesi Selatan terakhir kali hadir pada tahun 2005.
Priyambudi tertarik dengan hubungan masa lalu antara pelaut Makassar dan Bugis dengan penduduk asli Australia (Aborigin) yang mencari teripang sejak abad ke-16. Pelaut Makassar mengekspor teripang ke Guangzhou (Tiongkok) dengan perahu-perahu jung. Matthew Flinders (penjelajah dari Inggris) pernah mencatat perjumpaan dengan rombongan perahu padewakang di pesisir utara Australia pada tahun 1802 yang sedang mencari teripang. Cover buku menampilkan arsip dari Inggris berisi daftar nahkoda dari Makassar yang mendarat di Raffles Bay, Australia Utara pada tahun 1829, termasuk ada di daftar adalah nama salah satu nahkodanya yaitu Kapiten Boodieman.
“Inisiatif pelayaran tersebut sebagai hubungan antar masyarakat (people to people relationship) antara Nusantara dan orang Aborigin. Ada perdebatan di Australia mengenai penulisan sejarah yang lebih inklusif terhadap peran orang Aborigin dan hubungan mereka dengan orang Makassar sebelum kedatangan Kapten Cook,”katanya
Pada bagian kisah bukunya, Priyambudi juga mengisahkan di Sulawesi Selatan, Australia Utara dikenal sebagai Marege, tetapi sering digunakan untuk menakut-nakuti anak-anak dengan konotasi negatif terhadap orang berkulit hitam. Oleh masyarakat Bugis digunakan untuk menakut-nakuti anak-anak yang nakal. Sementara di Inggris ada istilah ‘Bogeyman’ dan di Belanda menyebut istilah rasisme dari Inggris, ‘Goli Works’, sebagai kata hinaan atau rasis.
Kisah dalam buku ini, kata penulisnya Priyambudi, merupakan salah satu cara untuk membuka tabir atau misteri sejarah panang dan jejak-jejak historis dan kontemporer mengenai hubungan antara Indonesia dan Australia, termasuk sosok nakhoda bernama Boodieman atau Kapiten Boodieman dan jalur perdagangan teripang menarik untuk ditelusuri lebih jauh untuk membuka jalan menemukan nakhoda-nakhoda dan awak perahu padewakang yang lain dari pesisir Makassar dan Sulawesi Selatan, ke jaringan pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur hingga ke Australia Utara. (sur)