Oleh: Ismail, S.Pd., M.Pd. (Dosen FKIP Universitas Halu Oleo)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- “Perasaan kagum yang dapat diberikan sains kepada kita adalah salah satu pengalaman tertinggi yang mampu dimiliki oleh jiwa manusia.” Kata-kata tersebut diucapkan oleh Richard Dawkins, seorang saintis, ahli biologi sekaligus profesor di Oxford University, Inggris.
Demikinlah memang, perkembangan sains hingga hari ini begitu pesat dan kemajuannya mustahil dicegah. Kita tentu masih ingat dengan vaksin corona yang sudah disuntikkan ke tubuh kita dua atau tiga kali. Atau antibiotik yang kita minum tatkala terinfeksi bakteri. Semua itu adalah produk sains yang terus berkembang dari masa ke masa. Dari era Aristoteles, Galileo, Newton, Fleming, Darwin, Einstein, Marie Curie sampai ke Gertrude Elion, Habibie, Jim Al-Khalili, Carl Sagan, Dawkins, dan lain sebagainya. Tak terbilang lagi saintis yang telah berkontribusi terhadap kehidupan umat manusia.
Bukan rahasia lagi bahwa sains memang begitu istimewa. Buktinya pemerintah memberi atensi khusus dengan dibentuknya Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Namun, pertanyaannya mengapa sains yang begitu memukau dapat memunculkan kesalahpahaman atau miskonsepsi khususnya dari orang non sains?
Sebelumnya, mari kita maknai sains terlebih dahulu. Secara sederhana, sains adalah upaya sadar manusia untuk memahami kosmos atau alam semesta melalui sebuah metode khusus. Namanya metode ilmiah. Sains lahir dari rahim filsafat berkat persistensi para filsuf yang terus berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai alam semesta. Di panggung planet kita hari ini, sains terus-menerus mempertontonkan sihir puitisnya. Sihir realitas yang begitu menakjubkan dan mengilhami.Di luar jangkauan imajinasi. Beyond imagination.
Berpikir Sains
Dalam sains ada namanya teori ilmiah, yaitu ikhtisar fakta tentang penjelasan terbaik atas sebuah fenomena. Sains tidak dibangun menurut asumsi, tetapi melalui bukti empiris yang kokoh. Sains tidak memiliki kebenaran mutlak karena sifatnya tentatif dan falsifikatif; dapat dibantah, digantikan, ataupun disempurnakan oleh penemuan mutakhir. Ambil contoh: teori heliosentris yang menggantikan geosentris, teori oksidasi Lavoisier membantah teori flogiston Becher, teori relativitas umum Einstein menyempurnakan konsepsi teori gravitasi universal Newton, dan lain sebagainya.
Ketika seorang saintis memiliki persoalan yang belum mampu ia selesaikan, saintis lain pun berupaya merumuskan formulasi solutif. Misalnya ketika ahli evolusi (evolusionis) Charles Darwin belum dapat menerangkan prinsip dasar pewarisan sifat antar generasi, muncullah penjelasan Gregor Mendel (neo-darwinisme) melalui eksperimen kacang ercisnya. Upaya Mendel tersebut pun melahirkan teori yang kita kenal hari ini sebagai Genetika. Pungkasnya, sains selalu open minded, terbuka atas evidensi baru yang disodorkan ilmuan kepadanya.
Munculnya Miskonsepsi
Salah satu teori ilmiah sains yang paling sering disalahpahami adalah evolusi. Misalnya, apakah anda pernah melihat gambar kera dan manusia purba yang berdiri di belakang manusia modern? Nah dari gambar tersebut tidak sedikit orang menafsirkannya sebagai simbolisme evolusi manusia. Persepsi yang menyeruak: kera berubah menjadi manusia. Padahal gambar tersebut tidak ada hubungannya dengan evolusi. Justru gambar tersebut merupakan sebuah pop culture yang membandingkan kerangka kera dan manusia. Judulnya “The March of Progress” karya Rudolph Zallinger yang dimuat di buku Early Man tahun 1965. Tetapi oleh karena dipandang secara linear, muncullah impresi bahwa hanya ada satu spesies manusia yang menghuni bumi pada setiap periode waktu. Ilustrasi ikonis itulah yang membuat banyak orang salah memahami evolusi.
Menurut data ilmiah, sekitar 10 ribu tahun lalu hingga ke belakang, planet kita adalah rumah bagi beberapa spesies manusia sekaligus. Bahkan seratusan ribu tahun lalu, sudah ada beberapa spesies manusia yang hidup bersama, diantaranya Homo erectus, Homo rudolfensis, Homo denisova, Homo ergaster, dan Homo neandertal (Harari, 2024: 8).
Pertanyaannya, apakah evolusi se “seksi” itu sehingga kerap “dilecehkan” oleh sebagian kalangan? Beberapa mengatakan dengan gamblang bahwa evolusi artinya manusia berasal dari kera. Tidak usah dipelajari. Evolusi hanya sekadar teori, kata yang lainnya. Tentu saja argumentasi semacam itu muncul karena adanya miskonsepsi dan pemahaman yang tidak terverifikasi kebenarannya.
Fakta berikutnya bahwa evolusi adalah teori ilmiah yang benar-benar bekerja, dan punya bukti nyata untuk menunjukkan kebenarannya (Dawkins, 2024: 17); Fosil, kesamaan morfologi dan embriologi, struktur sisa (vestigial structures), biogeografi, hingga bukti molekuler (Mayr, 2020: 18-53). Bahkan ahli genetika kenamaan Theodosius Dobzhansky mengafirmasi, “Nothing in biology makes sense, except in the light of evolution.” Tiada yang masuk akal dalam biologi kecuali yang pasti, evolusi.
Agama dan Fondasi Kebenaran
Dalam perspektif sains, agama adalah sistem norma dan nilai integral manusia yang didasari atas kepercayaan terhadap tatanan adimanusiawi (superhuman laws). Hukum-hukum agama pada prinsipnya diperintahkan langsung oleh otoritas mutlak yang Mahakuasa. Paradoks di sisi lain, beberapa orang yang bergelar “agamawan” justru terjebak pada miskonsepsi. Tidak sedikit yang menghimbau pengikutnya untuk menolak tegas teori evolusi yang dianggap berbahaya bagi akidah.
Apakah begitu realitasnya? Tunggu dulu. Dengan memahami evolusi secara utuh dan benar menurut sains, justru akidah akan tetap baik-baik saja. Lalu di mana letak persoalannya? Jawabannya ada pada penafsiran dan pemahaman yang keliru tentang evolusi. Begini, orang-orang yang tidak memiliki pemahaman sains yang memadai, kerap memaknai teori evolusi secara parsial, lalu berupaya mengasosiasikannya dengan tafsir agama secara literal. Sejujurnya, buku sains semisal Evolusi karya Ernst Mayr atau masterpiece The Origin of Species-nya Charles Darwin, sudah lebih dari cukup untuk meluruskan miskonsepsi yang ada.
Sekali lagi, teori ilmiah sains, termasuk evolusi, adalah murni produk akal budi manusia menyangkut fenomena alam yang dapat diobservasi dan dieksperimentasi. Maka, boleh jadi teori tersebut dianggap benar di waktu pagi, tetapi di sore hari sudah ditinggalkan karena ada penemuan baru yang buktinya lebih akurat. Kata ulama tafsir kenamaan, M. Quraish Shihab, “Kalau mau menyanggah sains, bantahlah dengan jawaban sains pula.”
Karena itu, pemahaman yang benar haruslah dibangun di atas fondasi keilmuan yang benar. Rene Descartes menganalogikan, “Janganlah membangun rumah di atas pasir sebab jika landasanmu tersapu air, maka seluruh rumahmu akan ambruk.” Kalau kata Socrates, “Hanya dengan pemahaman yang benarlah yang akan menuntun kepada wawasan yang benar.” Douglas Adams dalam The Salmon of Doubt menguatkan, “Sampai kapanpun, saya akan selalu memilih ketakjuban yang lahir dari pemahaman daripada ketakjuban yang mengiringi ketidaktahuan.
Sains dan Agama: Komplementer
Scientific truth doesn’t exist, but we must still strive for answers. Ajaib dan serunya sains adalah senantiasa menyingkapkan hal-hal yang baru. Sains tidak pernah puas atas satu penemuan dan akan terus-menerus mengajukan pertanyaan. Sains terus berkembang, menemukan teori baru, bahkan membongkar kesalahannya sendiri. Urusannya dengan pembuktian tentang ranting-ranting kehidupan. Agama beda. Agama dengan spiritualitasnya berurusan dengan makna tertinggi kehidupan. Nilai-nilai agamalah yang memberi kita kekuatan, keyakinan spiritualitas, peta jalan, dan kebijaksanaan.
Sains dan agama pada prinsipnya saling melengkapi. Komplementer. Kata Einstein, “Agama tanpa ilmu adalah buta dan ilmu tanpa agama adalah lumpuh.” Alam semesta bukanlah misteri yang harus diserahkan pada dogma, melainkan teka-teki yang bisa dipahami lewat hukum Fisika. Meminjam kalimat Spinoza, “Tuhan mengontrol dunia ini melalui hukum alamnya (sains).”
Sebagai kesimpulan, sains memiliki otoritas untuk menjawab pertanyaan soal “Apa” dan “Bagaimana”, sedangkan agama berhak menjawab pertanyaan “Mengapa” sesuatu itu ada. Sesederhana itu. Pada akhirnya sains dan agama ibarat raga dan jiwa manusia, saling melengkapi dan saling bekerja sama dengan penuh keselarasan. Koridornya memang berbeda tetapi keduanya tidak pernah merasa ada yang lebih superior. Sehingga harmoni keduanya sangat dibutuhkan oleh umat manusia untuk menjalankan perannya sebagai khalifah di planet bumi. Wallahu A’lam Bisshawab.