SHNet, Jakarta-Suasana menggugah rasa mewarnai Diskusi Publik ’’Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus & Refleksi Sosial Melalui Film Mama Jo’’ di Auditorium Perpustakaan Panglima Itam NasDem Tower. Agenda diskusi reguler untuk masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang dilakukan oleh Manajemen Perpustakaan Panglima Itam Nasdem ini menghadirkan pembicara kunci tokoh nasional Prof. Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem.
’’Kehadiran saya bukan hanya sebagai bentuk komitmen politik, melainkan panggilan hati,’’ kata Prof. Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc dalam sambutannya, pada Jumat petang (18/07/2025).
Siti mengenang keterlibatannya sejak awal dalam advokasi kelompok disabilitas bersama tokoh-tokoh seperti Rerie (Lestari Moerdijat), Wakil Ketua MPR RI dari NasDem. Ia juga menyinggung pengaruh mendalam yang ia dapatkan dari film klasik tahun 1981 berjudul ’’Detik-Detik Cinta Menyentuh’’, yang menanamkan prinsip dalam dirinya: ’’Saya tidak boleh bodoh.’’
Acara ini sekaligus menayangkan film ’’Mama Jo’’ karya sutradara Ineu Rahmawati, yang mengangkat perjuangan seorang ibu dengan anak cerebral palsy dalam mengejar pendidikan dan mimpi hidup layak. Selain Sutradara Ineu Rahmawati, hadir pula sebagai pembicara Prof. Dr. Ir. H. Furtasan Ali Yusuf, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem dan Gufroni Sakaril, Ketua Dewan Pertimbangan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia. Diskusi ini dimoderatori oleh Kepala Perpustakaan Panglima Itam Shanti Ruwyastuti.
Dalam pidato reflektifnya, Siti menyoroti tiga aspek penting dari film Mama Jo:
Pertama, Keberterimaan Keluarga: Menyambut Takdir dengan Cinta. Film ini menunjukkan bahwa cinta seorang ibu adalah kekuatan fundamental dalam tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus. ’’Menjadi orang tua bukan sekadar peran biologis, tetapi tugas eksistensial: memelihara jiwa lain dengan seluruh kasih yang bisa diberikan,’’ ujar Siti. Anak istimewa adalah amanah yang hanya bisa dijaga dengan hati yang siap diuji oleh waktu dan keadaan.
Kedua, Inklusi Sosial dan Pendidikan Setara: Mengejar Impian Tanpa Batas. Jo, tokoh utama dalam film, bercita-cita menjadi polisi meski memiliki keterbatasan fisik. Hal ini menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyamakan perlakuan, tapi menciptakan ruang yang menumbuhkan keunikan setiap anak.
Mengutip John Dewey, Siti mengingatkan: ’’Education is not preparation for life; education is life itself.’’ Pendidikan sejati adalah yang menghormati keberagaman dan menjadikan empati sebagai jembatan.
Ketiga, Empati dan Menghargai Perbedaan: Membangun Keberterimaan Sosial. Film Mama Jo menjadi cermin masyarakat. Bahwa disabilitas bukanlah penghalang untuk bermakna. ’’Anak istimewa tak butuh dikasihani, tapi dimuliakan,’’ tegas Siti. Mengutip Martin Buber, ia mengajak semua untuk melihat anak disabilitas bukan sebagai “It”, melainkan “Thou” — subjek utuh yang harus dihormati dan diakui martabatnya.

Peran Afirmasi Bukan Sekadar Regulasi
Lalu, apa selanjutnya peran negara? Kita memahami sudah banyak langkah negara kita dalam hal ini. Namun, kita juga merasakan dibutuhkannya peran afirmasi bukan sekadar regulasi. Negara punya peran moral untuk menjamin keadilan sosial bagi warganya paling rentan. Sebagiamana juga ditegaskan dalam UUD tnetang hak-hak warga negara. Afirmasi bagi anak berkebutuhan khusus bukanlah soal iba, tapi keharusan etik.
Pemerintah harus hadir dalam bentuk kebijakan, di antaranya adalah pertama mendukung dan mendorong kampanye publik. Disabilitas bukanlah kelemahan, melainkan keberagaman kondisi manusia. Perlu kampanye edukasi sejak dini. Sekolah-sekolah melakukan perubahan persepsi.
Kedua, dukungan infrastruktur yang ramah disabilitas seperti lift, toilet, trotoar yang rata, penyediaan informasi dalam format yang mudah diakses seperti huruf Braile, audio, dan bahasa isyarat.
Ketiga, dorongan empati, pendidikan inklusif dan berkualitas untuk mobilitas sosial anak-anak dalam memperoleh kesempatan sama untuk belajar.
Keempat, peluang kerja dan kemandirian ekonomi, penyediaan pelatihan dan ruang berdedikasi dengan keterampilan yang dimiliki; kesempatan kerja setara (misalnya dengan kuota wajib perusahaan) yang semua itu dapat menjadi langkah penting untuk menuju kemandirian bagi disabilitas.
Dunia kerja harus terbuka bagi Anak Berkebutuhan Khusus, bukan sekadar menerima, tapi mengakui potensi mereka. ’’Kita paham bahwa berbagai hal telah dilakukan pemerintah, namun masih terus membutuhkan kebijakan afirmasinya untuk secara nyata ber-aktualisasi di lapangan,’’ kata Siti.
’’ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) bukan kelemahan, tapi keberagaman manusia, baik secara fisik, mental, emosional, maupun cara belajar,’’ kata Siti.
Siti menutup dengan pesan mendalam: ’’Keikhlasan adalah benih. Keberterimaan adalah tanah. Cinta adalah air. Bersama, mereka menumbuhkan kehidupan.’’
Diskusi ini bukan sekadar refleksi atas film, tetapi juga panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk membangun Indonesia yang inklusif, di mana setiap jiwa diberi ruang untuk tumbuh—dengan caranya sendiri. (sur)