SHNet, Jakarta-Pakar Hukum Persaingan Usaha Prof. Ningrum Natasya Sirait meminta pihak-pihak yang akhir-akhir ini masif menghembuskan isu percepatan pelabelan BPA galon guna ulang harus evidence based yang didukung penelitian yang kredibel dan bukan hanya asumsi atau spekulasi. Artinya, jangan sampai suara-suara itu dihembuskan hanya untuk tujuan persaingan usaha semata.
Dia menegaskan evidence based itu penting untuk membuat satu allegation ataupun satu persangkaan ataupun satu tuduhan. “Jangankan LSM, mahasiswa, rektor, pengemis, semuanya boleh ngelapori dan bersuara apa saja. Mau melaporkan keranjang sampah pun terserah karena hak itu dijamin. Masalahnya, kalau dia tidak dapat menghadirkan bukti atau tidak evidence based, apa perlu dilayani? Kan tidak, simple aja,” katanya saat dimintai tanggapannya terkait adanya pihak-pihak yang akhir-akhir ini masif menghembuskan percepatan pelabelan BPA galon guna ulang.
Dia mengibaratkan hal itu layaknya laporan seseorang ke Polisi. Menurutnya, Polisi pasti tidak akan menanggapi laporan tersebut jika tidak disertai dengan alat bukti. “Jadi, sama saja dengan orang-orang yang mendesak-desak pelabelan BPA galon guna ulang itu. Pertanyaannya, dia punya alat bukti tidak, atau ada unsur persaingan usaha di dalamnya? Kalau tidak ada bukti, saya kira BPOM tidak perlu menghiraukannya,” ujar Ningrum.
Ditegaskan, untuk melaporkan sebuah masalah itu ada peraturannya dalam Undang-Undang dan harus dibuktikan. “Kalau mau menyatakan galon guna ulang itu berbahaya bagi kesehatan, berarti dia kan harus ada uji lab dan bukti-bukti bahwa kemasan itu sudah pernah menimbulkan penyakit berbahaya di masyarakat. Apa dia sudah punya buktinya?” ucapnya.
Seperti diketahui, fakta menunjukkan sebanyak 94,6% UMKM produsen AMDK pengguna galon galon guna ulang. Adanya skenario framing jahat tentang bahaya BPA di galon guna ulang ini bisa saja membuat banyak para UMKM produsen AMDK ini menjadi bangkrut.
Ketua Asosiasi Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo) Erik Garnadi menilai isu-isu terkait bahaya galon guna ulang ini bisa mematikan ribuan usaha rakyat sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan pengangguran. “Kalau terus menerus diframing, banyak pengusaha-pengusaha depot yang gulung tikar . Kalau sampai punah, berapa ratus ribu (timbul) pengangguran lagi. Apalagi, UMKM merupakan tulang punggung perekonomian negara yang seharusnya mendapat dukungan pemerintah,” tukasnya.
Menurut dia, hal yang harus menjadi perhatian para LSM itu jika memang ingin fokus kepada kesehatan masyarakat seharusnya pengawasan terhadap depot-depot air minum. Karena menurutnya, banyak depot air minum itu yang tidak menerapkan standar higienitas yang ketat. “Itu kan sangat berbahaya buat masyarakat yang mengkonsumsinya,” ujarnya.
Dia melihat adanya ketidaktegasan pengawasan yang dilakukan terhadap depot-depot air minum itu. Di antaranya terkait sumber airnya dari mana, kualitasnya seperti apa, dan soal higienis dan sanitasi mesin yang digunakan. “Ini seharusnya yang menjadi perhatian para LSM. Apalagi para pengguna air isi ulang ini kebanyakan kaum menengah ke bawah. Jadi, sebagai LSM, ya perhatikan lah masyarakat bawah juga agar mengonsumsi air minum yang steril. Jadi jangan tebang pilih,” katanya.
Terkait dengan AMDK galon guna ulang, menurut Erik, itu tidak perlu dikritisi lagi sebetulnya. Hal itu menurutnya dikarenakan sudah jelas-jelas ada BPOM yang mengawasinya. “Apalagi membuat air minum dalam kemasan itu harus melalui beberapa tahap, uji laboratorium, harus melalui SNI juga. Nanti dari AMDK-nya itu ke BPOM, kita punya merek dagang ini, nomor sekian. Jadi, pengawasannya sangat ketat, jadi tidak mungkin berbahaya. Kalau berbahaya, pasti sudah ditarik dari peredaran lah,” tukasnya.
Willy Bintoro Chandra, Pembina Asosiasi Pengusaha Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) DPD Jawa Tengah mengatakan desakan sebuah LSM yang ingin agar pelabelan BPA terhadap kemasan galon guna ulang itu dipercepat itu tidak rasional sama sekali. “Sampai sekarang belum ada bukti-bukti ilmiah yang kuat yang menunjukkan bahwa paparan BPA dari galon guna ulang itu menyebabkan dampak kesehatan yang signifikan,” ujarnya.
Karenanya, dia melihat desakan sebuah LSM itu seperti buzzer. “Karena, saya melihat jarang sekali LSM yang fokus satu bidang yang itu-itu saja,” ucapnya.
Dia juga mempertanyakan sesuatu yang mendesak yang bagaimana yang dimaksud LSM tersebut. “Kalau disebut mendesak, mendesaknya di mana? Ya harusnya dijabarkan secara ilmiah dan bukti-buktinya di masyarakat itu ada atau tidak?” tandasnya.
Sebagai sebuah LSM, menurut Willy, seharusnya tidak hanya mengkritisi satu fokus tertentu saja melainkan semua. “Kalau mau mengkritisi untuk tujuan menyelamatkan masyarakat dari makanan dan minuman berbahaya kan banyak. Malah kasusnya sudah benar-benar terjadi di masyarakat. Kenapa tidak itu yang dikritisi tapi hal-hal yang sama sekali belum ada buktinya. Ini kan aneh kelihatannya,” katanya.
Sebelumnya, para praktisi kesehatan juga mengatakan belum pernah menemukan di masyarakat ada yang melaporkan terkena penyakit setelah mengkonsumsi air minum dalam kemasan galon guna ulang.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra mengatakan belum pernah menemukan fakta AMDK galon guna ulang ini berdampak bagi kesehatan masyarakat. “BPA ini, dari kasus konsumsi, kami belum melihat evidence base atau fenomena dan fakta yang cukup dan berdampak luas di masyarakat,” ungkapnya.
Dokter spesialis onkologi, Bajuadji juga menjelaskan belum ada satupun pasien yang ditanganinya mengeluhkan sakit karena meminum air kemasan galon guna ulang. “Jujur, saya sendiri belum pernah ada pasien datang karena riwayat penggunaan air galon isi ulang yang kemudian mengakibatkan terjadinya kelainan pada tubuhnya atau kelainan pada organ yang lain,” tegasnya.
Hal senada disampaikan dokter spesialis kandungan Dr. M. Alamsyah Aziz SpOG (K), MKes. Menurutnya, belum ada seorang ibu hamil yang janinnya terganggu kesehatannya hanya karena mengkonsumsi air galon guna ulang.
Dokter Spesialis Anak sekaligus Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr.dr. Rini Sekartini, Sp.A (K) juga mengatakan hingga saat ini belum ada bukti bahwa air galon guna ulang itu bisa menyebabkan penyakit pada anak. “Itulah sebabnya hingga saat ini pun belum ada kajian yang dilakukan terkait hal tersebut,” katanya. (cls)