SHNet, Jakarta-Surat Edaran (SE) Gubernur Bali I Wayan Koster Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang memuat larangan produksi dan penjualan semua air minum kemasan gelas dan botol plastik sekali pakai berukuran kurang dari satu liter dipastikan akan mengganggu perekonomian di Bali.
Founder & Chairman Affiliation Global Retail Association (AGRA) yang juga mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, mengungkapkan pelaku usaha khususnya sektor ritel itu sebagai penyokong kontribusi konsumsi rumah tangga, termasuk makanan dan minuman, yang memiliki kontribusi sebesar 51,8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baik di daerah maupun nasional. “Artinya, perlu langkah strategis atau adanya kearifan lokal ketika daerah akan memutuskan kebijakannya untuk melakukan pelarangan, agar tidak mengganggu perekonomian nasional maupun daerahnya, termasuk di sektor konsumsi rumah tangga yang kontribusinya sangat besar,” ujarnya.
Dia mencontohkan kebijakan Pemprov Bali yang melarang masyarakat untuk mengkonsumsi semua jenis air minum kemasan gelas dan botol sekali pakai. Menurutnya, pelarangan seperti itu sifatnya akan langsung menggerus sektor pelaku usaha atau bidang ekonomi dan perdagangan, tidak hanya sektor hilirnya atau retail tapi juga sektor hulu yang memproduksi barang tersebut. “Kita selalu sampaikan bahwa pemerintah pusat maupun daerah perlu memikirkan, agar setiap kebijakan pelarangan itu harus dikomunikasikan terlebih dulu dengan baik kepada seluruh stakeholder, termasuk pelaku usaha sebelum mengeluarkannya,” katanya.
Karena, menurutnya, jika belum dikomunikasikan atau diminta pandangan dan juga dicarikan solusi bersama, maka kebijakan itu tidak akan efektif. Dalam hal SE Pemprov Bali ini, lanjutnya, jika keputusan itu tetap dilaksanakan maka itu akan berdampak langsung kepada sektor perdagangan di Bali. “Karena, pelarangan itu kan berarti menggantikan yang saat ini sudah berjalan menjadi tidak berjalan. Artinya, pelarangan itu pasti akan mengurangi produksi air minum kemasan yang akan berdampak kepada pengurangan penjualan,” tuturnya.
Karenanya, Roy pun meminta agar Pemprov Bali tidak serta merta memberlakukan kebijakan pelarangan terhadap penggunaan produk air kemasan plastik sekali pakai itu, tapi perlu membicarakannya terlebih dulu dengan para pelaku usaha. “Artinya, sikap-sikap yang namanya kearifan lokal atau juga sikap yang pro kepada ekonomi atau pengusaha itu harus juga dikedepankan. Jadi, tidak boleh hanya pro terhadap isu lingkungan saja. Apalagi pro karena misalnya adanya praduga tekanan-tekanan pemerhati lingkungan tertentu terhadap pemerintah daerah dengan menjanjikan sebuah insentif jika melakukannya,” ucapnya.
Dia juga menyayangkan adanya sikap-sikap arogansi yang ditunjukkan Gubernur Koster dalam Surat Edarannya itu, seperti adanya sanksi-sanksi yang dikenakan kepada pelaku usaha yang tidak mengikuti kebijakannya itu. “Itu kan sikap-sikap arogansi yang sudah nggak layak lagi di masa-masa ekonomi kita yang sedang penuh dengan tantangan sekarang ini,” ucapnya.
Jika itu diberlakukan, kata Roy, para pelaku usaha tidak dapat lagi meningkatkan produktivitasnya yang otomatis akan juga mengurangi kontribusi mereka kepada pajak daerah di Bali serta PPN ke pemerintah pusat. “Hal itu terjadi karena perusahaan ritel akan menjadi tidak produktif lagi dan penjualannya menurun. Kondisi ini juga akan mengakibatkan ada pengurangan tenaga kerja atau PHK sehingga bertambahnya angka pengangguran masyarakat di Bali,” tukasnya.
Untuk itu, lanjutnya, Pemprov Bali perlu memikirkan dampak dari kebijakannya itu secara holistik. Menurutnya, jangan sampai kebijakannya itu akhirnya juga menambah beban bagi masyarakat Bali seperti terjadinya PHK. “Yang harus dilakukan Pemprov Bali itu kan seharusnya hadir untuk melindungi para pelaku usaha di daerahnya, bukan malam menghambatnya. Hal itu karena pelaku usaha itu telah berkontribusi terhadap pajak di daerahnya serta merekrut banyak tenaga kerja,” tukasnya.
Selain itu, dia mengatakan isu pelarangan terhadap semua air minum kemasan plastik sekali pakai ini juga bisa berdampak kepada para turis yang mau berwisata ke Bali, baik yang domestik maupun mancanegara. Karena, menurutnya, kebijakan pelarangan itu pasti akan berdampak kepada ketidaklengkapan barang-barang yang akan dikonsumsi oleh para turis. “Minuman-minuman yang biasa mereka konsumsi tiba-tiba nggak ada di pedagang dan warung-warung ritel. Berita ini kan bisa mereka sebarkan ke teman-teman mereka bahwa ternyata di Bali itu tidak lengkap untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk air minum kemasan. Itu kan bisa menimbulkan sesuatu yang tidak pro terhadap wisata itu sendiri,” ujarnya.
Karenanya, dia menegaskan lagi agar Pemprov Bali melihat lagi secara holistik dan inklusif dampak-dampak kebijakan pelarangannya itu terhadap perekonomian daerahnya serta masyarakat Bali sendiri dan juga para turis. “Harus dipikirkan lagi bahwa barang-barang konsumsi rumah tangga itu sangat berkontribusi bagi ekonomi di Bali. Bahkan juga berdampak bagi kebutuhan sehari-hari penduduk masyarakat Bali maupun juga pendatang atau turis,” katanya.
Karenanya, dia melihat SE Gubernur Koster itu masih perlu literasi yang cukup serta langkah-langkah mitigasi sebelum diterapkan lebih lanjut. “Karena, memang seringkali yang menjadi kelemahan kalau kaitannya dengan peraturan pelarangan itu adalah persoalan literasinya yang tidak cukup, komunikasi kepada pelaku usaha dan juga masyarakat yang tidak cukup transparan, serta tidak ada mitigasinya,” ungkapnya. (cls)