Pemerhati Lingkungan BRUIN Sarankan Gubernur Koster Jangan Hanya Sasar Produk AMDK Saja, Tapi Juga Produk Kemasan Plastik Lainnya

1 day ago 7

SHNet, Bali-Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) berpendapat dalam membuat sebuah kebijakan seperti halnya Surat Edaran (SE) terkait pelarangan terhadap produk air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah ukuran satu liter, sebaiknya Gubernur Bali harus membaca banyak literasi dari berbagai lembaga riset, bukan hanya dari satu lembaga saja. Selain itu, kebijakan yang dibuat itu juga sebaiknya harus merujuk kepada Undang-Undang atau Peraturan Menteri yang di atasnya.   

Hal itu disampaikan Koordinator Sensus Sampah Plastik BRUIN, Muhammad Kholid Basyaiban. Dia mengatakan berbicara terkait regulasi itu, pemerintah daerah termasuk Pemprov Bali harus merujuk kepada peraturan yang di atasnya seperti Undang-Undang dan Peraturan Menteri. Yaitu, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mengamanatkan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan limbah. Selain itu juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen yang menyatakan produsen pada sektor manufaktur, ritel, serta jasa makanan dan minuman wajib mengurangi sampah yang berasal dari produk, wadah, dan/atau kemasan. Pengurangan sampah harus dilakukan melalui pendekatan 3R, yakni reduce (mengurangi), reuse (penggunaan kembali), dan recycle (daur ulang). “Jadi, pastinya rujukan dari Surat Edaran, Perpu, Perda, Pergub, itu semuanya rujukannya adalah Undang-Undang Pengelolaan Sampah dan Permen LHK itu, dan disana tidak ada unsur diskriminatif hanya menyasar sampah plastik tertentu saja, tapi untuk semua jenis sampah plastik. Yang lebih penting adalah kebijakan tegas yang memaksa produsen bertanggung jawab atas dampak yang mereka timbulkan,” katanya.  

Selain itu, Kholid menyampaikan poin-poin yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah daerah itu harus dirumuskan berdasarkan banyak literasi atau riset terkait temuan-temuan, bukan hanya dari satu lembaga riset saja. “Artinya, dalam hal melarang produk AMDK itu, Gubernur Bali seharusnya menghimpun dulu data-datanya dari beberapa NGO terutama yang kompeten di bidang audit terkait karakteristik sampah itu,” ujarnya.

Artinya, lanjut dia, dalam membuat sebuah regulasi itu biasanya ada prosesnya dan harus banyak melakukan riset. “Jadi, tidak boleh hanya mengutip dari satu NGO saja. Karena, hasil riset sampah yang dilakukan para NGO di Bali itu berbeda-beda tergantung scope atau wilayah risetnya,” tuturnya.

Jadi, menurutnya, jika hanya merujuk hasil riset dari satu NGO saja, dikhawatirkan kebijakan itu bisa mengarah kepada diskriminatif. Dia mencontohkan kebijakan Gerakan Bali Bersih Sampah yang hanya menyasar produk AMDK di bawah 1 liter saja dan tidak semua jenis kemasan plastik. “Padahal, kalau kita ngomongi prioritas sampah plastik di Bali itu, produk AMDK ini malah hanya menjadi nomor tiga saja penyebab sampah di sana. Apalagi, sampah-sampah plastik AMDK ini kan bisa didaur ulang,” tukasnya.

Malah logikanya itu, kata Kholid, bicara Bali metropolis, di situ pasti banyak pihak ketiga seperti pengepul dan pemulung yang mengambil plastik AMDK itu ketimbang kemasan plastik lainnya karena harganya yang lebih tinggi. “Jadi, sangat aneh kalau ada temuan riset yang merekomendasikan untuk melarang produk-produk AMDK ini karena sampahnya tinggi. Kalau seperti itu, kesannya kan para pemulung di Bali itu lebih senang mengambil sampah-sampah plastik yang di luar AMDK seperti sachet dan unbranded. Itu kan tidak masuk logika sama sekali,” tandasnya.

Apalagi, lanjutnya, plastik-plastik AMDK di Bali itu bukan penyampah paling banyak di Bali. Malah, menurutnya, sampah-sampah plastik yang unbranded seperti kresek, styrofoam, tali plastik, kain, cup atau gelas plastik tanpa merk, dan sachet sebagai penyampah plastik terbesar di Bali itu belum tersentuh sama sekali. “Padahal, sampah-sampah itu temuannya tinggi di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Bali,” ucapnya.

Dia mengutarakan berdasarkan sensus sampah plastik yang dilakukan BRUIN bersama Green Generation Bali, sebagai bagian dari riset yang dilakukan selama tiga tahun (2022–2024) di 30 provinsi di Indonesia, hasil auditnya menunjukkan sampah unbranded menempati posisi tertinggi atau sebesar 42%, diikuti sachet 44% dan AMDK yang hanya 15%. “Sampah AMDK itu hanya urutan ketiga saja. Jadi, kalau mau melakukan pelarangan itu, ya seharusnya sampah-sampah plastik yang unbranded dan sachetlah. Apalagi jenis sampah seperti ini tidak diminati pemulung karena nilai ekonomisnya yang rendah,” ungkapnya.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan