SHNet, Jakarta-Pengusaha logistik yang tergabung dalam National Logistics Community (NLC) meminta kesediaan pemerintah untuk membayar cicilan angsuran kendaraan mereka dan Tunjangan Hari Raya (THR) karyawan. Pasalnya, pelarangan itu otomatis membuat para pengusaha logistik ini akan kehilangan pendapatan mereka untuk membayar semua kewajibannya.
“Kami sangat keberatan dengan aturan pelarangan itu, apalagi waktunya terlalu panjang. Bagi kami para pengusaha logistik jelas itu sangat memberatkan dan merugikan,” ujar Ketua Umum National Logistics Community, Angga Purnama.
Seperti diketahui, pemerintah melarang truk sumbu 3 beroperasi mulai 24 Maret 2025 hingga 8 April 2025 saat Lebaran nanti. Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengatakan terbuka untuk berdiskusi dengan para pengusaha terkait peluang insentif pada saat pembatasan angkutan barang selama 16 hari Lebaran 2025 itu.
Menanggapi ajakan ini, dia menyampaikan sama sekali tidak berharap pemerintah mau memenuhi insentif yang akan diajukan para pengusaha. Menurutnya, insentif itu hanya suatu kebohongan saja. “Insentif apa yang mau dikasih ke kita? Dari mana ukurannya, kan ngasih insentif itu harus ada ukurannya. Kita minta agar waktu pelarangannya tidak terlalu lama saja sama sekali tidak didengarkan pemerintah, apalagi mau memberikan insentif? Itu hanya sekedar basa-basi saja,” tukasnya.
Lagipula, kata Angga, jika pemerintah memang berniat untuk memberikan insentif kepada para pengusaha, itu seharusnya sudah dilakukan 2 atau 3 bulan sebelum SKB terkait pelarangan itu dikeluarkan. “Ini kan waktunya mepet sekali, apalagi hanya dua minggu saja sebelum pemberlakukan pelarangan itu diterapkan. Jadi, menurut saya itu cuma lip service doang,” ucapnya.
Dia menuturkan dengan adanya pelarangan selama 16 hari itu, otomatis para pengusaha logistik juga kehilangan penghasilan selama dua minggu. Sementara, menurutnya, saat Lebaran itu, para pengusaha itu harus mengeluarkan fixed cost berupa gaji dan THR karyawan. Belum lagi membayar biaya cicilan dan pemeliharaan kendaraan. “Akibatnya, kita rugi banyak saat Lebaran dengan dilarang-larang seperti ini. Padahal mungkin banyak yang menduga kita pasti untung besar karena demandnya banyak, tapi kenyataannya tidak,” ungkapnya.
Dia mencontohkan di perusahaannya PT AJL Logistik Indonesia, untuk bisa membiayai 83 karyawannya dan semua utilitas lainnya, perusahaan harus bisa menghasilkan keuntungan senilai Rp 1,5 juta per kendaraan besar perhari dan Rp 500 ribu untuk kendaraan kecil. Artinya, jika dilakukan pelarangan selama 16 hari, dia mengatakan perusahaan telah kehilangan keuntungan sebesar Rp 24 juta untuk satu kendaraan besar dan Rp 8 juta untuk kendaraan kecil. “Bisa dibayangkan besarnya kerugian yang harus saya alami dengan panjangnya pelarangan itu. Sementara, saya juga harus membiayai kewajiban yang jauh lebih banyak saat Lebaran nanti. Apa pemerintah mau menalangi itu semua,” tukasnya.
Apalagi, menurutnya, dari pengalaman lebaran-lebaran sebelumnya bahwa pelarangan itu tidak hanya dilakukan untuk angkutan barang sumbu 3 saja melainkan juga sumbu 2. “Ini jelas membuat kerugian kita para pengusaha logistik itu lebih besar lagi,” katanya.
Padahal, dia menegaskan logistik merupakan urat nadi ekonomi Indonesia. Perputaran uang yang mencapai Rp 1.700 triliun menunjukkan betapa pentingnya sektor ini dalam mendukung rantai pasok, distribusi, dan perdagangan yang berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi. “Angka ini tidak hanya mencerminkan volume transaksi yang besar, tetapi juga menegaskan peran strategis logistik ini dalam menggerakkan perekonomian domestik dan internasional,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto mencanangkan target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen. Upaya pencapaian target pertumbuhan itu memerlukan perencanaan terintegrasi berbagai sektor termasuk sektor logistik. “Jadi bagaimana bisa mewujudkan hal itu jika kita diganggu-ganggu dengan kebijakan seperti ini,” ucapnya. (CLS)