SHNet, Jakarta- Ibu Kota Jakarta kemarin siang hingga petang dilanda hujan yang sangat deras, beberapa ruas jalan tergenang dan pemukiman di bantaran Kali Ciliwung, juga banyak yang terdampak. Di tengah hujan deras itu, perbincangan yang tak kalah semangat dari para penulis, seperti derasnya air hujan.
Apa yang yang dibicarakan para penulis yang tergabung dalam Perkumpulan Penulis ALINEA itu? Cukup menarik dan berkaitan langsung dengan kepenting para penulis yakni penerbitan buku. Karya para penulis tidak akan sampai pembaca yang luas bila tidak di terbitkan dan dipasarkan, baik lewat toko buku, maupun pemasaran online dan via WhatsApp Group di mana penulis atau penerbit bergabung.
Para penulis yang berkumpul di sebuah cafe di depan Stasiun Kereta Api Cawang yang nyaman dan bersih, pada Minggu (06/07/2025), antara lain Nuria Soeharto, Magdalena Sitorus, Debra H Yatim, Danny Yatim, Suradi, Romo Mudji Sutrisno, dan Stebby Julionatan, bersemangat mengulas dunia penerbitan di Tanah Air, khususnya penerbitan mandiri atau kadang disebut penerbit indie. Disela-sela pembicaraan kadang disebut bagaimana enerbit besar dan sering disebut penerbit mayor menerbitakan berbagai bukunya.
Membahas dunia penerbitan mandiri, tak lepas juga dengan perdebatan soal pentingnya penomeran buku atau ISBN (International Standard Book Number) yang dikelola dan dikeluarkan Perpustakaan Nasional sebagai bagian dari tugas negara mencatat setiap penerbitan buku di Indonesia.
Pemantik diskusi soal penerbitan mandiri adalah Nuria Soeharto, penulis sejumlah buku yang selama 12 tahun tinggal di Eropa untuk studi dan bekerja. Sebelum ke topik pembahasan, Nuria menceritakan pegalamannya selama di Eropa. Salah satu bukunya, “Menjadi Eriksson”, terbit mandiri, 2022, mengungkap pergulatan hidupnya di Eropa dalam sebuah pernikahan antarbangsa yang berakhir perceraian.
Nuria lulus S3 dari Université de Paris-8, Prancis, di bidang Antropologi Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK), atau yang kini lebih dikenal dengan sebutan Antropologi Digital. Nuria tinggal di Kosovo selama 2009-2012 dan pada 2013 dikirim pemerintah Swedia untuk sebuah misi perdamaian di Palestina.
Sejak 2017, Nuria berada di Jakarta demi menemani Ibu yang demensia. Dan di sela-sela gonjang-ganjing hidupnya bersama Ibu, Nuria menerbitkan delapan buku memoar yang lima di antaranya dikerjakan secara mandiri, dalam arti menulis dan mendesain hingga mencetak dan memublikasikan sendiri buku-buku itu. Salah satu buku yang menyinggung soal ini “Memoar: Demensia di Rumah Kami” adalah Kumpulan yang diterbitkan Gramata Publishing, 2018. Kumpulan tulisan tujuh Pendamping Orang Dengan Demensia (ODD) yang lalu dibahas oleh enam petugas kesehatan (dokter spesialis saraf, terapis, suster, dan lain-lain. Karya-karya Nuria yang lain dapat dilihat di persolan web, https://nuriasoeharto.com/index.php/bio-buku/

Pengalaman Bisa Jadi Pelajaran
Dia bersemangat sekali menceritakan pengalamannya bekerjasama dengan penerbit mandiri, sayangnya, lebih banyak kurang menyenangkan dibandingkan kepuasan yang dialami. Sesekali peserta diskusi tak sabar menyela paparan Nuria, dan diskusi pun bertambah seru.
“Kembali dari 12 tahun di Eropa (tahun 2017), aku pulang ke Jakarta untuk menemani Ibu yang demensia. Dan selama mendampingi dan merawat Ibu, aku mengisi hari-hariku dengan menulis. Dua buku pertama diterbitkan oleh penerbit indie yang hasilnya tidak begitu memuaskan: informasi royalti yang tidak profesional, promosi yang hanya satu pihak, ketidakjujuran penerbit atas hasil penjualan, dan lain-lain,” ungkap Nuria.
Akhirnya, dengan dukungan banyak teman, Nuria menerbitkan buku-buku berikutnya sendiri, dalam arti mencari tema/topik-topik penulisan sendiri, juga menulis, menyunting, layout, mencari percetakan, melakukan promo, mencatat PO buku, mengirim buku secara mandiri. Semula terasa seperti ‘sok tahu’ melakukan semuanya sendiri tapi teman-teman mengatakan itu bukan sok tahu tetapi memang self-reliance atau kemandirian. “Jadi, ada kebanggaan karena mampu melakukan banyak hal sendiri tetapi tentu saja itu juga dibarengi dengan kelelahan fisik dan mental memikirkan dan mengerjakan semua sendirian,” katanya.
Ihwal proses kreatif menulis, Nuria menceritakan, awalnya, menulis adalah ‘pelarian’ dari stress merawat Ibu yang demensia. Kondisi Ibu yang tidak bisa sering ditinggal membuat Nuria tidak bisa sering-sering keluar rumah untuk mencari kerja regular yang menerapkan ijazah S3 dan pengalaman tinggal dan kerja di Eropa.
“Aku hanya bisa menulis dan mengajar yang waktu itu hanya 3-4 jam per minggu, yang kulakukan supaya otakku terus bergerak, nggak termakan stress menemani Ibu. Tapi yg semula memang hanya untuk menghilangkan stress, lama-lama jadi senang menulis, yang pada akhirnya juga senang ‘bikin buku’ yang berarti tidak cuma menulis tapi juga menyunting, membuat layout-nya, mencetak (di percetakan), dan menjualnya sendiri. Rasanya puas dengan hasil akhirnya, yang meskipun nggak ada uangnya tapi tau bahwa laku atau nggak, itu adalah hasil kerja sendiri. Rasanya senang bisa punya kontrol atas kerja sendiri, nggak bergantung sama orang lain,” papar Nuria panjang lebar.
Selain kepuasan melihat hasil kerja itu, rasa senang juga muncul saat harus hunting percetakan dan promosi. Semua harus dilakukan dari rumah karena tidak bisa meninggalkan Ibu. Dan setelah sekian lama kontak sana-sini secara online, akhirnya ketemu percetakan yang bisa cetak satuan dengan murah dan bagus (nggak harus cetak ratusan), dengan materi yg bisa dikirim via email/WA, dan hasilnya dikirim langsung ke rumah (kita nggak harus ambil di percanetakannya). “Aku juga menemukan toko buku yang mau menjual buku-bukuku dengan bagi hasil yang lebih menguntungkan daripada yg (pernah) kuterima dari penerbit, meskipun buku-bukuaku tanpa ISBN.,” tambah Nuria.
Setelah paparan Nuria yang sangat komprehensif, kadang di sela peserta diskusi, penulis lain pun ikut menyumbangkan pengalamannya mulai dari Magdalena Sitorus yang kini banyak menulis Seri Perempuan Penyintas 1965, Danny Yatim yang punya pengalaman cukup bagus dengan penerbit mandiri, begitu juga Suradi, yang banyak menulis biografi dan buku politik. Urutan penumbang pemikiran selanjut Stebby yang sudah menulis beberapa novel, lalu Romo Muji yang juga banyak karyanya, dan tentunya mantan wartawati Debra H Yatim yang kadang bertindak sebagai moderator dan diakhir pertemuan menyimpulkan poin pembahasan soal penerbitan mandiri ini.
Diskusi atau kumpul penulis yang diberi label Titik Temu ini adaah putaran kedua. Putaran pertama digelar di kediaman Magdalena Sitorus membahas buku karya dosen Indnonesia di Australia, Dr. Priyambudi Sulistiyanto berjudul “Finding Kapiten Boodieman Catatan Perjalanan Intelektual di Australia dan Indonesia”. Putaran ketiga diskusi Titik Temu akan diadakan di kediaman penulis, Suradi, di kawasan Bukit Duri, Tebet, awal Agustus dengan pembahasan buku karyanya, “Menegakkan Damai di Serambi Makkah: Menguak Pembahasan UU Pemerintahan Aceh” tema buku ini berkaitan dengan dua decade penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Perdamaian Aceh, 15 Agustus 2005. (sur)