Sosial Ekonomi dan Mental Health: Antara Kesenjangan, Tekanan Ekonomi, dan Kesehatan Jiwa

11 hours ago 4

Oleh: Diana Triwardhani

Dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran terhadap pentingnya kesehatan jiwa atau mental health semakin meningkat. Di sisi lain, kesenjangan sosial-ekonomi dan tekanan ekonomi kian menjadi masalah struktural yang mengakar di banyak negara, termasuk Indonesia. Dua isu besar ini, yang seringkali dibahas secara terpisah, ternyata memiliki keterkaitan yang sangat erat. Banyak riset menunjukkan bahwa tekanan sosial-ekonomi memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kesehatan mental individu maupun masyarakat secara luas.

Di tengah situasi ekonomi global yang tidak menentu, ancaman resesi, naiknya harga kebutuhan pokok, serta ketimpangan penghasilan yang semakin tajam, pemahaman mengenai keterkaitan ini menjadi sangat penting sebagai dasar pengambilan kebijakan publik dan strategi individual.

Kesenjangan Sosial Ekonomi

Kesenjangan sosial-ekonomi merujuk pada ketidakseimbangan akses terhadap sumber daya dan kesempatan ekonomi, seperti pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan tempat tinggal yang layak. Di Indonesia, kesenjangan ini dapat dilihat dari indeks Gini yang pada 2024 tercatat sebesar 0,388, angka yang masih menunjukkan ketimpangan cukup besar meski sedikit menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Ketimpangan ini menciptakan lapisan masyarakat yang sangat rentan terhadap tekanan ekonomi, terutama kelompok menengah ke bawah yang sering tidak memiliki jaminan sosial, pendapatan tetap, atau akses terhadap fasilitas kesehatan mental. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi secara layak, tekanan psikologis akan meningkat, memicu berbagai masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, stres kronis, bahkan ide bunuh diri.

Pemicu Masalah Kesehatan Mental

Tekanan ekonomi hadir dalam berbagai bentuk: kehilangan pekerjaan, utang menumpuk, harga kebutuhan yang terus naik, dan ketidakpastian masa depan. Menurut data WHO, individu yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki kemungkinan dua hingga tiga kali lebih besar untuk mengalami gangguan mental dibanding mereka yang berada di lapisan ekonomi atas.

Di Indonesia, fenomena ini semakin tampak pasca pandemi COVID-19, ketika banyak sektor informal terdampak, pengangguran meningkat, dan daya beli masyarakat menurun. Beban hidup yang berat membuat banyak orang kesulitan mengatur emosi dan berpikir jernih, sehingga rentan terhadap gangguan mental.

Kelompok pekerja muda (millennial dan Gen Z) juga tidak lepas dari tekanan ini. Meskipun lebih terhubung dengan teknologi dan peluang ekonomi digital, mereka menghadapi tekanan lain seperti persaingan kerja yang ketat, beban hutang pendidikan, dan ekspektasi sosial untuk “sukses” dalam waktu singkat.

Layanan Kesehatan Mental Terbatas

Masalah lainnya adalah minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental, khususnya bagi masyarakat miskin atau yang tinggal di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Biaya terapi psikologis yang relatif mahal dan stigma sosial terhadap gangguan jiwa membuat banyak orang enggan atau tidak mampu mencari bantuan.

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi gangguan mental emosional di Indonesia mencapai 6,1%, namun hanya sebagian kecil dari mereka yang mendapatkan layanan profesional. Di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, jumlah psikolog dan psikiater per kapita sangat rendah, memperparah ketimpangan dalam akses layanan.

Efek Domino

Kesehatan mental yang terganggu tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga terhadap keluarga, komunitas, dan produktivitas nasional. Orang yang mengalami stres atau depresi berkepanjangan cenderung mengalami penurunan motivasi kerja, konflik dalam hubungan personal, dan bahkan menarik diri dari kehidupan sosial.

Bagi dunia usaha dan industri, karyawan dengan gangguan kesehatan mental bisa menunjukkan penurunan produktivitas, absensi tinggi, hingga burnout. Sementara itu, dalam lingkup keluarga, tekanan ekonomi yang tidak tertangani sering memicu konflik rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan gangguan perkembangan anak.

Kesenjangan Digital dan Media Sosial

Kemajuan teknologi dan akses internet seharusnya menjadi solusi bagi banyak orang dalam mengakses informasi dan layanan, termasuk kesehatan mental. Namun, kesenjangan digital justru memperluas jurang antara yang mampu dan tidak mampu. Di daerah urban, orang bisa mengakses aplikasi terapi, konseling online, dan komunitas pendukung. Sebaliknya, di daerah pedesaan atau 3T, koneksi internet dan fasilitas perangkat digital masih sangat terbatas.

Selain itu, media sosial yang seharusnya menjadi sarana konektivitas, malah sering menjadi pemicu tekanan mental. Paparan terhadap gaya hidup konsumtif, standar kecantikan yang tidak realistis, atau pencapaian orang lain, dapat menimbulkan rasa tidak puas diri, rendah diri, dan gangguan kecemasan, terutama bagi mereka yang secara sosial-ekonomi merasa “kalah bersaing”.

Strategi Penanganan

Mengatasi permasalahan ini tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan individu sendiri. Beberapa strategi yang dapat ditempuh antara lain:

Pertama : Pemerintah meningkatkan alokasi anggaran untuk layanan kesehatan mental, termasuk memperbanyak fasilitas kesehatan jiwa di Puskesmas; mengintegrasikan layanan psikologis dalam BPJS Kesehatan; memberikan subsidi atau insentif bagi tenaga profesional kesehatan mental untuk bekerja di daerah terpencil.

Kedua : Sektor Swasta dan Dunia Usaha menyediakan program Employee Assistance Program (EAP) yang fokus pada kesejahteraan mental karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih humanis dan fleksibel.

Ketiga : Masyarakat dan Lembaga Pendidikan mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental dan menurunkan stigma terhadap penderita gangguan jiwa dan menyediakan konseling di sekolah dan kampus, serta pelatihan kesehatan mental bagi guru dan dosen.

Keempat : Individu mengembangkan kebiasaan hidup sehat seperti olahraga rutin, tidur cukup, dan menjalin hubungan sosial yang positif dan menyadari pentingnya mencari bantuan profesional ketika mengalami masalah psikologis yang berat.

Kesenjangan sosial-ekonomi dan tekanan ekonomi memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan jiwa masyarakat. Di Indonesia, kondisi ini semakin nyata dengan masih minimnya akses terhadap layanan kesehatan mental dan tingginya stigma sosial terhadap gangguan jiwa.

Kesehatan mental bukanlah isu yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan struktur sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, solusi terhadap masalah kesehatan mental harus mencakup reformasi sosial-ekonomi yang adil dan inklusif. Jika tidak ditangani secara serius, masalah ini dapat menjadi beban ganda bagi masyarakat dan negara di masa depan.

Melalui upaya bersama dari berbagai pihak, diharapkan kesehatan mental masyarakat bisa lebih terjaga, dan setiap individu—apapun latar belakang sosial ekonominya—dapat hidup secara bermartabat dan sejahtera.

Penulis, Diana Triwardhani, SE.MM., Ph.D adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UPN Veteran Jakarta

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan