SHNet, Jakarta-Bersamaan dengan peringatan ulang tahun ke-45 Perpustakaan Nasional, buku “Propaganda dan Teror Kekuasaan” diluncurkan kembali dan didiskusikan pada Sabtu (17/05/2025). Narasumber yang akan membahas mengenai isi buku ini adalah Prof. Dr. Bagus Takwin, M.Hum yang saat ini menjabat Dekan Fakultas Psikologi UI. Pembicara kedua adalah Dr. Johanes Haryatmoko S.J. yang akrab disapa Romo Moko, penulis kata pengantar cetakan kedua (2010). Inisiatif Rieke melalui Pitaloka Foundation untuk menerbitkan buku ini disambut oleh Penerbit Sebermula, kedua pihak bekerja sama dan menganggap penting memberi pemahaman masyarakat tentang kecenderungan berulangnya kekerasan negara.
Mengapa harus meluncur pada bulan Mei? Tentu karena terdapat korelasi yang kuat untuk mengingatkan kembali bahwa di Indonesia pernah terjadi tragedi politik yang memakan banyak korban masyarakat dan penembakan mahasiswa pada Mei 1998. Perlawanan kaum muda terhadap rezim Orde Baru sebagai konflik vertikal secara sistematik dan masif diubah oleh pemerintah menjadi konflik horizontal yang menyasar etnik Tionghoa. Peristiwa traumatik itu makin jauh dari ingatan bahkan Generasi Z yang sekarang memasuki usia mahasiswa seperti kehilangan tautan sejarah jatuhnya Soeharto. Itu yang disebut oleh Rieke sebagai akar masalah. Buku yang materinya mengambil referensi dan jawaban dari Hannah Arendt, seorang filsuf dan ahli teori politik, diharapkan membuka wawasan publik hari ini tentang kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat dan dianggap “biasa”.
Dalam buku Rieke ini, pemikiran Hannah Arendt diuraikan. Menurut Bagus Takwin, buku ini memuat penjelasan mengenai berpikir dan menilai secara kritis sebagai usaha untuk mencegah banalitas kekerasan. Kita ketahui bersama, kini sedang berlangsung propaganda pemerintah juga teror yang menyasar salah satu pilar demokrasi. Tindakan itu Seperti hendak membungkam ekspresi kritis masyarakat dengan tekanan otoritarian. Lembaga-lembaga dan pelaksana elemen pemerintahan yang korup sangat berbahaya bagi kondisi sosial ekonomi dan makin memprihatinkan bila kemudian dianggap biasa-biasa saja.
Romo Moko berpendapat dalam penerbitan sebelumnya bahwa buku Rieke adalah usaha untuk membedah mekanisme yang telah menghasilkan manusia-manusia pembunuh tak berperasaan, pelaku kekerasan yang tidak memiliki kesadaran, dan dalang kerusuhan yang tumpul nurani. Buku ini dibuka dengan pernyataan bahwa sejarah Indonesia pada masa Orde Baru berkuasa adalah sejarah sebuah bangsa yang “berdarah”. Setelah rezim Soeharto tumbang, yang berpotensi menimbulkan tindak kekerasan tetap berlangsung. Pelakunya bukan saja aparatur negara, masyarakat sipil pun, dengan mempertaruhkan berbagai kepentingan, juga terlibat dalam aksi kekerasan yang mnengarah pada kejahatan ekstrem dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Kami sangat berharap buku ini menjembatani celah lebar terputusnya informasi tentang kekerasan negara yang pernah terjadi terhadap generasi yang handak menyambut masa depan Indonesia. Wacana penulisan kembali sejarah, menimbulkan kekhawatiran atas kemungkinan penghapusan data dan fakta pelanggaran HAM. Sebelum terlambat, penyadaran untuk mengambil langkah antisipasi dengan meluaskan pengetahuan politik terhadap masyarakat harus dilakukan. Salah satunya dengan memnbaca buku Propaganda dan Teror Kekuasaan ini.
Bertepatan dengan Hari Buku Nasional, kami memandang penting kehadiran “buku” dalam wujud apa pun. Selain informasi verbal, buku yang ditulis dengan proses riset dan menggunakan analisis teori empiris sangat efektif membangun kecerdasan untuk pembekalan bagi karakter anak bangsa. Dengan mengacu pada pemikiran sang “individu massa” Hannah Arendt, Rieke bukan lagi Oneng yang polos dan penurut, melainkan Rieke yang reflektif, seorang aktivis yang pernah terlibat dalam gerakan mahasiswa. Sebagai ahli waris yang sah, kaum muda Indonesia harus menolak kejahatan negara dalam bentuk dominasi pada berbagai sektor, jangan sampai menular ke masyarakat.

Berangkat dari Tesis di UI
Sebermula adalah tesis yang diajukan oleh Rieke Diah Pitaloka ketika menempuh program master di Universitas Indonesia lebih dari 20 tahun yang lalu. Kontekstual dengan masa rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun hingga sang presiden lengser pada 21 Mei 1998, daya kritis tertulis Rieke berupaya mencatat dan mencegah agar praktik pemerintahan yang represif tidak terulang kembali.
Pemikiran dan suara Rieke tidak sekadar menjadi syarat studi S-2 Ilmu Filsafat yang ditempuh dengan cemerlang, tetapi “meminta” diumumkan kepada masyarakat dengan menerbitkannya sebagai buku politik. Penerbitan pertama melalui Galang Press Yogyakarta pada Oktober 2004 dengan judul: Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat. Enam tahun kemudian, cetakan kedua diterbitkan oleh Penerbit Koekoesan Depok, Jawa Barat dengan judul: Banalitas Kekuasaan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekuasaan Negara.

Untuk keempat kalinya Rieke terpilih menjadi anggota dewan karena kepercayaan masyarakat yang menilainya konsisten dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Ketika melihat dan merasakan situasi saat ini dengan indikasi kekerasan negara yang bisa terjadi lagi di masa datang, pemikiran dalam buku ini bisa menjadi alarm kewaspadaan kita. Sebagaimana dikatakan Rieke di akun Instagramnya bahwa situasi sekarang mulai disisipi propaganda dan teror. “Jadi sebelum semuanya kebablasan, maka baca buku ini supaya akar persoalannya segera diselesaikan.” Itulah tujuan sang penulis menerbitkan kembali sebagai cetakan ketiga dengan judul: Propaganda dan Teror Kekuasaan: Kekerasan Negara Lahirkan Banalitas.(sur)