Oleh: M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior
BELUM habis rasa cemas saya setelah PSSI dijatuhi hukuman denda nyaris setengah miliar, ditambah mengurangi kuota untuk laga lanjutan Kualifilasi Grup C, Piala Dunia 2026, muncul lagi kasus. Rasis dan kekerasan suporter terhadap pemain, dan klub.
FIFA menghukum PSSI buntut tindakan tak simpatik simpatisan timnas ketika Indonesia menjamu Bahrain, 25/3 lalu. Kejadian itu terjadi di sektor 19 saat laga memasuki menit ke-80. Sekitar 200 penonton meneriakkan slogan bernada xenofobia yang ditujukan untuk tim Bahrain.
Menurut mbah Google Xenofobia adalah ketakutan atau kebencian terhadap orang asing atau yang dianggap berbeda. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “xenos” (orang asing) dan “phobos” (ketakutan). Xenofobia dapat manifestasi dalam berbagai bentuk, seperti ketidaksukaan terhadap imigran atau budaya lain. Sudah pun Bahrain takut karena kasat mata merugikan kita ssat berlaga di negaranya, eee penonton meneriakan kebencinan.
Belum kering orang sepakbola membincangkan itu, ee muncul kasus penghinaan terhadap pemain asal Malut yang juga pemain nasional, Yakob dan Yance Sayuri.
Keduanya menjadi target kebencian dan dituliskan di media sosial, penghinaan setelah membawa Malut United menumbangkan Persib Bandung, 1-0, dalam laga pekan ke-31 Liga 1 2024-2025 di Gelora Kie Raha, Jumat (2/5/2025). Hasil tersebut membuat Persib harus menunda selebrasi gelar juara musim ini.
Karena penghinaan itu di luar pertandingan, Yakob dan Yance, melapor ke polisi. Sayang, belum juga bibir kering membahasnya, gilirin Persija dan The Jak dihina dan diumpamkan dengan anjing. Pedihnya, lagi-lagi, pelakunya simpatisan pendukung Persib.
Sebagai orang Soreang, saya sedih dan perih melihatnya. Padahal, sepanjang yang saya tahu, kisah dari ayah saya, sempat memimpin pasukan di daerah Tegalega, Pasir Kaliki, Situmunigar, dan sekitarnya, orang sunda itu amat santun.
Dua Gubernur, Bisa
Tapi, kalau sudah terusik martabatnya, bisa mengamuk sejadi-jadinya. Terutama ketika Belanda akan merebut kembali kota yang telah dikuasai republik. Maka jadilah Bandung lautan api. Lha, ini kok tidak ada yang mengusik, mereka berprilaku seperti itu? Saya kira Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jabar paling inspratif, bisa ikut menyelesaikan.
Sebagai usulan, untuk mendamaikan para simpatisan, KDM bertemu Mas Pramono Anung, Gubernur Jakarta. Mereka duduk bersama membincangkan kemunginan perdamaian abadi.
Hal lain yang menyedihkan terjadi di sekitar Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Stadion yang bukan karena kesalahan Aremania, terjadi kekacauan bukan kerusuhan, karena tidak ada perkelahian, jatuh korban 125 meninggal.
Menurut catatan detiknews: Tragedi Kanjuruhan bermula pasca-pertandingan Arema FC vs Persebaya, pada Sabtu (1/10/2022) malam. Insiden terjadi sebab para suporter berdesakan keluar stadion karena panik setelah polisi tembakkan gas air mata.
Buntutnya lebih dari dua tahun Aremania tidak dapat menyaksikan laga-laga Arema di kandang. Dan, Aremania menjadi ‘tertuduh’, padahal sejatinya mereka adalah korban.
Setelah lama tak bisa menyaksikan laga klub kesayangan, eee kok di laga perdana terjafi sesuatu yang tak mengenakan. Begini menurut CNN Indonesia —
Pelatih Persik Kediri Divaldo Alves dilaporkan mengalami luka ringan akibat insiden pelemparan batu orang tak dikenal ke bus tim usai laga melawan Arema FC di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Minggu (11/5).
Manajer Persik Kediri Moch Syahid Nur Ichsan menyebut peristiwa pelemparan itu menyebabkan beberapa orang mengalami luka ringan, di antaranya adalah pelatih tim tersebut Divaldo Alves dan asisten pelatih.
Jika sudah demikian, apa yang harus kita lakukan?
Saya sepakat dengan sahabat Rendra di grup Rembuk Sepakbola Nasional (RSN) dan seperti saya tulis beberapa waktu lalu, mereka saya yakini adalah para simpatisan atau Rendra menyebutnya penumpang gelap (PG).
Simpatisan/PG tidak memiliki ikatan emosional yang lurus pada klub. Untuk itu, mereka tak perduli apakah tindakannya akan berdampak apa pun terhadap klub bahkan suporter yg sesungguhnya. Mereka mengabaikan segalanya terpenting hati mereka senang.
Bersyukurnya dalam tayangan video yang viral itu, terlihat jelas oknum-oknumnya. Meski berat, rasanya para pimpinan pendukung yang asli: Viking Persib Club (VPC), Bomber Persib, 26cc Boys, Northern Wall (NW), dan Frontline Boys, bisa segera melacaknya. Lalu, jangan ragu untuk melaporkannya dan memberi hukuman konkret.
Dengan begitu, maka suporter yang sesungguhnya bisa terlindungi. Bukan hanya pendukung Persib, para pendukung klub-klub lain juga wajib melakukan hal serupa.
Para simpatisan ini seperti kumpulan para preman yang berbaju ormas. Satu saja dari mereka berbuat onar, maka ormas-ormas yang selama ini menjalankan fungsinya dengan baik dan benar, ikut menjadi korban.
Saatnya kita lawan dari ‘para penumpang gelap’ sepakbola Indonesia.
Kita harus bisa, kita pasti bisa!