Masa Depan Sultra di Usia 61 Tahun: Membangun dengan Kearifan dan Inovasi

1 week ago 23

Oleh: Ikhsan Jamal, Ketua Dewan Pembina HIPMI Muna

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Sulawesi Tenggara (Sultra) telah dikenal sebagai salah satu provinsi yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari hasil tambang seperti nikel hingga kekayaan hayati di perairan Wakatobi.

Namun, usia ke-61 ini menjadi titik refleksi untuk mengelola alam dengan lebih bijaksana. Penambangan besar-besaran yang tidak diimbangi dengan rehabilitasi berpotensi merusak bentang alam dan mengancam kelangsungan hidup komunitas lokal.

Kawasan hutan Sultra, yang dulunya lebat dan menjadi rumah bagi beragam flora dan fauna endemik, kini menghadapi tekanan besar akibat alih fungsi lahan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023) menunjukkan bahwa laju deforestasi di Sultra termasuk yang tercepat di kawasan timur Indonesia. Ini tentu menjadi alarm keras bagi masa depan provinsi ini.

Jika sumber daya alam tidak dikelola berkelanjutan, Sultra bisa kehilangan keunggulan kompetitifnya dalam sektor pariwisata berbasis ekologi. Wakatobi, misalnya, bukan hanya destinasi lokal tapi aset dunia dalam konservasi terumbu karang. Masa depan Sultra sangat bergantung pada kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat menjaga ekosistem ini tetap lestari.

Revitalisasi program konservasi berbasis masyarakat sangat penting untuk menekan degradasi lingkungan. Pemanfaatan teknologi, seperti pemetaan satelit untuk pemantauan hutan dan laut, bisa menjadi salah satu jalan keluar. Namun, upaya itu harus diimbangi dengan pemberdayaan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai penjaga garda depan.

Di usia 61 tahun ini, Sultra harus berani mendeklarasikan era baru: era pembangunan berwawasan lingkungan. Tidak ada lagi ruang untuk praktik eksploitasi yang merusak tanpa pertanggungjawaban. Hanya dengan cara ini Sulawesi Tenggara dapat menjaga warisan alamnya untuk generasi mendatang.

Kesadaran ekologis harus menjadi bagian dari identitas baru Sultra. Dari pendidikan hingga kebijakan, semua sektor harus mengintegrasikan prinsip keberlanjutan. Memang tidak mudah, tapi ini harga yang harus dibayar untuk masa depan yang lebih cerah.

Lingkungan: Krisis dan Harapan Baru

Kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Tenggara semakin menjadi perhatian serius. Sungai-sungai yang dulunya bersih kini tercemar limbah industri dan domestik. Data Dinas Lingkungan Hidup Sultra (2024) menunjukkan bahwa 40% dari 10 sungai utama di provinsi ini masuk kategori tercemar berat. Ini berdampak langsung pada kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi berbasis perikanan dan pertanian.

Perubahan iklim pun tidak luput dari dampaknya. Petani di Konawe Selatan melaporkan masa tanam yang bergeser, sementara nelayan di Bau-Bau menghadapi hasil tangkapan yang kian menurun akibat perubahan suhu laut. Jika tren ini terus berlanjut, maka stabilitas pangan lokal akan terganggu.

Meskipun begitu, banyak inisiatif lokal yang muncul sebagai harapan baru. Gerakan reforestasi yang dipimpin komunitas muda, kampanye bebas plastik di pesisir, hingga proyek energi terbarukan kecil di desa-desa mulai memperlihatkan perubahan. Ini bukti bahwa masyarakat Sultra tidak tinggal diam.

Pemerintah daerah telah meluncurkan program "Sultra Hijau 2030" yang bertujuan merehabilitasi 10.000 hektare lahan kritis dalam lima tahun ke depan. Namun program ini akan sia-sia tanpa pengawasan ketat, pendanaan berkelanjutan, dan keterlibatan aktif masyarakat. Pelajaran dari masa lalu harus menjadi cambuk.

Selain itu, kerjasama dengan sektor swasta harus diarahkan untuk berkontribusi nyata dalam perlindungan lingkungan, bukan hanya simbolik melalui program CSR. Industri yang mengambil dari tanah Sultra harus mengembalikan dalam bentuk konservasi dan rehabilitasi yang nyata.

Masa depan lingkungan Sulawesi Tenggara berada di titik kritis. Jika tindakan berani dan terukur diambil sekarang, provinsi ini masih memiliki peluang besar menjadi model pengelolaan lingkungan berkelanjutan di Indonesia Timur.

Gaya Kepemimpinan: Transformasi Menuju Kolaborasi

Gaya kepemimpinan di Sulawesi Tenggara selama ini banyak dipengaruhi pola sentralistik dan patronase. Namun, tantangan zaman baru menuntut perubahan paradigma. Kepemimpinan kolaboratif, partisipatif, dan berbasis inovasi adalah kebutuhan mendesak agar Sultra bisa beradaptasi di tengah dunia yang berubah cepat.

Di usia 61 tahun ini, pemimpin Sultra harus memiliki visi jangka panjang yang berbasis data dan berbicara lintas sektor, tidak hanya mengandalkan popularitas semata. Sebuah kepemimpinan yang berani mengambil keputusan sulit demi masa depan, meski tidak selalu populer.

Telah terbukti bahwa daerah-daerah di Sultra yang dipimpin dengan pendekatan partisipatif — seperti Desa Lamanggau di Wakatobi — mengalami kemajuan lebih cepat dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan konservasi. Ini memperlihatkan bahwa kunci sukses bukan sekadar siapa yang memimpin, tetapi bagaimana mereka melibatkan rakyat.

Transparansi dalam pengelolaan anggaran publik harus menjadi standar baru. Tidak ada lagi ruang untuk praktik korupsi, nepotisme, dan birokrasi berbelit. Rakyat Sulawesi Tenggara semakin cerdas dan kritis, sehingga keterbukaan adalah syarat mutlak membangun kepercayaan.

Kepemimpinan masa depan juga harus mengintegrasikan digitalisasi dalam tata kelola. E-government, layanan berbasis aplikasi, serta penggunaan media sosial untuk komunikasi dua arah antara pemerintah dan warga harus diperluas. Ini bukan hanya soal tren, tapi kebutuhan dasar.

Dengan gaya kepemimpinan yang adaptif, partisipatif, dan inovatif, Sulawesi Tenggara dapat mempercepat transformasinya menjadi provinsi maju tanpa kehilangan akar budaya dan identitas lokal.

Peran Pemerintah: Antara Regulasi dan Akselerasi

Di usia 61 tahun, Sulawesi Tenggara membutuhkan pemerintahan yang tidak hanya mampu membuat regulasi, tetapi juga piawai dalam mempercepat implementasi kebijakan di lapangan. Tantangan pembangunan tidak lagi sebatas pada perencanaan, melainkan bagaimana eksekusi dilakukan cepat, tepat, dan transparan.

Pemerintah daerah mesti menempatkan pembangunan berbasis potensi lokal sebagai poros kebijakan. Setiap kabupaten/kota memiliki keunikan sumber daya masing-masing yang harus dikembangkan, bukan dipukul rata. Konawe dengan pertanian, Kolaka dengan pertambangan, Wakatobi dengan pariwisata, semuanya membutuhkan pendekatan berbeda.

Selain itu, kolaborasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah pusat harus lebih erat. Dana transfer daerah yang besar harus dioptimalkan untuk program-program prioritas seperti infrastruktur dasar, pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, bukan habis untuk belanja pegawai.

Salah satu kelemahan yang harus diperbaiki adalah birokrasi yang lambat dan kurang responsif. Reformasi birokrasi berbasis teknologi dan meritokrasi perlu dipercepat. Jabatan strategis harus diisi oleh orang-orang profesional yang mampu bekerja untuk hasil, bukan sekadar loyal kepada atasan.

Pemerintah juga perlu mengoptimalkan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam menopang ekonomi lokal. Banyak BUMD di Sultra yang mati suri atau menjadi beban keuangan daerah. Dengan manajemen profesional, BUMD bisa menjadi mesin baru bagi kesejahteraan rakyat.

Ke depan, pemerintah daerah Sultra harus lebih membuka ruang partisipasi publik dalam proses perumusan dan evaluasi kebijakan. Hanya dengan keterlibatan aktif masyarakat, kualitas tata kelola pemerintahan bisa naik kelas.

Budaya: Pilar Identitas di Tengah Modernisasi

Sulawesi Tenggara adalah rumah bagi keberagaman budaya yang luar biasa. Suku Tolaki, Buton, Muna, Moronene, dan Bajo, semuanya memiliki warisan adat istiadat, bahasa, dan seni yang berharga. Namun, tantangan globalisasi dan modernisasi mengancam pelestarian budaya ini.

Festival budaya seperti Festival Tangkeno di Bombana dan Festival Budaya Muna merupakan contoh positif dalam merawat identitas lokal. Tetapi, kegiatan semacam ini belum cukup jika tidak disertai revitalisasi sistem pendidikan budaya di sekolah-sekolah dan di tengah keluarga.

Bahasa daerah yang mulai ditinggalkan generasi muda adalah sinyal bahaya. Data dari Badan Bahasa (2023) menunjukkan penurunan drastis penggunaan bahasa Muna dan Tolaki di kalangan anak muda Sultra. Tanpa langkah nyata, bahasa dan nilai-nilai lokal bisa punah dalam satu generasi.

Upaya pelestarian budaya juga harus beradaptasi dengan zaman. Misalnya, mendorong digitalisasi budaya lewat platform media sosial, dokumentasi seni tradisional berbasis video, hingga pengembangan aplikasi pembelajaran bahasa daerah.

Selain itu, kearifan lokal dalam pengelolaan alam, musyawarah adat, dan nilai gotong-royong harus diintegrasikan dalam perencanaan pembangunan. Budaya bukan penghambat kemajuan, melainkan fondasi untuk menciptakan model pembangunan berkelanjutan yang khas Sulawesi Tenggara.

Dengan menempatkan budaya sebagai kekuatan utama, Sulawesi Tenggara tidak hanya bisa mempertahankan identitasnya di tengah arus globalisasi, tetapi juga memperkaya karakter pembangunan di masa depan.

Masyarakat: Energi Sosial untuk Kemajuan

Masyarakat Sulawesi Tenggara dikenal dengan kekuatan sosialnya: solidaritas komunitas, kegigihan dalam menghadapi tantangan, serta semangat inovasi lokal. Modal sosial ini harus terus diperkuat agar menjadi energi utama dalam pembangunan provinsi.

Tingkat partisipasi masyarakat dalam program pembangunan, seperti Program Desa Mandiri atau pelestarian ekowisata di Wakatobi, memperlihatkan bahwa ketika diberi ruang, masyarakat mampu menjadi motor perubahan. Pemerintah hanya perlu memfasilitasi, bukan mengontrol berlebihan.

Namun, masih terdapat kesenjangan kesejahteraan antara wilayah daratan dan kepulauan, serta antara pusat kota dan desa. Ini menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesempatan ekonomi yang harus segera diatasi.

Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan keterampilan, akses informasi, serta penyediaan teknologi sederhana menjadi kunci untuk memperkecil ketimpangan. Inisiatif seperti koperasi digital, pertanian organik, atau komunitas pariwisata lokal patut diperluas.

Masyarakat juga harus diperkuat dari sisi literasi kritis, baik literasi digital, keuangan, hingga politik. Generasi muda Sultra harus disiapkan bukan hanya sebagai penerima pembangunan, tetapi juga sebagai pelaku aktif perubahan sosial.

Dengan mempercayai masyarakat sebagai subjek, bukan sekadar objek pembangunan, Sultra dapat mempercepat laju kemajuan secara inklusif dan berkeadilan.

Kesehatan: Membangun Generasi Sehat dan Tangguh

Kesehatan masyarakat Sulawesi Tenggara mengalami banyak perbaikan dalam satu dekade terakhir, tetapi tantangan besar masih mengintai. Masalah stunting, penyakit tidak menular, hingga akses layanan kesehatan di daerah terpencil membutuhkan perhatian lebih serius.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Sultra (2024), prevalensi stunting mencapai 24%, lebih tinggi dari target nasional. Ini menunjukkan perlunya intervensi gizi yang lebih terarah, mulai dari masa kehamilan hingga balita, dengan melibatkan sektor pendidikan dan pertanian lokal.

Fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas harus diperkuat baik dari sisi tenaga medis maupun infrastruktur. Tidak boleh lagi ada cerita masyarakat kepulauan yang harus menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk mendapatkan layanan dasar kesehatan.

Di era digital, layanan telemedicine bisa menjadi solusi inovatif untuk memperluas akses kesehatan, terutama di daerah kepulauan seperti Wakatobi dan Buton. Pemerintah perlu mendorong infrastruktur internet merata untuk menunjang program ini.

Kampanye kesehatan preventif juga harus lebih gencar, mengingat gaya hidup modern mulai meningkatkan kasus diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung di masyarakat perkotaan Sultra. Pendidikan kesehatan harus masuk dalam kurikulum sejak dini.

Membangun masyarakat sehat bukan hanya tugas dinas kesehatan semata, tetapi membutuhkan sinergi multi-sektor. Karena hanya dengan masyarakat yang sehat, Sulawesi Tenggara mampu menghadapi tantangan masa depan dengan lebih tangguh.

Ekonomi: Menyeimbangkan Sumber Daya dan Kesejahteraan

Ekonomi Sulawesi Tenggara bertumpu pada tiga sektor utama: pertambangan, pertanian, dan pariwisata. Namun, terlalu mengandalkan pertambangan tanpa diversifikasi ekonomi adalah strategi berisiko. Keterlambatan membangun ekonomi berbasis nilai tambah akan membuat provinsi ini rentan terhadap fluktuasi pasar global.

Pengembangan kawasan industri nikel di Morowali dan Konawe memang menjadi motor pertumbuhan, namun harus diimbangi dengan industri hilir yang berbasis teknologi bersih dan ramah lingkungan. Nilai tambah dari nikel harus dirasakan oleh masyarakat lokal, bukan hanya oleh investor besar.

Sektor pertanian dan perikanan perlu direvitalisasi melalui inovasi teknologi sederhana, seperti sistem irigasi cerdas, pertanian organik, serta cold storage untuk produk perikanan. Dengan demikian, pendapatan petani dan nelayan bisa naik signifikan.

Sektor pariwisata, terutama berbasis alam dan budaya, adalah potensi emas yang belum digarap optimal. Wakatobi, Labengki, dan Tomia bisa menjadi destinasi wisata dunia jika didukung dengan infrastruktur, promosi internasional, dan keterlibatan komunitas lokal.

Penting juga membangun ekosistem wirausaha di kalangan generasi muda Sultra. Program inkubator bisnis, pelatihan start-up, hingga akses modal usaha harus diperluas untuk menciptakan lapangan kerja baru di luar sektor tambang.

Dengan strategi ekonomi yang berorientasi pada keberlanjutan dan pemerataan, Sulawesi Tenggara bisa keluar dari jebakan ketergantungan pada komoditas mentah menuju ekonomi yang lebih produktif dan berkeadilan.

Politik: Demokrasi Substansial, Bukan Seremonial

Perjalanan politik Sulawesi Tenggara cukup dinamis, dengan tingkat partisipasi pemilu yang relatif tinggi. Namun tantangan utama politik lokal bukan lagi soal prosedural, melainkan bagaimana memperdalam kualitas demokrasi substansial.

Praktik politik transaksional, polarisasi etnis dan agama, serta oligarki lokal masih menjadi hambatan. Ini berisiko memperlemah integrasi sosial dan memperlambat kemajuan pembangunan. Pendidikan politik masyarakat harus diperkuat agar rakyat memilih berdasarkan gagasan, bukan sekadar imbalan.

Peran partai politik juga harus bertransformasi dari sekadar kendaraan kekuasaan menjadi institusi pendidikan politik rakyat. Rekrutmen kader berbasis merit dan integritas perlu diperkuat agar lahir politisi yang visioner, bersih, dan berorientasi pelayanan.

Selain itu, memperkuat forum-forum dialog antara pemerintah dan rakyat — seperti musrenbang partisipatif, forum diskusi publik, hingga platform digital pengaduan rakyat — bisa meningkatkan akuntabilitas pejabat publik.

Politik inklusif juga berarti membuka ruang lebih besar bagi perempuan, pemuda, dan kelompok marjinal untuk terlibat dalam proses politik. Representasi yang beragam akan membuat kebijakan publik lebih adil dan efektif.

Masa depan politik Sultra bukan terletak pada siapa yang menang pemilu, tetapi seberapa kuat sistem politik mampu menjadi alat memperjuangkan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan perlindungan hak-hak semua kelompok.

Penutup: Sulawesi Tenggara Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Sulawesi Tenggara di usia ke-61 bukan lagi sekadar menghitung pencapaian masa lalu, melainkan momentum penting untuk menentukan arah masa depan. Semua potensi besar — dari kekayaan alam, budaya, masyarakat, hingga energi generasi muda — akan menjadi sia-sia jika tidak diiringi dengan pengelolaan yang cerdas, adil, dan berkelanjutan.

Perlindungan terhadap lingkungan, revitalisasi budaya lokal, peningkatan kualitas kesehatan, pemerataan ekonomi, serta penguatan demokrasi adalah pilar utama yang harus diperkuat. Pemerintah dituntut hadir sebagai fasilitator kemajuan, bukan semata-mata regulator. Kepemimpinan masa depan harus berbasis inovasi, kolaborasi, dan integritas tinggi.

Di tengah tantangan globalisasi, perubahan iklim, serta dinamika politik nasional, Sulawesi Tenggara harus mampu menemukan jalannya sendiri: jalan yang menghormati kearifan lokal sekaligus terbuka terhadap inovasi global. Tidak perlu menjadi provinsi yang serba-serbi meniru, cukup menjadi Sultra yang otentik namun progresif.

Masyarakat Sultra, dari pelosok desa hingga perkotaan, memegang kunci keberhasilan pembangunan. Ketika ruang partisipasi dibuka, kesempatan diperluas, dan kualitas hidup ditingkatkan, maka energi sosial ini akan melahirkan perubahan besar dari bawah.

Masa depan Sulawesi Tenggara bukanlah hadiah, melainkan hasil dari keputusan-keputusan bijak hari ini. Dengan tekad kolektif, keberanian berinovasi, dan komitmen terhadap keadilan sosial, Sulawesi Tenggara dapat menulis babak baru: menjadi provinsi yang maju, adil, lestari, dan tetap berakar kuat pada jati dirinya.

61 tahun adalah usia matang. Kini saatnya Sulawesi Tenggara menatap masa depan bukan dengan keraguan, melainkan dengan keyakinan penuh: bahwa dengan kerja bersama, harapan itu bukan sekadar mungkin, melainkan pasti tercapai. (*)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan