Pertamina, Ikan Busuk Dari Kepala

1 day ago 5

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina

Pertamina sedang dilanda gonjang-ganjing karena yang diduga merugikan negara sekitar Rp193,7 triliun, yang terdiri dari kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri; kerugian impor minyak mentah melalui broker; kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 dan kerugian pemberian subsidi tahun 2023. Kasus ini sedang dalam penanganan kejaksaan dengan sembilan orang pejabat Pertamina sebagai tersangka.

Tentu, kasus ini bukan yang pertama, karena ada sejumlah kasus yang pernah menempatkan orang Pertamina sebagai pesakitan. Namun, sungguhkah semua itu berhenti kepada manajemen Pertamina? Bukan rahasia dari masa ke masa Pertamina selalu objek dari setiap rezim kekuasaan. Rezim baru selalu membersihkan orang yang dianggap “kotor” yang seketika dianggap penjahat, tetapi sesungguhnya hanya sekadar mengganti penjahat baru.

Kalau mau jujur hanya ada beberapa Presiden yang boleh dikatakan benar-benar bersih dalam memanfaatkan Pertamina dengan cara-cara tersamar, sehingga ketika kasus mencuat semuanya ditimpakan kepada orang Pertamina sebagai penanggung jawab tunggal. Kalau Presiden, Menteri dan semua stakeholder bebas dari kepentingan di Pertamina, maka dengan sendirinya Pertamina akan dikelola secara profesional yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Sebab, tidak aka nada pihak yang berani bermain-main di Pertamina. Sebaliknya, kalau ada pihak yang berani bermain dalam perminyakan, tentu keberanian itu muncul karena merasa terkait dengan pemangku kekuasaan, sehingga hampir mustahil penguasa tidak mengetahui berbagai permainan di Pertamina.

Untuk itu, gonjang-ganjing Pertamina yang mutakhir ini masih harus diuji, apakah benar-benar untuk mengembalikan semangat awal Pertamina atau sekadar mengganti pemain yang ketika kekuasaan berganti juga akan melahirkan pesakitan baru. Kalau seperti ini, maka sesungguhnya Pertamina hanya menjadi objek yang tidak membawa perubahan tetapi sekadar mengganti orang lama dengan orang sendiri. Intervensi dari luar Pertamina menyebabkan siapapun tidak akan mampu untuk menjadikan Pertamina sebagai perusahaan negara yang memainkan peran seperti yang diingini para pendahulu untuk mengelola sendiri semua sumber daya energi yang ada.

Namun,  ungkapan yang sering terlontar dari Presiden Prabowo bahwa “ikan busuk dari kepala” juga akan berlaku ketika kepala tidak bersih untuk membersihkan berbagai penyimpangan yang berpotensi terjadi di Pertamina. Kedaulatan energi hanya bisa terjadi, jika Pertamina sebagai perusahaan negara raksasa mampu dikelola professional, transparan dan tanpa kepentingan politik apapun.

Siapapun pemangku kekuasaan negara dan pengelola Pertamina sebaiknya patut untuk kembali kepada semangat awal keberadaan Pertamina, yang lahir dari tekad dan kekuatan sendiri untuk membuktikan kalau Indonesia merdeka mampu mengelola kekayaannya sendiri.

Sejarah mencatat, Pertamina merupakan perubahan dari PN Perusahaan Minyak Nasional (Permina), yang didirikan untuk mengelola sumber minyak di Pangkalan Brandan dengan sumber minyak dari Aceh dan Sumatera Utara, yang merupakan peninggalan zaman Belanda.

Namun, di masa Indonesia merdeka, tidak serta merta kilang itu bisa beroperasi karena berada dalam kerusakan parah sehingga hanya menyisakan puing-puing sisa peperangan. Sebab, kilang itu menjadi sasaran penghancuran karena Belanda tidak mau dikuasai Jepang; begitu juga Jepang tidak mau dikuasai sekutu, sehingga pada masa Indonesia merdeka praktis tidak bisa beroperasi.

Apalagi, berbagai kepentingan berusaha untuk menguasai sumber minyak yang merupakan warisan Belanda. Harus dicatat, ada berbagai kelompok pada saat itu ada DI/TII, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perbum dan kepentingan asing yang tidak rela begitu saja melepas harta yang berharga. Jadi, pada masa Agresi Militer Belanda, kilang Pangkalan Brandan dibumihanguskan, sehingga tidak bisa beroperasi. Kondisi ini menyebabkan, Indonesia merdeka juga kesulitan untuk memanfaatkan sumber minyak yang ada. Di satu sisi, kabinet silih berganti. Belum lagi, ada pro dan kontra mengenai nasionalisasi lapangan minyak.

Pada awal 1954, pemerintah mengambil kebijakan sementara untuk menempatkan ladang minyak di Sumatera Utara langsung di bawah Kementerian Urusan Ekonomi. Untuk itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1956 Tentang Tambang Minyak Sumatera Utara. Intinya, peraturan ini mengatur kalau TMSU tetap dikuasai  Pemerintah. Kekuasaan itu dijalankan Menteri Perekonomian, yang berhak mengadakan pengawasan, memberikan instruksi-instruksi dan petunjuk-petunjuk lainnya.

Pada awal tahun 1957, situasi politik nasional goyah, karena beberapa menteri dalam Kabinet Ali II mengundurkan dan bermuara pada penyerahan mandat kepada Presiden Soekarno pada Maret 1957. Presiden Soekarno segera membentuk kabiner karya pada April 1957, yang dipimpin Perdana Menteri Ir. Djuanda Kartawidjaja. Kabinet Djuanda ini merupakan kabinet ahli, karena tidak menjadi keterwakilan partai politik sebagai pertimbangan.

Dalam masa Kabinet Djuanda ini, pemerintah Indonesia melakukan pengambilihan perusahaan Belanda (nasionalisasi). Selain itu, Kabinet Djuanda mengambil kebijakan untuk menyerahkan pengelolaan perminyakan Sumatera Utara melalui penandatangan persetujuan antara KSAD Jenderal A.H. Nasution dengan Menteri Perdagangan, Prof. Drs. Soenardjo dan Menteri Perindustrian, Ir. Freddy Jaques Inkiriwang.

Poin persetujuan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan KSAD Jenderal A.H. Nasution itu, antara lain, pengelolaan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) harus dibentuk badan hukum, yang seluruh sahammnya dimiliki pemerintah; kepala daerah otonom harus diberikan kesempatan turut serta dalam pembangunan perusahaan ini; pimpinan akan dipegang KSAD sebagai penguasa perang; prioritas harus diberikan kepada perbaikan dan pembangunan tambang minyak, supaya minyak mentah dapat diekspor untuk membiayai pembangunan selanjutnya; Kementerian Perdagangan dan Perindustrian tetap memberikan bimbingan.

Setelah itu, Menteri Perindustrian Inkiriwang memberikan kekuasaan kepada Angkatan Darat untuk membentuk Perusahaan Terbatas (PT). Berdasarkan keputusan itu, Angkatan Darat mendirikan PT. Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera (ETMSU), dengan Ibnu Sutowo, Mayor Harijono sebagai wakil pemerintah. Dewan Direksi terdiri dari, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan,Komandan Militer dan Gubernur Daerah Aceh, Komandan Militer dan Gubernur Sumuatera Utara, yang bertindak selaku wakil negara.

Nama PT. ETMSU tidak bertahan lama, karena Jenderal Nasution meminta diubah, sehingga perusahaan itu benar-benar mewakili sebagai sebuah perusahaan negara. Untuk itu, berdasarkan akte pada 10 Desember 1957, nama PT. ETMSU diubah menjadi PN. Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Jadi, Permina ini didirikan berdasarkan surat Keputusan Menteri Perindustrian tanggal 15 Oktober 1957 Nomor 3177/M dan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat tanggal 15 Oktober 1957 No. PRT/PM/017/1957.

Ibnu Sutowo dan JM Pattiasina. (foto: dok)

Pengorbanan Darah dan Air Mata Prajurit Genie Pioner

Setelah pergantian nama perusahaan ini, Ibnu Sutoqo mengangkat staf untuk membantu operasional Permina,yakni Mayor Harijono, Mayor Geudong dan Kapten Affan, tetapi tidak ada yang berlatar belakang perminyakan, termasuk Ibnu Sutowo yang merupakan dokter di perusahaan minyak di Palembang. Dengan berbagai persoalan lapangan dan kerusakan parah kilang minyak menyebabkan kilang minyak tidak bisa beroperasi.

Namun, situasi yang rumit itu berubah seiring dengan penugasan Komandan Genie Pioner Sumatera Selatan, Mayor JM Pattiasina ke Pangkalan Brandan. Pattiasina sudah berkenalan dengan Ibnu Sutowo di Palembang. Sebab, sebelum masa perjuangan kemerdekaan, Ibnu Sutowo merupakan dokter di perusahaan minyak, sedangkan JM Pattiasina merupakan teknisi kilang minyak di Palembang.

Pattiasina ketika melihat kondisi Pangkalan Brandan ternyata sangat tidak kondusif dan ada beragam gangguan untuk mengelola tambang minyak peninggalan Belanda ini. Karena keamanan yang tidak baik, Pattiasina melaporkan kondisi ini dan mendapat arahan dari pimpinan militer di Jakarta, agar membawa satu batalion ke Pangkalan Brandan. Pattiasina ke Palembang dan kembali ke Pangkalan Brandan dengan membawa Detasemen X Batalion 34/Bukit pada tahun 1957. Pattiasina merupakan Komandan Detasemen ini yang menguasai wilayah strategis untuk mengelola minyak. Detasemen ini beranggotakan personil Genie Pioner Sumatera Selatan dengan berbagai kemampuan teknik, tetapi juga handal sebagai tentara. Pasukan Genie rata-rata merupakan bekas Laskar Minyak Sumatera Selatan pada masa perjuangan yang berada di bawah Komando Letkol Pattiasina. Pada tahun 1949, selepas gerilya, pangkat Letkol diturunkan menjadi Mayor.

Tugas memimpin batalion ke Pangkalan Brandan, bukan perkara mudah, karena harus memastikan logistik untuk pasukan. Dengan bekal yang terbatas, tidak ada jalan lain kecuali, menjalankan tugas dalam situasi serba darurat. Berbagai kesulitan itu bisa teratasi karena pergaulan Pattiasina dengan berbagai kalangan yang rela membantu upaya Pattiasina.

Ketika tiba di Pangkalan Brandan, Pattiasina hanya menemukan puing-puing kilang di antara rerumputan ilalang. Meski Permina sudah berdiri tapi sebenarnya tidak ada kemajuan dalam pekerjaan di Pangkalan Brandan. Jadi, Pattiasina selain menjadi manajer Permina di Pangkalan Brandan, juga merupakan Komandan Detasemen X Batalyon Sriwijaya 34 Bukit. Batalyon ini bukan sekadar untuk kepentingan pengamanan di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, tetapi pasukan teknik dari Sumatera Selatan ini juga mumpuni dalam mengerjakan pekerjaan teknik. Bahkan, ada beberapa di antaranya yang merupakan ahli las dari zaman Hindia Belanda di Plaju dan Sungai Gerong.

Sebenarnya, untuk mengelola lapangan minyak di Sumatera dan Aceh sudah diberlakukan berbagai upaya dan rencana. Bahkan, hal ini dibahas di parlemen pada 1954, telah ada rencana untuk mendirikan kilang baru untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 157 ton per hari menjadi 450 ton. Empat kilang baru akan didirikan di Pangkalan Brandan, masing-masing dengan kapasitas 40 ton per hari. Dua kilang baru, masing-masing dengan kapasitas 50 ton per hari, akan tiba di Pangkalan Susu. Dua kilang akan didirikan di Rantau, masing-masing dengan kapasitas 30 ton per hari.

Namun, ada juga pesimis kalau mau memperoleh hasil dari Sumatera Utara dan Aceh hanya mungkin kalau dibangun kilang sederhana. Sebab, tidak mungkin negara mampu mengelola atau mempertahankan kilang modern seperti BPM atau Stanvac, karena negara tidak memiliki devisa dan kekuatan pakar, belum lagi ketidakmungkinan bahkan dapatkan peralatan yang dibutuhkan untuk kilang. Hanya saja, sampai dengan tahun 1958, semua ini hanya tinggal rencana dan nanti akan terbukti ternyata Indonesia mampu mengekspor minyak ke luar negeri dengan memanfaatkan puing kilang tua di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu.

Penghancuran kilang-kilang pada masa Belanda, Jepang dan Sekutu ini menyebab Kilang Pangkalan Brandan hanya menyisakan puing-puing, yang tidak dapat difungsikan. Karena bukan hanya kilang yang rusak, tetapi Pelabuhan Pangkalan Susu, yang menjadi tempat pengapalan minyak juga mengalami kerusakan parah.

Pangkalan Susu yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Pangkalan Brandan, praktis tidak bisa digunakan karena setelah dibom Sekutu dan tida pernah ada upaya perbaikan. Ada beberapa tangki penyimpanan yang bisa dipakai, sementara jetty rusak berat. Begitu juga pompa yang digunakan untuk mengalirkan minyak ke tangki, juga tidak ada yang berfungsi. Kerusakan Pangkalan Susu ini sejak dibom Sekutu menyebabkan tidak pernah ada lagi pengapalan minyak dari Pangkalan Susu.

Selama Kilang Pangkalan Brandan beroperasi pada masa Hindia Belanda mendapat pasokan minyak dari lapangan minyak Rantau, berjarak sekitar 55 kilometer dari Pangkalan Brandan. Lapangan ini dikelola Shell sejak tahun 1929. Kondisi lapangan Rantau ini masih bisa beroperasi, karena bebas dari aksi bumi hangus. Lapangan ini sangat membantu pada masa perang, karena bisa dioperasikan dengan cara tradisional dengan kapasitas yang kecil.

Sementara dua lapangan minyak, yang berjarak sekitar 70 kilometer dan 100 kilometer dari lapangan Rantau berada dalam kondisi tidak aktif. Apalagi, semua instalasi pipa untuk mengalirkan minyak ke Kilang Pangkalan Brandan dan pipa ke Pangkalan Susu berada dalam keadaan rusak. Sedangkan, kondisi jalan yang rusak menyebabkan, Pangkalan Brandan ke Rantau bisa ditempuh dalam waktu 24 jam. Apalagi, kalau musim, akan memakan waktu lebih lama lagi.

Kedatangan Pattiasina dan pasukannya menghadapi tantangan yang tidak ringan, pipa mengalami kerusakan berat. Dari empat instalasi pipa ukuran 8 (delapan) inci untuk menyalurkan minyak dari lapangan minyak ke Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, hanya ada satu pipa yang bisa digunakan. Tangki kilang hanya rongsokan dan puing-puing sisa aksi bumi hangus. Bukan cuma itu, karena upaya perbaikan menjadi masalah tersendiri yang dihadapi Permina, karena lapangan minyak dan pipa berada dalam jangkauan DI/TII, sehingga upaya perbaikan akan mempertaruhkan nyawa.

Kerumitan yang dihadapi Pattiasina rupanya belum cukup, karena PRRI juga masih eksis di Sumatera Utara dan Aceh. Sementara di kalangan pekerja minyak, juga menghadapi persoalan yang tidak kalah rumit, karena adanya perbedaan antara Perbum dan non Perbum. Posisi Perbum yang berafiliasi ke kiri mempunyai posisi yang sangat kuat, sehingga tidak bisa dipandang enteng.

Berada di antara tumpukan rongsokan dan masalah itu, tidak membuat Pattiasina patah arang. Belum lagi, keterbatasan logistik yang dialami pasukan Pattiasina menjadi pelengkap dari semua persoalan yang harus dihadapi Pattiasina.

Sebelum diserahkan ke Angkatan Darat, sumur minyak dikelola TMSU. Dari 200 sumur ada lima yang dimanfaatkan. Tapi, tidak ada pemasukan untuk negara sama sekali, karena menganggap perusahaan swadaya. Ketika Pattiasina tiba, di atas bekas kompleks BPM di Pangkalan Brandan hanya menyisakan reruntuhan dan puing yang ada. Seluruh kompleks ditumbuhi  rumput liar tumbuh. Kilang dalam keadaan rusak tidak mungkin digunakan. Pipa dan kilang sudah hancur dan berkarat karena sudah lama terlantar.

Kondisi lapangan di Pangkalan Brandan, ini setidaknya memberikan penjelasan mengapa Kabinet Djuanda memberikan pengelolaan TMSU kepada Angkatan Darat. Dengan pengelolaan oleh Angkatan Darat, bukan saja diharapkan bisa menjamin keamanan, tetapi juga dibutuhkan kedisiplinan untuk menghadapi kerumitan persoalan di lapangan.

Situasi yang ada bukan sekadar membutuhkan figur tentara, tetapi juga membutuhkan kualifikasi teknik dan kepemimpinan yang berani dan tegas. Tanpa syarat ini, tentara hanya bisa menjamin keamanan, tetapi tidak akan mampu menyelesaikan perbaikan pipa dan kilang minyak, pelabuhan dan sebagainya.

Jadi, bukan tanpa alasan, kalau pimpinan TNI AD menaruh kepercayaan kepada Mayor Pattiasina. Apalagi, Direktur Utama Permina, dr. Ibnu Sutowo sangat mengetahui kemampuan dan keberanian Pattiasina dalam menghadapi setiap persoalan. Pattiasina bukan saja ditempa keahlian teknik ketika menjadi teknisi senior di kilang Plaju dan Sungai Gerong, tetapi juga ditempa dalam masa perang dan gerilya.

Keahlian Pattiasina dalam memperbaiki kilang ini yang menyebabkan dirinya dikejar Jepang pada masa pendudukan Jepang. Selain itu, keahlian ini juga yang digunakan untuk mensuplai minyak bagi perjuangan di Sumatera Selatan. Keahlian Pattiasina lagi-lagi dibutuhkan untuk menyelesaikan kerumitan yang terjadi di Pangkalan Brandan.

Sebelum melakukan upaya perbaikan pipa dan kilang, Pattiasina harus memastikan terlebih dahulu, jalur yang digunakan untuk memperbaiki pipa dan kilang, serta lokasi lapangan minyak berada dalam kondisi aman dari gangguan DI/TII atau dari bebagai kelompok lain. Selain itu, Pattiasina harus memastikan semua tenaga kerja yang tergabung dalam Perbum mendukung upaya perbaikan kilang yang memang sangat dibutuhkan. Dengan syarat dua kondisi ini yang memungkinkan upaya perbaikan instalasi dan kilang minyak dapat dilakukan.

Walau masih banyak persoalan yang melilit di lapangan, tetapi Pattiasina tetap fokus untuk segera bisa mengirim minyak ke luar negeri. Sebab, Pattiasina bertugas untuk mempersiapkan dan memastikan pengapalan minyak dari Pangkalan Susu ke luar negeri.

Berbagai usaha keras dan ketekunan yang luar biasanya, akhirnya minyak bisa juga ditampung dalam tangki di Pangkalan Susu. Setelah melakukan penampung minyak mentah, pada akhirnya sejarah mencatat Indonesia untuk pertama kalinya mengirim minyak hasil kerja sendiri ke luar negeri. Tepat pada 24 Mei 1958, minyak mentah pertama dari Indonesia resmi dimuat di kapal Shozui Maru. Kapal kecil berukuran sekitar 3.000 dwt hanya mampu mengangkut 1.700 ton minyak mentah dengan nilai jual sekitar $ 30.000. Kapal kecil ini sengaja digunakan, karena tidak bisa memastikan hambatan yang ada di bawah air, di sekitar Pangkalan Susu, karena khawatir akan rongsongkan material pada masa perang.

Selain Anak Buah Kapal (ABK), juga terdapat enam orang dalam Kapal Shozui Maru yang akan membawa minyak ke Jepang, yakni Mayor Harijono, Mayor Pattiasina, Basaruddin Nasution (Perwakilan Permina), Jimmy Perkins, Joe Gohier dan Harold Hutton serta Betty Hutton (Perwakilan Refican). Keikutsertaan Basaruddin Nasution ini lebih kepada aspek legal, karena Basaruddin Nasution merupakan ahli hukum di Angkatan Darat. Sedangan Refican (Refining Associates Canada Ltd) ini merupakan perusahaan Hutton yang bekerjsama dengan Permina.

Keberhasilan Permina mengirim perdana minyak ke Jepang ini menyebabkan Pattiasina ditawari sebagai Direktur Teknik dan Eksploitasi (Permina). Pattiasina mendirikan Kantor Pusat di Pangkalan Brandan dan dengan caranya sendiri menyusun organiasi pengoperasian kantor. Dia memilih menggunakan cara-cara biasa berdasarkan pengalamannya dalam bisnis perminyakan.

Keberhasilan Permina ini membangkitkan kepercayaan terhadap kemampuan Indonesia, sehingga dukungan investasi terus mengalir dan secara perlahan Permina merangkak naik. Di kemudian hari, Permina berubah nama menjadi Pertamina yang terus melebarkan sayap sebagai perusahaan raksasa Indonesia. Namun, semua itu tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai pengekspor minyak, karena suka tidak suka, fakta menunjukkan kalau ada keengganan untuk membuat kilang pengolahan minyak, sehingga akhirnya bergeser menjadi pengimpor minyak. Hal ini, tentu tidak sejalan dengan semangat awal, dimana semua minyak diolah di dalam negeri. Namun, keterbatasan kilang pengolahan dengan sendirinya Indonesia harus mengandalkan impor.

Pengolahan minyak dalam negeri saat ini, sangat ironis karena pada masa awal, Indonesia mampu bangkit dengan personel tentara Teknik dan nyaris tanpa modal. Tetapi, ketika Pertamina beranjak menjadi raksasa, justru menunjukkan ketidakmampuan untuk mewujudkan kedaulatan energi bagi kesejahteraan rakyat. Kini, mari kita tunggu apakah Pertamina kembali ke semangat awal perjuangan sebagai ujung tombak kedaulatan energi atau memang hanya sekadar mengganti pemain dengan tidak mengubah apapun. Namun, kita semua selalu berharap yang terbaik.(*)

Penulis, Dipl-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation yang juga saksi mata situasi awal eksistensi Permina di Pangkalan Brandan.

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan