Penulis: Dr. Arsalim (Dosen Pascasarjana Universitas Sulawesi Tenggara)
KENDARIPOS.CO.ID-Pada akhirnya, yang runtuh bukan hanya lereng perbukitan, jembatan, atau rumah-rumah warga, tapi yang roboh sesungguhnya adalah sistem yang seharusnya menjaga keselamatan publik. Banjir besar yang kembali melanda Aceh dan berbagai wilayah di Sumatera, mengingatkan kita bahwa bencana tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu memiliki akar, dan sering kali akar itu tumbuh dari keputusan-keputusan yang mengabaikan integritas dalam pengelolaan ruang hidup kita.
Hujan deras hanyalah pemantik, yang membuat banjir berubah menjadi air bah adalah rapuhnya benteng alam yang selama ini menjadi pelindung kita yaitu hutan, daerah tangkapan air, dan sungai-sungai yang dulu mengalir jernih. Ketika penyangga alam itu rusak, bencana menjadi tinggal menunggu waktu. Dalam banyak kasus, kerusakan itu tidak lepas dari praktik korupsi yang menyelinap di celah-celah perizinan, pengawasan, serta tata kelola sumber daya alam.
Di Aceh, Sumatera dan sebagian besar wilayah Sumatera lainnya, banjir dan longsor bukan lagi peristiwa luar biasa. Ia datang dengan pola yang nyaris sama, intensitas hujan tinggi, hutan yang hilang, dan lahan yang berubah fungsi dalam skala besar.
Dalam banyak laporan organisasi lingkungan, disebutkan bahwa pembukaan hutan di kawasan sensitif sering kali terkait dengan ketidakpatuhan terhadap aturan tata ruang. Ada izin yang diterbitkan tanpa kajian matang, ada pengawasan yang tidak berjalan, hingga penindakan yang tersendat. Semua itu membuka ruang bagi kepentingan yang lebih besar daripada keselamatan ekologis.


















































