SHNet, Denpasar-Para pakar hukum di Bali menilai cara Gubernur Bali I Wayan Koster dalam menangani masalah sampah di Bali dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang baru adalah tindakan yang salah. Pasalnya, Pemprov Bali sudah memiliki payung hukum yang cukup banyak pada periode sebelumnya terkait penanganan permasalahan sampah, termasuk sampah plastik sekali pakai.
“Cara Gubernur Koster melangkah salah dalam proses penegakan untuk memberantas sampah. Niat yang baik dalam menangani sampah di Bali perlu cara yang benar. Tapi, cara yang dipakai Pemprov Bali dengan mengeluarkan SE baru itu adalah tindakan yang salah,” ujar Pakar Hukum, Gede Pasek Suardika (GPS) baru-baru ini.
Seperti diketahui, Gubernur Koster mengeluarkan SE Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang memuat larangan produksi dan penjualan semua air minum kemasan gelas dan botol plastik sekali pakai berukuran kurang dari satu liter. Disebutkan juga, jika desa/kelurahan dan atau desa adat tidak melaksanakan SE tersebut akan dikenakan sanksi berupa penundaan bantuan keuangan dan pencairan insentif Kepala Adat dan Perangkat Desa.
GPS mengutarakan Provinsi Bali sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang cukup banyak terkait penanganan sampah pada periode lalu. Masalahnya, menurut dia, Pemprovnya yang tidak benar-benar melaksanakannya dengan baik. Disebutkan, beberapa di antaranya adalah Perda Provinsi Bali No. 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah ; Perda Provinsi Bali No. 1 tahun 2017 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup ; Pergub Bali No. 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah plastik Sekali Pakai ; Pergub Bali No. 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber ; Pergub Bali No. 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut ; Keputusan Gubernur Bali Nomor 381 tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat ; dan Instruksi Gubernur Bali No. 8324 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat.
“Lalu sekarang mengeluarkan lagi produk hukum baru yang namanya surat edaran. Untuk apa dikeluarkan kebijakan lagi, sedang kebijakan yang lama saja tidak dilaksanakan sama sekali,” kata GPS.
Apalagi, lanjutnya, mengacu pada pasal di Undang-Undang 12 tahun 2011 yang mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, SE itu tidak dikenal. Menurutnya, SE itu hanya produk kebijakan, sehingga tidak boleh ada pengenaan sanksi di dalamnya. Disebutkan, SE itu sifatnya hanya memandu secara teknis sesuatu yang sifatnya internal. “Kalau bahasa sepadannya, surat edaran itu sama dengan nota dinas. Karena secara payung hukumnya sudah salah, di mana dalam SE Gubernur Koster itu ada larangan-larangan, maka masyarakat tidak perlu menaatinya juga nggak apa-apa,” ungkapnya.
Dia juga menyoroti sikap yang tidak jelas dari Gubernur Bali di SE-nya itu, apakah Bali akan mengambil posisi memusuhi plastik atau mengendalikan plastik. “Kalau sikapnya memusuhi plastik, berarti semua yang berbau plastik itu kan harus diharamkan. Tidak boleh yang diatur itu hanya sampah plastik sekali pakai air minum kemasan yang kecil-kecil saja,” tukasnya.
Pasalnya, kata GPS, kalau mau mengatur itu harus komprehensif sifatnya. Karena, menurutnya, produk sachet malah sangat banyak dan hampir setiap saat penggunaannya oleh masyarakat Bali. Kemudian, helm yang dipakai seluruh masyarakat yang punya motor di Bali juga harus dilarang karena bahannya dari plastik. Ada juga styrofoam, karung beras, gula, dan lain-lain. “Jika semua itu dilarang, sanggup tidak Pemprov Bali menyediakan alternatif penggantinya,” tandasnya.
Dia juga mengamati bahwa sebenarnya politik anggaran sampah di Bali itu tidak tercermin dari kesungguhan publikasi pemberantasan sampah di masyarakat. Menurutnya, publikasi pemberantasan sampah plastik di Bali itu luar biasa di media, tetapi di politik anggarannya sangat minim. “Jadi, itu sama sekali tidak berkorelasi dengan tindakan nyata yang memang benar-benar ingin menanggulangi sampahnya. Semua yang dilakukan Pemprov Bali seakan hanya untuk gimmick saja, termasuk SE yang baru itu,” ujarnya.
Kalau memang mau serius dalam menangani sampah di Bali itu, GPS menyarankan agar yang dilakukan Pemprov Bali adalah pengendalian pemakaian plastik dan bukan pelarangan. Karena, menurut dia, sampah itu tidak bisa dihilangkan, tapi hanya dapat dikendalikan secara bertahap mulai dari proses identifikasi, edukasi, sosialisasi, proyeksi, aksi, fasilitasi, supervisi, dan evaluasi. “Jadi, tidak boleh melarang-larang apalagi sampai mengintimidasi masyarakat agar tidak menggunakan air minum kemasan gelas dan botol plastik sekali pakai,” katanya.
Hal senada diutarakan Pakar Hukum dari Universitas Udayana (Unud), Prof. Dr. I Made Arya Utama. Dia juga mengatakan bahwa sebetulnya Pergub yang sudah ada pada periode sebelumnya sudah cukup untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan sampah di Bali dan tidak perlu lagi ada kebijakan baru seperti SE yang sifatnya juga tidak wajib dilakukan. “Untuk apa banyak-banyak kebijakan dikeluarkan kalau tidak ada pelaksanaannya. Kalaupun mau mengeluarkan Surat Edaran, itu cukup untuk mengingatkan saja Pergub yang sudah ada. Tidak usah menambah-nambahi aturannya. Karena Pergub itu saja sudah cukup bagus, itu saja yang dieksekusi,” ucapnya.
Dia menegaskan tidak boleh ada kebijakan yang diskriminatif dalam penanganan permasalahan sampah di Bali seperti hanya diberlakukan terhadap satu jenis sampah plastik saja. Menurutnya, semua jenis sampah termasuk sachet juga harus diperlakukan sama. “Pergub kan juga sebenarnya sudah mengaturnya dan malah tidak tebang pilih. Pergub mengatur semua jenis sampah plastik dan bukan hanya plastik air minum kemasan sekali pakai yang kecil saja,” katanya. (cls)