Gaya Hidup Sustainable di Tengah Konsumerisme: Nyata atau Sekadar Tren Media Sosial?

1 day ago 8

Oleh: Diana Triwardhani

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “gaya hidup berkelanjutan” atau sustainable lifestyle semakin akrab di telinga masyarakat, terutama di kalangan anak muda perkotaan. Kesadaran terhadap perubahan iklim, polusi, dan limbah berlebihan tampaknya mendorong banyak orang untuk mengubah kebiasaan hidup mereka menjadi lebih ramah lingkungan. Fenomena ini juga tampak nyata di media sosial, di mana berbagai kampanye, tantangan, dan konten bertema ramah lingkungan banyak bermunculan, seperti penggunaan tote bag, sedotan stainless, produk daur ulang, hingga mode slow fashion.

Namun, di balik meningkatnya popularitas gaya hidup sustainable, muncul pertanyaan kritis: apakah semua ini benar-benar mencerminkan perubahan kesadaran dan perilaku masyarakat yang mendalam, atau hanya sebatas tren yang dikonsumsi demi eksistensi digital semata? Apakah gaya hidup berkelanjutan telah menjadi bagian nyata dari cara hidup masyarakat, atau masih sebatas simbolisme yang tidak berdampak signifikan?

Gaya Hidup Berkelanjutan: Definisi dan Praktiknya

Gaya hidup berkelanjutan mengacu pada pola hidup yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, melalui tindakan-tindakan seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih transportasi ramah lingkungan, membeli produk lokal, meminimalkan konsumsi energi, hingga mengadopsi diet berbasis nabati. Tujuan utamanya adalah menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan jangka panjang.

Contoh nyata dari gaya hidup ini mencakup penggunaan energi terbarukan, mengurangi fast fashion, menerapkan prinsip “less is more” dalam konsumsi barang, serta mendukung ekonomi sirkular yang mengedepankan daur ulang dan penggunaan ulang barang.

Ledakan Konten “Sustainable” di Media Sosial

Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube kini dibanjiri oleh konten-konten bertema ramah lingkungan. Influencer memamerkan rutinitas zero waste, tutorial membuat sabun alami, rekomendasi produk ramah lingkungan, hingga tur rumah minimalis. Tren ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya permintaan audiens akan gaya hidup yang lebih etis dan bertanggung jawab.

Namun demikian, tidak sedikit pula konten tersebut yang justru menyiratkan kontradiksi: menyuarakan gaya hidup minimalis sambil terus mempromosikan produk-produk baru. Fenomena ini sering disebut sebagai “greenwashing digital”, yakni ketika gaya hidup berkelanjutan dijadikan alat pemasaran untuk meningkatkan citra dan keuntungan, tanpa ada perubahan nyata dalam pola produksi atau konsumsi.

Konsumerisme Berkedok Sustainable

Salah satu paradoks besar dalam tren sustainable lifestyle adalah ketika semangat konsumsi tetap tinggi, hanya bergeser dari produk konvensional ke produk yang dilabeli “ramah lingkungan”. Banyak orang merasa telah melakukan perubahan besar hanya dengan mengganti produk biasa dengan versi “eco-friendly”, tanpa mengurangi kuantitas atau frekuensi konsumsinya.

Sebagai contoh, alih-alih mengurangi pembelian pakaian, sebagian orang justru membeli lebih banyak item dari brand yang mengusung “sustainable fashion”. Begitu pula dengan tren membawa tumbler atau tote bag yang pada praktiknya menjadi ajang koleksi baru, bukan pengganti konsumsi berlebihan. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana gaya hidup berkelanjutan kadang menjadi bentuk baru dari konsumerisme yang dibungkus dengan narasi etis.

Tantangan Gaya Hidup Sustainable yang Otentik

Mewujudkan gaya hidup berkelanjutan yang otentik bukan perkara mudah. Beberapa tantangan utama yang dihadapi antara lain:

Pertama, Harga Produk Ramah Lingkungan: Produk-produk berlabel “eco-friendly” sering kali dibanderol dengan harga lebih mahal. Hal ini membuat gaya hidup berkelanjutan tampak eksklusif dan tidak inklusif bagi semua kalangan.

Kedua, Kurangnya Edukasi dan Akses Informasi: Tidak semua orang memiliki pemahaman yang cukup tentang apa itu keberlanjutan, apalagi bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Informasi yang beredar sering kali bersifat permukaan dan belum menyentuh aspek struktural.

Ketiga, Struktur Sosial dan Sistem Ekonomi: Gaya hidup individu tidak bisa dilepaskan dari sistem yang lebih besar. Jika sistem produksi dan distribusi barang masih mendorong konsumsi massal dan menghasilkan limbah besar, maka upaya individu akan sulit mencapai dampak besar.

Keempat, Dampak Media Sosial: Alih-alih mendorong perubahan positif, media sosial justru bisa menciptakan tekanan sosial dan ekspektasi palsu tentang gaya hidup ideal, yang mendorong konsumsi simbolik, bukan substansial.

Menuju Keberlanjutan yang Nyata

Untuk mewujudkan gaya hidup berkelanjutan yang lebih otentik, perlu ada pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif:
Pertama, Edukasi yang Mendalam: Kampanye keberlanjutan harus menyentuh akar persoalan dan menyasar semua lapisan masyarakat, bukan hanya kalangan terdidik dan menengah ke atas.

Kedua, Kebijakan Publik yang Mendukung: Pemerintah perlu menciptakan regulasi yang mendorong produksi hijau, mengurangi limbah, serta memudahkan akses masyarakat terhadap pilihan-pilihan ramah lingkungan.

Ketiga, Partisipasi Komunitas Lokal: Komunitas bisa menjadi agen perubahan dengan menginisiasi gerakan-gerakan lokal seperti bank sampah, urban farming, atau koperasi daur ulang.

Keempat, Refleksi Konsumsi Pribadi: Gaya hidup berkelanjutan bukan tentang seberapa banyak produk “hijau” yang kita beli, tetapi seberapa banyak kita bisa mengurangi konsumsi yang tidak perlu.

Gaya hidup berkelanjutan memang menjadi topik hangat dan populer di era digital saat ini. Namun, popularitas di media sosial tidak selalu sejalan dengan dampak nyata di dunia nyata. Ketika gaya hidup sustainable hanya dijadikan tren konsumsi baru tanpa refleksi mendalam dan perubahan perilaku yang signifikan, maka semangat keberlanjutannya menjadi semu.

Agar gaya hidup ini tidak berhenti sebagai simbolisme, perlu ada upaya kolektif yang mencakup perubahan perilaku individu, peran aktif komunitas, dukungan kebijakan publik, serta edukasi yang memberdayakan. Hanya dengan cara inilah gaya hidup berkelanjutan bisa benar-benar menjadi kekuatan transformatif untuk masa depan bumi yang lebih baik.

Penulis, Diana Triwardhani, SE.MM., Ph.D adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UPN Veteran Jakarta

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan