
Penulis : AZWAR AMIRUDDIN
(Praktisi dan Akademisi Perpajakan)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Pada tahun 2024 jumlah sengketa bisnis yang masuk menurut data dari Mahkamah Agung (MA) mencapai 31.112 perkara dengan 30.965 perkara diterima tahun 2024 dan sisa 147 perkara di tahun 2023 dan hingga akhir 2024 diperkirakan MA telah memutus sebanyak 30.763 perkara. Jumlah yang dari tahun ketahun meningkat ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, kegagalan dalam menyusun kontrak yang jelas menjadi pemicu utama sengketa bisnis di pengadilan perdata. Dari ribuan gugatan perdata bisnis yang masuk, sekitar 75% (berdasarkan sampel kasus di beberapa Pengadilan Negeri khusus niaga) berakar pada kontrak dengan klausul ambigu atau multitafsir. Akar permasalahan dari gugatan perdata sebagian besar berasal dari proses contract drafting tanpa memegang prinsip kehati-hatian dalam berkontrak. Penggunaan kosakata hingga kalimat yang samar menyebabkan interpretasi yang berbeda berdasarkan sudut pandang dan kepentingan dari masing-masing pihak. Tidak dapat dipungkiri kontrak bisnis yang tidak dirancang dengan cermat seringkali mengandung kalimat yang tidak spesifik sebagai contoh "pembayaran dilakukan sesuai kinerja" dimana tidak ikut didefinisikannya apa yang dimaksud dengan kinerja yang terukur. Selain itu seringkali kontrak juga mengandung istilah yang kabur seperti penggunaan kata seperti "layak", "segera", atau "terbaik" tanpa batasan jelas. Penyebab lain juga bisa diakibatkan timbulnya lubang hukum atau kekosongan hukum (legal gap) dimana seringkali kontrak yang dibuat tidak mengantisipasi skenario tidak terduga atau force majeure secara memadai. Kontrak yang baik, cermat dan konsisten menghindari adanya klausul yang saling bertentangan dengan klausul lain dalam dokumen yang sama.
Ambiguitas dalam bahasa kontrak ibarat bom waktu. Saat terjadi perbedaan kepentingan atau keadaan berubah, masing-masing pihak menarik interpretasi yang paling menguntungkan mereka. Hal ini pula lah yang memicu gugatan ke Pengadilan dimana pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan perdata untuk menuntut pemenuhan kontrak, ganti rugi, atau pembatalan perjanjian. Biaya proses hukum yang besar menjadi tidak terhindarkan seperti biaya pengacara, mediator, dan biaya pengadilan membebani kedua belah pihak dengan jumlah yang kadang sudah tidak realistis dan relevan dibandingkan dengan benefit yang seharusnya diperoleh diawal sengketa terpikirkan oleh masing-masing pihak. Tidak jarang proses hukum yang panjang mengalihkan perhatian dari operasional bisnis inti sehingga waktu produktif terbuang dan para pihak yang bersengketa terganggu fokusnya dalam berbisnis. Perselisihan yang berujung pengadilan juga biasanya merusak kepercayaan dan hubungan kerja sama di masa depan.
Salah satu kasus yang menonjol di tahun 2024 adalah sengketa antara perusahaan franchisor dan franchisee di sektor makanan. Kontrak franchise yang digunakan memiliki klausul pembayaran royalti berbasis "omzet kotor" namun tidak mendefinisikan secara eksplisit komponen apa saja yang termasuk dalam "omzet kotor". Franchisee mengklaim diskon promo besar-besaran dan biaya pengiriman pihak ketiga harus dikurangi sebelum perhitungan royalti, sementara franchisor berpegang pada interpretasi literal "semua pemasukan". Perbedaan interpretasi ini berujung pada gugatan perdata bernilai miliaran rupiah.
Hal penting yang dapat dipetik dari kenyataan diatas bahwasanya investasi waktu dan biaya untuk menyusun kontrak yang jelas, rinci, lengkap, dan diulas oleh profesional hukum (legal drafting process) bukanlah biaya, melainkan investasi. Kontrak yang baik adalah fondasi hubungan bisnis yang sehat dan alat pencegahan sengketa yang paling efektif. Sebelum menandatangani, pebisnis atau para pihak dalam kontrak harus pastikan setiap klausul dipahami bersama dan semua skenario kritis telah diantisipasi. Lebih baik menghabiskan waktu di meja perundingan menyempurnakan kontrak, daripada menghabiskan waktu dan sumber daya yang jauh lebih besar di meja hijau pengadilan. (*)
Makassar, 7 Juni 2025
Azwar Amiruddin