Oleh: Muhammad Sam Almunawi
(Alumni Fakultas Hukum UHO)
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Secara Terminologi Jabatan Rangkap (Concurrent position in) dimaknai sebagai suatu keadaan dimana orang yang sama menduduki dua jabatan atau lebih sekaligus dalam dua atau lebih lembaga publik atau lembaga pemerintah.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, diadakannya jabatan Wakil Menteri merupakan upaya untuk menciptkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan optimal, terutama dikaitkan dengan berjalannya visi, misi dan program yang dijanjikan presiden saat kampanye pemilu.
Secara Normatif, pengangkatan Wakil Menteri oleh Presiden berlandaskan pada ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, menyebutkan bahwa “dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian tertentu”.
Sedangkan penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa “Yang dimaksud Wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”. Pengertian sederhana, pengangkatan Wakil Menteri sesungguhnya adalah optional bergantung pada kebutuhan pada masing-masing Kementerian tertentu.
Tolok ukurnya adalah beban kerja dan penanganan secara khusus bukan pada aspek mengakomodir kepentingan tertentu. Namun belakangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011 yang intinya mengabulkan sebagian permohonan pengujian pasal 10 UU 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara dengan membatalkan penjelasan pasal tersebut.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menginstruksikan kepada Presiden untuk memperbaharui Perpres yang lama, agar sesuai dengan kewenangan eksekutif dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Pada dimensi lain, Putusan Mahkamah menegaskan bahwa pengangkatan Wakil Menteri merupakan kewenangan mutlak Presiden.
Sejumlah nama Wakil Menteri di Kabinet Merah Putih mendapatkan jabatan sebagai Komisaris dan Direksi di perusahaan BUMN. Setidaknya ada 24 wakil menteri yang merangkap jabatan di berbagai perusahaan BUMN tersebut, diantaranya : Wamen Komdigi Nezar Patria sebagai Komut Indosat, Wamen Komdigi Angga Raka Prabowo sebagai Komut Telkom Indonesia, Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo sebagai Komisaris BRI, Wamen BUMN Aminuddin Ma'ruf sebagai Komisaris PLN, Wamen Imigrasi dan Pemasyarakatan Silmy Karim sebagai Komisaris Telkom, Wamentan Sudaryono sebagai Ketua Dewas Perum Bulog, dan lainnya.
Larangan Rangkap Jabatan Wakil Menteri Dari Aspek Yuridis
Undang-undang 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara melarang Menteri untuk menduduki jabatan lain. Hal mana, disebutkan pada ketentuan norma Pasal 23 UU aquo yang menyatakan bahwa “menteri dilarang merangkap jabatan sebagai : a. Pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. Komisaris atau Direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; c. Pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN atau APBD.
Sedangkan berkaitan jabatan Wakil Menteri tidak disebutkan secara detail dalam Undang-undang tersebut perihal batasan pun larangan rangkap jabatan. Hal yang sama pun ditemukan dalam ketentuan Perpres 60 tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Perpres 77 tahun 2021 tentang Wakil Menteri tidak menyebutkan adanya larangan rangkap jabatan .
Jika mencermati Pertimbangan Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019 hal 96 menyatakan bahwa ”Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan perihal fakta yang dikemukakan oleh para Pemohon mengenai tidak adanya larangan rangkap jabatan wakil menteri yang mengakibatkan seorang wakil menteri dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan Negara atau Swasta.
Terhadap fakta demikian, sekalipun wakil menteri membantu menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas kementerian, oleh karena pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri, maka wakil menteri haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana halnya status yang diberikan kepada menteri. Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri.
Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu. Idealnya, jika larangan rangkap jabatan bagi Menteri telah menjadi norma dalam sistem pemerintahan, maka asas yang sama pun berlaku pada Wakil Menteri. Sebab Jabatan Wakil Menteri bukanlah pelengkap, melainkan bagian dari arsitektur kekuasaan eksekutif yang berperan penting terhadap arah kebijakan kementerian.
Ironisnya, justeru Wakil Menteri yang merangkap Komisaris pada perusahaan BUMN makin bertambah. Bukankah pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi merupakan pertimbangan yang mengikat masuk dalam kategori “rasio decidendi” atau rasio keputusan yang langsung berkaitan dengan kesimpulan dan amar putusan.
Selain Putusan Mahkamah Konstitusi, terdapat beberapa Peraturan perundang-undangan yang melarang perihal Rangkap Jabatan, diantaranya :
- Undang-undang 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 17 huruf (a), menyatakan bahwa Pelaksana dilarang : merangkap sebagai Komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan istansi pemerintah, Badan Usaha milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Pasal 27 B, Dewan Komisaris dilarang merangkap jabatan sebagai :
a. Anggota Direksi, Dewan Komisaris, atau Dewan Pengawas pada BUMN lain, anak usaha BUMN dan turunannya Badan Usaha Milik Daerah; dan/atau
b. Jabatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rangkap Jabatan Wakil Menteri Potensial Konflik Kepentingan
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Admnistrasi Pemerintahan tidak mengatur secara komprehensif terhadap pejabat pemerintah yang merangkap jabatan, namun akibat hukum yang akan terjadi terhadap pejabat yang merangkap jabatan adalah timbulnya konflik kepentingan.
Posisi Wakil Menteri yang rangkap jabatan tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang biasa, karena dapat menimbulkan tidak efektifnya suatu organ pemerintahan, menimbulkan ketidak pastian hukum, terlanggarnya norma-norma hukum yang berlaku serta terjadinya konflik kepentingan (conflick of interest) dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Posisi Wakil Menteri memiliki ruang gerak yang lebih bebas dan tidak terlalu terpantau publik, sehingga potensi konflik kepentingannya jauh lebih tersembunyi namun berbahaya.
Rangkap jabatan ala Wakil Menteri dapat menciptakan ambiguitas peran. Seorang Pejabat yang juga Komisaris bisa berdalih sebagai regulator jika kebijakan perusahaan dikritik. Begitu pun sebaliknya, jika kebijakan Kementerian dinilai berpihak, bisa bersembunyi dibalik status Komisaris yang hanya menjalankan keputusan kolektif. Akuntabilitas yang terpecah ini menyulitkan rakyat menuntuk tanggung jawab.
Dalam sistem demokrasi modern, Akuntabilitas adalah tulang punggung tata kelola, publik berhak mengetahui siapa yang bertanggung atas keputusan yang diambil negara. Akibat praktik rangkap Jabatan tersebut menjelma menjadi perisai kekuasaan.
Sudah sepatutnya Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara direvisi dengan memasukkan ketentuan sebagaimana yang dikehendaki dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019.
“Jabatan merupakan pribadi (Rechtperson) dalam Hukum Tata Negara Positif. Artinya, Pribadi atau manusia sebagai pemangku jabatan, dimana hubungan antara manusia dengan jabatan selama dia memangku jabatan tersebut” (Prof. Harun Alrasid).
(*)