Hilangnya Muru’ah Peradilan Karena Suap Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi Hukum

2 days ago 22

Penulis: Muhammad Sam Almunawi, Pengurus Pusat APKHBI (Asosiasi Profesi Konsultan Hukum Bisnis Indonesia)

Putusan dianggap baik jika hakim tidak sekedar corong undang-undang. Sebab hukum yang bersifat optik perskriptif akan memandang hukum sebagai sistem kaidah yang pengejewantahannya tercermin dari konteks sosialnya. Karena itu, hukum harus dipandang sebagai eksemplar dan menerapkan hukum positif untuk kepentingan masyarakat” (Satjipto Raharjo).

KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID-Dalam konteks negara hukum, lembaga peradilan memiliki kedudukan yang sangat sentral. Posisi lembaga peradilan sebagai pelaksana prinsip keadilan, penjaga supremasi hukum dan simbol legitimasi negara dalam menyelesaikan sengketa secara beradab.

Lembaga Peradilan bukan sekadar institusi administratif yang menjalankan prosedur hukum, tetapi juga merupakan arena dimana nilai-nilai keadilan substantif diuji dan ditegakkan. Dalam kerangka ini, hakim memegang peran yang sangat krusial-bukan hanya sebagai penafsir undang-undang (the mouth of the law), tetapi sebagai pelaku moral yang bertugas menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum secara keseluruhan.

Ronald Dworkin, dalam karya monumentalnya Law's Empire menyatakan bahwa “hukum bukan sekadar kumpulan aturan yang berlaku, tetapi juga harus dijalankan dengan konsistensi terhadap prinsip moral dan keadilan substantif. Keputusan hukum yang diambil oleh hakim harus mencerminkan rasa keadilan yang lebih besar, bukan sekadar memenuhi tuntutan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik atau ekonomi”.

Dalam konteks ini, hakim yang terpengaruh oleh faktor eksternal cenderung mengabaikan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi dasar utama dalam pengambilan keputusan hukum. Tekanan eksternal seperti ini dapat merusak independensi hakim dan merusak kualitas peradilan yang diberikan kepada masyarakat.

Idealnya, hakim tidak hanya tunduk pada teks hukum, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap nilai-nilai etik, nurani, dan rasa keadilan masyarakat. Integritas moral, objektivitas, dan keberanian untuk berpihak pada kebenaran merupakan syarat mendasar yang harus dimiliki oleh seorang hakim.

Secara normatif Hakim memiliki tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum (In Conserto). Tugas Hakim bukan hanya menegakkan hukum (law enforcement), tetapi juga menegakkan keadilan (justice realization), yang mana keduanya tidak selalu identik.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa lembaga peradilan kerap kali gagal memenuhi harapan ideal tersebut. Berbagai kasus penyimpangan, pelanggaran etika, pelanggaran hukum dan moral justru melibatkan aparat peradilan termasuk hakim yang menjadi mafia peradilan itu sendiri. Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah kasus suap perkara tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kasus tersebut menyeret empat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yakni Muhammad Arif Nuryanta Ketua PN Jakarta Selatan (sebelumnya wakil ketua PN Jakarta Pusat), Djuyamnto, Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Keempat hakim tersebut terjerat tindak pidana korupsi dalam kasus dugaan suap Rp. 60 Miliar, untuk mengatur kasus ekspor CPO yang diputus ontslag atau lepas bagi tiga terdakwa korporasi.

Kasus lain yang cukup mencolok adalah kasus suap yang menyeret tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Erintuah Damanik Mangapul serta Heru Hanindyo yang diduga menerima suap untuk membebaskan terdakwa Ronald Tannur anak mantan anggota DPR, dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian. Perbuatan para pengadil ini tidak hanya mencedrai kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, tetapi juga memunculkan persoalan mendalam tentang krisis moralitas ditubuh institusi peradilan.

Suap-Menyuap Meruntuhkan Muru’ah Lembaga Peradilan

Suap menyuap merupakan salah satu modus yang kerap dipergunakan dalam mempengaruhi due process of law. Fenomena hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas” mencerminkan lemahnya integritas aparat dan tidak efektifnya sistem hukum. Untuk memahami hal ini secara menyeluruh, diperlukan pendekatan sosiologi hukum yang melihat hukum dalam praktik sosial, bukan hanya sebagai aturan normatif.

Tabir gelap dunia peradilan dalam pengaturan vonis oleh hakim di Pengadilan kian terpublish. Sinyalemen bobroknya integritas pengadil ini tak bisa lagi dielakkan. Vonis yang idealnya berbasis kepada fakta dan ratio decidendi, mengalami kering rasa keadilan dan jauh dari sendi akal sehat. Akibatnya, putusan yang notabene menjadi mahkotanya hakim mengalami delegitimasi.

Asas “Res Judicata Pro Veritate Habetur” yang bermakna bahwa putusan hakim harus dianggap benar, dalam tataran sosiologis mengalami reduksi kepercayaan karena kualitasnya terbukti dikendalikan oleh kekuatan fulus.

Faktor-faktor yang mendorong perilaku menyimpang ini sangat kompleks dan dapat dikategorikan ke dalam beberapa dimensi utama, diantaranya yaitu :

Faktor Individu (Krisis Integritas Pribadi)

Seorang hakim seharusnya menjadi figur yang mengedepankan moralitas dan integritas yang tinggi dalam menjalankan tugasnya. Hakim bertanggung jawab atas keadilan yang akan dirasakan oleh masyarakat. Idealnya, seorang hakim harus memiliki karakter yang mampu membedakan antara benar dan salah, serta memiliki keberanian untuk menjalankan keadilan meski menghadapi godaan atau tekanan.

Namun, tak jarang banyak hakim yang terjerumus dalam perilaku menyimpang, seperti menerima suap dan terlibat dalam pengaturan putusan. Hakim yang menerima suap atau bertindak tidak adil sesungguhnya bukan hanya meruntuhkan dunia peradilan, tetapi lebih jauh telah kehilangan virtue of justice (sifat keadilan).

Kegagalan dalam mempertahankan keadilan ini, menurut Aristoteles, adalah salah satu penyimpangan terbesar yang dapat terjadi dalam diri seorang individu yang diberi kewenangan untuk memutuskan kehidupan orang lain.

Lemahnya Sistem Pengawasan dan Akuntabilitas
Selain faktor individu, penyimpangan etika oleh hakim juga dipengaruhi oleh sistem kelembagaan yang ada di dalam tubuh peradilan. Pengawasan yang lemah terhadap perilaku hakim dan kurangnya akuntabilitas terhadap tindakan mereka menciptakan ruang bagi perilaku tidak etis dan koruptif untuk berkembang. Sistem yang tidak transparan dan minimnya kontrol terhadap proses pengambilan keputusan di pengadilan mempermudah terjadinya korupsi.

Tekanan Ekonomi dan Politik

Dimensi ketiga yang turut mempengaruhi pelanggaran etika dan moral oleh hakim adalah adanya tekanan eksternal, baik dari aspek politik maupun ekonomi. Dalam beberapa diskursus, hakim terpapar pada pengaruh politik atau tekanan dari pihak-pihak berkepentingan yang memiliki kekuatan ekonomi atau politik. Contoh Kasus suap yang melibatkan hakim dalam perkara Ronald Tannur, kasus suap fasilitas ekspor CPO telah secara nyata menunjukkan bagaimana kemampuan financial dapat mempengaruhi jalannya proses hukum.

Terdapat kemungkinan bahwa tekanan ini mendorong hakim untuk memberikan keputusan yang tidak berdasarkan keadilan, melainkan untuk memenuhi kepentingan tertentu, yang mencederai prinsip-prinsip etika dan moral dalam peradilan.

Suap-Menyuap Dari Perspektif Sosiologi Hukum

Dari aspek Sosiologi Hukum suap-menyuap merupakan gejala sosial yang terjadi di dunia peradilan. Terjadinya suap-menyuap dari prespektif Sosiologi Hukum dapat dijelaskan dengan menggunakan Teori Durkheim (salah satu pencetus sosiologi modern) tentang Moralitas Hukum.

Menurut pandangan Durkheim, hukum mengandung empat moralitas, yakni : Pertama, ia merupakan moralitas untuk merumuskan tindakan yang dianggap tidak bermoral oleh masyarakat. Moralitas tindakan yang dianggap tidak bermoral tersebut tercermin dalam rumusan hukum pidana.

Kedua, hukum merupakan moralitas yang merumuskan bagaimana orang berinteraksi sosial maupun moralitas fungsi-fungsi sosial. Ketiga, hukum merupakan moralitas bagi para praktisi hukum (Pengacara, Polisi, Jaksa dan Hakim) untuk bertindak secara profesional dalam pekerjaannya dengan mengacu pada moralitas praktisi hukum.

Moralitas praktisi hukum ini tercermin dalam asas-asas hukum. Keempat, secara keseluruhan hukum merupakan moralitas masyarakat tempat hukum tersebut dibuat dan dilaksanakan.

Selain itu, terjadinya suap-menyuap dan mafia peradilan juga dapat dilihat sebagai permasalahan yang terdapat pada diri para praktisi hukum. para praktisi hukum dalam melaksanakan hukum yang seharusnya secara profesional mengikuti hukum acara dan menegakkan asas-asas hukum, telah mengabaikan asas-asas hukum tersebut.

Asas-asas hukum ini merupakan ruh yang harus digunakan dalam melaksanakan hukum. Dalam kasus pidana misalnya para praktisi hukum harus menafsirkan asas-asas hukum tersebut untuk membuktikan atau membantah dalil-dalil JPU secara materil. Analisa dan tafsir terhadap asas-asas hukum tersebut digunakan agar esensi tujuan hukum terpenuhi yakni menghasilkan keadilan, kepastian dan terwujudnya kemanfaatan hukum.

Ketika para praktisi hukum dapat diatur dengan imbalan uang dalam melaksanakan pekerjaannya, maka yang terjadi adalah para praktisi hukum tersebut menjadi praktisi hukum yang tidak bermoral.

Selain analisa sosiologi hukum diatas, gejala suap-menyuap dan mafia peradilan dapat pula dijelaskan dengan teori pertukaran kekuasaan. Dalam hubungan sosial terdapat hubungan ketergantungan antar pihak berdasarkan perbedaan kekuasaan dan konskuensi materi.

Bila terdapat hubungan yang tidak seimbang dalam penguasaan kekuasaan, maka pihak yang kuasa dapat melaksanakan kehendak dan kepentingannya terhadap pihak lain ketika berhubungan secara sosial. Kekuasaan tersebut dapat dipertukarkan untuk menghasilkan hubungan sosial yang relatif setara dengan imbalan materi.

Pihak yang berperkara yang memiliki kemampuan financial dapat menjadi pihak yang berkuasa dalam menentukan jalannya perkara. Pada akhirnya keputusan hukum yang demikian dibuat berdasarkan kehendak pihak yang berperkara.

Pandangan Etika dan Moralitas Hakim

Dalam perspektif etika dan moral bukan hanya menjadi aturan yang membimbing perilaku individu, tetapi juga menjadi prinsip dasar yang mengarahkan sistem hukum itu sendiri. Dalam konteks hakim sebagai aparat penegak hukum, tindakan yang melanggar etika dan moral, seperti menerima suap atau melakukan penyalahgunaan kewenangan, membawa dampak besar terhadap kredibilitas lembaga peradilan dan integritas sistem hukum secara keseluruhan.

Konsep etika didasarkan pada prinsip kewajiban yang bersifat universal. Imanuel Kant menekankan bahwa moralitas seseorang tidak dapat bergantung pada hasil atau konsekuensi tindakan, tetapi pada niat dan prinsip yang mendasari tindakan tersebut.

Dalam konteks hakim, ini berarti bahwa tugas hakim adalah menegakkan hukum berdasarkan kewajiban moral yang harus diikuti tanpa memandang hasil akhir atau tekanan eksternal. Hakim yang menerima suap atau membuat keputusan yang tidak adil telah melanggar kewajiban moral untuk bertindak dengan integritas dan kejujuran, dan ini adalah pelanggaran yang tidak bisa dibenarkan oleh alasan apapun.

Imanuel Kant mengajarkan bahwa tindakan moral harus dapat dijadikan prinsip universal, yang berarti bahwa suatu tindakan yang diterima oleh seorang hakim harus bisa diterima jika dilakukan oleh semua hakim di seluruh dunia tanpa mengurangi nilai moral.

Tindakan menerima suap atau memberikan vonis tidak adil tidak dapat diterima sebagai prinsip universal, karena jika semua hakim melakukannya, maka keadilan dalam sistem hukum akan hancur. Oleh karena itu, dalam pandangan Kant, tindakan oknum hakim yang terlibat dalam penyimpangan etika adalah sebuah pelanggaran moral yang sangat serius dan tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.

Substansi Etika menekankan pada pengembangan karakter moral yang baik sebagai landasan dalam mengambil keputusan yang tepat dan adil. Hakim, sebagai seorang tokoh yang berperan dalam menegakkan keadilan, seharusnya memiliki kebajikan (virtue) dalam dirinya, terutama kebajikan dalam keadilan itu sendiri.

Menukil pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa “keadilan bukan hanya tentang memberikan keputusan yang tepat berdasarkan hukum, tetapi juga tentang memberikan keputusan yang sesuai dengan kebaikan secara keseluruhan, yang mencakup kepentingan masyarakat dan individu secara adil”.

Tindakan seorang hakim yang menerima suap dan membebaskan terdakwa yang seharusnya dihukum, menunjukkan kegagalan dalam menjaga kebajikan tersebut. Ini mencerminkan kegagalan dalam karakter (akrasia) untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai moral yang tinggi. Dengan kata lain, hakim tersebut tidak hanya melanggar hukum positif, tetapi juga gagal dalam menjalankan tugas moral mereka sebagai penjaga keadilan.

Tindakan hakim yang menerima suap dan mengeluarkan keputusan yang tidak adil adalah sebuah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip moral universal yang seharusnya mendasari penerapan hukum. Hukum yang diterapkan oleh hakim harus berorientasi pada pencapaian keadilan substantif, yang mencerminkan nilai-nilai moral seperti kebenaran, kesetaraan, dan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.

Ketika hakim melanggar nilai-nilai ini untuk keuntungan pribadi atau karena tekanan eksternal, maka tindakan tersebut tidak hanya merusak sistem hukum yang ada, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap integritas hukum itu sendiri. Dampaknya adalah hilangnya muruu’ah peradilan akibat tindakan oknum hakim yang tidak bermoral. (*)

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan