pembantaian sudan dilansir dari detik.com
KENDARIPOS.FAJAR.CO.ID -- Situasi kemanusiaan di Darfur, Sudan, kembali memburuk setelah pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) merebut kota El-Fasher lebih dari dua minggu lalu. Sejak itu, laporan mengenai pembunuhan massal, penculikan, kekerasan berbasis etnis, hingga kekerasan seksual terus bermunculan dari wilayah tersebut.
Pakar Sudan dari GIGA Institute for Global and Area Studies, Hager Ali, menyebut kekejaman RSF kini tak lagi terkendali.
“Kekerasan mereka kini tanpa kendali. Siapa pun yang tak mendukung, tak mau bergabung, atau sekadar menghalangi langkah mereka, bisa menjadi sasaran,” katanya.
“Mereka tak butuh perintah lagi untuk membunuh.” dilansir dari detik.com
Kondisi semakin memburuk ketika gelombang pengungsian besar terjadi. Wakil Komisaris Tinggi UNHCR, Kelly Clements, mengungkap hampir 90 ribu orang meninggalkan El-Fasher dalam hitungan hari.
“Mereka datang tanpa membawa apa pun, luka di tubuh dan trauma di wajah mereka,” ujarnya kepada DW.
Sebanyak 87 persen dari mereka yang tiba di Chad adalah perempuan dan anak-anak banyak di antaranya menjadi korban kekerasan seksual.
“Angkanya jauh di atas rata-rata,” tambah Kelly.
Menurut Ali, kebrutalan RSF bukan hanya kekerasan spontan, tetapi bagian dari strategi propaganda untuk menunjukkan kekuatan setelah kekalahan mereka di Khartoum. Selain kekuasaan militer, Darfur juga memiliki sumber daya penting seperti emas dan getah akasia yang diduga turut dikuasai RSF untuk membiayai operasi mereka.
Humanitarian Research Lab (HRL) dari Yale School of Public Health merilis temuan citra satelit yang menunjukkan objek menyerupai jenazah di beberapa titik sekitar El-Fasher. Temuan ini sejalan dengan laporan eksekusi warga yang berusaha melarikan diri.


















































